30.1 C
Jakarta

Persempit Ruang Penyebaran Ideologi Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPersempit Ruang Penyebaran Ideologi Terorisme
image_pdfDownload PDF

Di tengah gencarnya perburuan pelaku terorisme yang dilakukan Densus 88, kita dikejutkan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3). Belum lagi aksi teror seorang perempuan muda yang melepaskan tembak 6 kali ke arah polisi di area Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (31/3).

Peristiwa ini menegaskan bahwa operasi penumpasan kelompok teroris belum tuntas memutus jaringan sampai ke akar-akarnya. Ibarat kata pepatah “mati satu, tumbuh seribu”. Teroris mampu berkembang biak dan berevolusi.

Bila kita cermati kelompok teroris selalu memakai metode untuk mempertahankan jaringan dan menyebar sel-selnya. Metode yang mereka pakai adalah transformasi penyebaran ideologi dengan berbagai cara untuk membentuk sel-sel baru jaringan teroris. Inilah yang kemudian membuat kelompok teroris beranak pinak.

Dari sisi penyebaran ideologi, merujuk penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2013, ada empat transformasi ideologi hingga sampai pada tahap terorisme. Pertama, militansi. Pada tahap ini, narasi ideologis yang mereka sebarkan adalah logika oposisi biner untuk melihat dunia sebagai medan pertentangan antara iman dan kafir, kebenaran dan kesesatan.

Kedua, radikalisme. Narasi ideologis yang mereka sebarkan pada tahap ini adalah idealisasi masa lalu yang ingin mereka bangkitkan kembali sebagai solusi satu-satunya bagi kehidupan saat ini. Dunia mereka pandang sudah sangat kacau, karena itu harus meniru kembali masa lalu yang sudah teruji.

Setelah dua narasi itu berhasil melakukan indoktrinasi, masuklah pada transformasi ketiga, yaitu ekstremisme, dan puncaknya terorisme, ketika segala bentuk teror dan kekerasan dihalalkan untuk membela dan mewujudkan kepentingan ideologis mereka.

Konter Narasi Terorisme

Transformasi ideologi inilah yang harus kita konter, sebab kiranya sulit kalau kita putus mata rantainya. Konter dengan narasi yang membangkitkan nilai-nilai keberagaman, seperti toleransi, saling menghormati perbedaan, terbuka dan demokratis, agama rahmatan lil’alamin, dan sebagainya. Konter narasi tersebut bermaksud untuk mempersempit ruang gerak penyebaran ideologi terorisme.

Maka, media konter narasi harus punya jangkauan luas. Lembaga pendidikan seperti sekolah dipandang efektif sebagai media perlawanan ideologi terorisme. Lewat pendidikan, kita bisa tanamkan pada anak-anak sedari awal pemahaman bahwa keragaman, kemajukan, perbedaan itu, menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sejak dulu.

Hal itu mengingat yang jadi pelaku teror kini anak muda yang telah terdoktrin sikap yang tidak bisa menerima perbedaan. Pelaku dan pandangan yang mendasari tindakan tersebut hanya melihat kebenaran tunggal yang ada dan ia yakini. Klaim agama sering kali ia pakai sebagai pembenaran semu untuk menolak keragaman.

Karena itu, sikap menghormati keberagaman dan bagaimana menyikapi perbedaan harus kita tumbuhkembangkan pada generasi muda sejak dini. Internalisasi nilai keberagaman lebih efektif dengan pendidikan multikultural.

BACA JUGA  Indonesia Zero Radicalism: Perkuat Toleransi, Hancurkan Fanatisme!

Yakni, pendidikan yang menerapkan strategi dan konsep berbasis pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan umur, dan ras. Dan yang terpenting bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa/i dan murid agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis (Mania, 2010).

Melalui pendidikan multikultural, seorang peserta yang datang dari berbagai golongan penduduk mendapat pengajaran untuk saling mengenal agama, budaya, cara hidup, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda.

Dengan mengajarkan pendidikan multikultural, para peserta sedini mungkin dapat pembimbingan memahami makna Bhinneka Tunggal Ika. Serta mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih Efektif

Penerapan pendidikan multikultural di sekolah akan lebih efektif bila kita patuhi beberapa karakteristik dan prinsipnya. Pertama, belajar hidup dalam perbedaan. Dalam hal ini perlu pilar strategis di antaranya belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra-personal.

Kondisi di sekolah umum sangat beragam suku, agama, dan budaya dapat tuntutan untuk seluruh elemen warga sekolah belajar saling menghargai dan menghormati, termasuk dalam kegiatan persekolahan ataupun pembelajaran.

Kedua, membangun mutual trust (saling percaya), mutual understanding (saling pengertian), dan mutual respect (saling menghargai). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan dan hegemoni, maka perlu pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.

Ketiga, terbuka dalam berpikir. Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berpikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda.

Kemudian direspons dengan pikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Itu artinya, sekolah wajib memberikan wadah seluas-luasnya bagi semua suku, agama, dan budaya dengan asas inklusifnya (terbuka). Ini juga selaras dengan apa yang terkenal dengan merdeka belajar.

Keempat, apresiasi dan interdependensi. Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang peduli, di mana semua anggota masyarakat dapat saling mewujudkan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat. Karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis.

Kelima, resolusi konflik dan rekonsiliasi nir-kekerasan. Konflik dalam berbagai hal harus kita hindari, dan pendidikan harus memfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya pendamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan.

Akhirnya, kita berharap dengan mempersempit ruang gerak penyebaran ideologi terorisme lewat pendidikan multikultural yang berpegang pada kelima prinsip tersebut menjadikan teroris menuju kepunahan. Semoga.

Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Guru SDN Sidorejo Kec. Krian Kab. Sidoarjo

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru