28.8 C
Jakarta

Perempuan dan Intoleransi Beragama

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan dan Intoleransi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tanggal 22 Agustus dijadikan sebagai peringatan Hari Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan oleh PBB melalui aturan Resolusi 73/296. Dalam resolusi tersebut, terdapat hal penting untuk memberikan penghormatan kepada korban tindak kekerasan berdasarkan agama dan anggota keluarganya melalui berbagai bantuan yang layak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Agama merupakan sebuah hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi. Tidak hanya terkait dengan kepercayaan yang dipilih, seseorang pun dilindungi dari berbagai kekerasan yang memungkinkan terjadi di mana saja, khususnya di tempat suci untuk beribadah.

PBB mengungkapkan bahwa kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul secara damai dan hak untuk kebebasan berserikat adalah hal yang saling bergantung, saling terikat, serta saling memperkuat.

Tentunya, penegakan atas hak-hak tersebut akan memainkan peran penting dalam memerangi segala bentuk intoleransi dan diskriminasi terkait dengan agama atau kepercayaan (Tirto, 2021).

Berdasarkan laporan yang berjudul Violence Based on Religion of Belief: Taking Action at the United Nation mengungkapkan bahwa 95 negara pada tahun 2018 menggunakan kekuatan dalam membatasi komunitas agama atau kepercayaan. Tidak hanya itu, adanya 20 negara akhirnya mengakibatkan kematian.

Kasus ini pun terus mengalami peningkatan sebesar 25 persen dari tahun 2007. Pada tahun 2007 inilah sebagai puncak tertinggi permusuhan sosial yang berhubungan dengan agama atau kepercayaan.

Kekerasan yang diterima sangat bervariasi, baik berupa kekerasan fisik, psikologis, atau verbal yang dilakukan terhadap individu atau kelompok berdasarkan keyakinan agama atau kepercayaan mereka. Ini adalah bentuk intoleransi agama yang serius dan melanggar hak asasi manusia. Kekerasan beragama dapat mengakibatkan penderitaan, trauma, dan dampak sosial yang luas.

Contoh kasus kekerasan yang terjadi adalah serangan fisik yang menyebabkan cedera serius, kerugian fisik, dan kematian. Selain itu, perusakan tempat ibadah, seperti gereja, masjid, dan kuil adalah bentuk kekerasan beragama yang merusak simbol-simbol kepercayaan dan merugikan komunitas.

Kekerasan lainnya adalah adanya tindakan merendahkan, memfitnah, atau melecehkan individu atau kelompok berdasarkan agama mereka dapat menyebabkan kerusakan psikologis dan emosional.

Tidak hanya itu, kekerasan lainnya adalah ancaman, penindasan, atau intimidasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan keyakinan mereka dapat menciptakan atmosfer ketakutan dan membahayakan keamanan mereka. Lebih jauh, kekerasan lainnya yang merugikan adalah konflik bersenjata yang dilihat dari perspektif agama dan identitas agama dapat mengarah pada tindakan kekerasan yang merugikan banyak pihak.

Salah satu korban kasus terkait dengan intoleransi beragama adalah hubungan antara perempuan dan agama. Perempuan dan agama minoritas berpeluang untuk menghadapi penganiayaan ganda karena faktor agama dan jenis kelamin.

BACA JUGA  Mindset Misogini, Dalang di Balik Terorisme Global

Hal ini didukung oleh Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 Wahid Foundation (WF) tercatat ada 213 peristiwa intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2017 yang di dalam beberapa kasus melibatkan perempuan dan anak perempuan sebagai kelompok yang rentan menjadi korban karena identitas gendernya (Pratiwi, 2018). Kekerasan yang dialami oleh perempuan membuat perempuan harus menghadapi permasalahan karena tubuhnya dan agamanya.

Perempuan yang secara biologis diungkapkan sebagai stereotip makhluk yang lemah dan second sex sehingga perempuan mendapatkan ketidakadilan dalam hidupnya. Terlebih lagi, permasalahan agama memberikan batasan dan ketidakadilan bagi perempuan.

Perempuan memiliki tubuh yang dianggap sebagai kelemahan baginya sehingga memungkinkan adanya berbagai paksaan yang membuat perempuan harus mengalami kekerasan dalam beragama. Contoh kasusnya adalah terkait dengan penggunaan hijab dan ujaran kebencian selama Pilkada Jakarta 2017 (Pratiwi, 2018).

Kasus lainnya yang membahas perempuan dan intoleransi beragama adalah laporan Komnas HAM Perempuan yang berjudul “Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis (2008) mengungkapkan bahwa adanya diskriminasi yang dialami oleh perempuan-Perempuan Ahmadiyah di satu desa di Cianjur. Hal ini adanya penyerangan dengan teriakan kotor dan nama-nama hewan ketika menggarebek rumah penganut Ahmadiyah (Inasshabibah, 2018).

Selain itu, kasus lainnya di desa lain di Cianjur adalah terkait dengan seorang jemaat Ahmadiyah yang sedang hamil 9 bulan akhirnya mengalami pendarahan dan ancaman pemerkosaan. Ia pun bersembunyi di hutan sampai melahirkan dengan dibantu oleh dukun beranak.

Penggunaan dukun beranak ini pun karena ia takut bidan desa tidak mau menolongnya. Kasus lainnya adalah trauma yang dirasakan oleh perempuan jemaat Ahmadiyah pada tahun 2013 akibat rangkaian teror. Tindakan konvoi dengan mengendarai sepeda motor dan bolak-balik melewati rumah Ahmadiyah dengan mengungkapkan kalimat-kalimat kotor dan ancaman saat malam lebaran.

Adanya penyegelan jemaat Ahmadiyah yang dianggap ilegal dan tanpa pemberitahuan memberikan dampak buruk kepada ibu-ibu dan anak-anak Ahmadiyah (Inasshabibah, 2018).

Hal yang patut disayangkan adalah penggunaan perisai pengaman hingga kawat berduri yang dilakukan pada oknum. Kasus ini menunjukkan adanya tindakan intoleran yang semestinya menjadi tugas bersama untuk melindungi kelompok marjinal.

Sebenarnya, masih banyak kasus perempuan dan intoleran lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini dapat menjadi sebuah tugas bersama untuk dapat memahami, menghormati, dan menoleransi setiap keputusan orang lain selama tidak mengganggu diri sendiri dan kepentingan bersama.

Semoga pada perayaan hari Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan memberikan perspektif untuk semuanya saling berpikiran terbuka dan bijaksana dalam menilai keberagaman orang lain.

Roma Kyo Kae Saniro, M.Hum
Roma Kyo Kae Saniro, M.Hum
Dosen Universitas Andalas. Peneliti yang berfokus pada kajian gender dan perempuan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru