28.4 C
Jakarta

Pancasila adalah Postulat?

Artikel Trending

KhazanahOpiniPancasila adalah Postulat?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari ini tengah rame tentang RUU HIP yang dianggap melumpuhkan Pancasila itu sendiri. Padahal, Pancasila adalah postulat, yang berarti bahwa perkara yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya. Pancasila yang terdiri dari lima mutiara yang digali di bumi Indonesia oleh Soekarno. Diutarakan oleh Mangil Martowidjojo, selaku pengawal pribadi Soekarno dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967.

Menurut keterangannya, rakyat Indonesia mengerti tentang lahirnya Pancasila karena rakyat jelata mendengar langsung dari mulut Bung Karno. Dimanapun Bung Karno melangkah maka di situlah terbangun diskursus tentang Pancasila. Setiap pidatonya di ruang-ruang diskusi, ia selalu mengkampanyekan Pancasila sebagai dasar negara.

Oleh karenanya, Pancasila merupakan ihwal yang benar adanya sebagai dasar negara Republik Indonesia baik secara konsep maupun ‘kiranya’ secara implementatif. Tak heran jika ada seseorang atau kelompok yang kemudian mempertanyakan posisi Pancasila sebagai dasar negara, spontan mendapat respon yang menyentak dan kurang mengenakkan baik dari yang mempertanyakan maupun yang diberikan pertanyaan .

Dilansir dari Historia.id, pada awal Mei 1964, D.N Aidit melontarkan pertanyaan yang mengejutkan perihal Pancasila sebagai dasar negara dalam pidatonya yang berjudul “Berani, Berani, Sekali Lagi Berani”. “Pancasila mungkin untuk sementara dapat mencapai tujuannya sebagai faktor penunjang dalam menempa kesatuan dan kekuatan Nasakom. Akan tetapi begitu Nasakom menjadi realitas, maka Pancasila dengan sendirinya tak akan ada lagi”.

Mendengar pernyataan tersebut, Soekarno spontan menuntut diadakannya acara peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1964, hari ulang tahun kesembilan belas Pancasila kala itu. Saat setelah Aidit melontarkan pernyataan tersebut, hubungan Aidit dan Soekarno mulai nampak renggang.

Dari fenomena tersebut muncul beberapa pertanyaan, apakah hari lahir Pancasila yang pertama jatuh pada 1 Juni 1945, 18 Agustus 1945 atau setiap 1 Oktober yang juga dikenal hari kesaktian Pancasila?, apakah Pancasila adalah postulat yang dinilai tak perlu lagi dibuktikan relevansinya? Dan apakah tindakan D.N. Aidit yang mempertanyakan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sebuah tindakan yang menyelewengkan Pancasila?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya hadir dalam setiap diskursus sebagai bentuk pengenalan sekaligus ruang pelurusan sejarah. Pada hakikatnya, bangsa yang terhormat adalah bangsa yang mengenal sejarahnya. Sebuah pandangan yang ahistoris tentu akan melahirkan sebuah bentuk tindakan yang sporadis.

Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berpidato tentang dasar negara yang bernama Pancasila. Tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Namun ada juga yang memilih tanggal 18 Agustus sebagai Hari Lahir Pancasila yang ditandai dengan penetapan UUD 1945.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Tanggal 1 Juni 1966 merupakan hari terakhir Soekarno merayakan hari lahir Pancasila dan setelah itu, Orde Baru menjadikannya sebagai tahanan rumah hingga meninggal pada 21 Juni 1970. Sepeninggal Soekarno, Orde Baru di bawah kendali Soeharto melakukan upaya desukarnoisasi atau penghapusan warisan Soekarno termasuk melakukan pelarangan untuk memperingati hari lahir Pancasila setiap 1 Juni dan menggantinya dengan 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila.

Pancasila sebagai sebuah dasar negara merupakan ideologi yang kiranya diakui kesaktian dan kesakralannya dalam membangun bingkai harmonis pada tubuh NKRI sekaligus alat pemersatu bangsa. Namun Pancasila sebagai postulat kiranya tidak menjadi tameng penghalang untuk dijadikan sebuah pembahasan. Kelahiran Pancasila tidak terlepas daripada komitmen dan konsistensi dari Bung Karno dan tentunya penggalian lima sila tetap menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat.

Kiranya demikian, Pancasila mengandung unsur yang dinamis dan tidak jumud. Kesaktian lima sila tersebut tak akan lekang oleh waktu namun selain secara tekstual Pancasila sebagai bangunan ideal, secara kontekstual pun Pancasila kiranya ideal. Dari masa ke masa, sebuah keharusan adanya bentuk evaluasi terhadap Pancasila tanpa harus mengubah isi lima sila tersebut karena kelimanya adalah sebuah asa. Yang seharusnya dievaluasi adalah cita daripada Pancasila. Apakah konsep ideal dalam bentuk asa dari Pancasila juga terimplementasikan dalam kenyataan sebagai cita?

Kendati demikian, D.N Aidit selaku ketua CC PKI dalam sebuah wawancaranya dengan Wartawan, Solichin Salam melakukan sebuah klarifikasi atas tudingan terhadap dirinya terkait sikap menyelewengkan Pancasila yang dilansir di Historia.id. Ia mengutarakan bahwa PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila secara keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan.

Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial, lanjutnya.

Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya berlaku pada bidang pemerintahan namun juga segala aspek yang ada di tubuh Indonesia. Pancasila tak mengindahkan dehumanisasi, ketimpangan, ketidakadilan dan segala bentuk kesewenang-wenangan. Jika hal demikian terjadi maka sebuah keniscayaan kritikan akan hadir namun kritikan tersebut tidak mengarah kepada pergantian dasar negara dengan yang lain. Melainkan mengkritik untuk mengembalikan cita ideal dari Pancasila itu sendiri.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru