26.7 C
Jakarta

Momentum Maulid, Momentum Kampanye, dan Tantangan Persatuan

Artikel Trending

Milenial IslamMomentum Maulid, Momentum Kampanye, dan Tantangan Persatuan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Diskusi ‘Bacapres Bicara Gagasan’ bersama Mata Najwa di UGM, Yogyakarta, cukup menjadi perhatian masyarakat. Hanya dalam waktu dua puluh empat jam, videonya sudah ditonton hamper empat juta kali. Tampaknya animo terhadap Pilpres 2024 semakin besar. Menjelang kampanye Pemilu, iklim sosial-politik tampak menegangkan. Persatuan pun rentan hilang dan diganti perpecahan. Segenting apa suasananya?

Sebenarnya, umat Muslim baru memasuki bulan maulid—Rabiul Awal. Artinya, ini momentum yang pas untuk kembali melakukan refleksi keteladanan diri terhadap Nabi Saw. Bersamaan dengan momentum kampanye, momentum maulid mesti menjadi sarana sterilisasi nasional. Jadi segala yang menegangkan dalam politik harus tetap dalam koridor uswatun hasanah kepada Nabi, sehingga hal-hal buruk tidak terjadi.

Maulid Nabi, terlepas dari ragam pendapat ulama yang pro dan kontra, sangat jelas merupakan sesuatu yang baik. Darinya, sifat-sifat Nabi dapat terenungkan kembali. Apakah hanya untuk umat Islam? Tentu saja tidak. Keteladanan Nabi bersifat universal. Kesalehan sosial dan kepiawaiannya menjaga kerukunan di tengah keragaman patut ditiru semesta, apalagi dalam momentum kampanye hari ini dan ke depan.

Kampanye Pilpres sarat dengan ujaran kebencian sesama. Ke depan, ruang publik akan dipenuhi cemooh antarsesama yang ujungnya adalah polarisasi. Sebelumnya, yang demikian sudah pernah terjadi. Artinya, Pilpres tahun debat mesti selamat dari preseden serupa. Pemilu mengisyaratkan satu hal: tantangan atas persatuan. Karena itu, ini momentum yang pas untuk belajar mempererat persatuan itu sendiri.

Meneladani Nabi

Meneladani Nabi Saw. jelas bukan sesuatu yang sifatnya tahunan, setiap ada maulid misalnya, melainkan way of life selama-lamanya. Namun, pada momentum kampanye, tuntutannya semakin urgen karena berkenaan dengan upaya menjaga persatuan tanah air. Prinsip-prinsip yang implisit dalam tindakan Nabi Saw. yang dapat diterapkan dalam momentum kampanye mencakup beberapa hal.

Pertama, kepemimpinan adil dan melayani. Dalam kampanye Pilpres, Bacapres mesti memegang prinsip keadilan memimpin dan menjadi pelayan masyarakat. Mereka mesti menawarkan program-kebijakan yang tidak memihak kelompok tertentu dan memojokkan yang lainnya. Pendukung masing-masing Bacapres juga demikian. Tidak boleh anarkis dalam dukungan hingga suka menebar fitnah dan lainnya.

Kedua, peduli rakyat. Calon pemimpin harus menunjukkan empati dan kesadaran akan masalah-masalah yang dihadapi rakyat, serta berkomitmen untuk mengatasi masalah tersebut. Sementara itu, rakyat harus menghindari polarisasi karena matinya empati sesama. Ketiga, ketegasan prinsip. Integritas dan ketegasan atas kebenaran mesti diperjuangkan, bahkan jika itu tidak populer. Ini juga sangat krusial.

Keempat, komitmen pada kebhinekaan. Pada bulan maulid, keteladanan Nabi Saw. yang penting disuarakan ialah hidup di tengah masyarakat plural secara etnis dan agama. Bacapres dan masing-masing pendukung, pada momentum kampanye ini, harus meneladani komitmen Nabi Muhammad terhadap kebhinekaan. Tujuannya adalah menghindari polarisasi, bahwa siapa pun dukungannya, semua masih NKRI.

BACA JUGA  Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Kelima, atau yang terakhir, pendidikan moral masyarakat. Nabi Saw. adalah seorang pendidik yang mendidik masyarakatnya tentang nilai-nilai moral dan agama: Islam. Pada momentum kampanye ini, Bacapres dan masyarakat pendukungnya mesti menjalankan kampanye yang fokus pada pendidikan politik dan moralitas masyarakat. Fungsinya, membuat masyarakat Indonesia lebih cerdas dalam memilih pemimpin mereka.

Sungguhpun demikian, penting dicatat bahwa konteks politik hari ini memang berbeda dengan situasi pada zaman Nabi Saw., dan pemilihan umum adalah proses yang kompleks. Meneladani Nabi Saw. pada momentum kampanye mesti dilakukan dengan bijak. Para Bacapres dan pendukung harus tetap berkomitmen pada prinsip demokrasi dan nilai-nilai konstitusional. Artinya, Nabi Saw. diteladani dalam konteks NKRI itu sendiri.

Merawat Persatuan

Dalam kampanye, setiap Bacapres punya cita-cita persatuan. Dalam konteks itu, mereka sama. Namun, dalam realita, cita-cita tersebut hanya cita-cita belaka. Merawat persatuan di saat momentum kampanye sama beratnya dengan realisasi janji-janji Bacapres itu sendiri. Ini jelas tidak benar, karena seolah pesta demokrasi bertujuan kepentingan sesaat. Padahal, pesta demokrasi itu sendiri tidak boleh kontras dengan upaya merawat persatuan.

Karena itulah pada momentum maulid Nabi Saw., cita-cita merawat persatuan harus kembali digelorakan. Dahulu, Nabi adalah pemersatu bangsa, ketika berhasil menciptakan perdamaian antara suku Aus dan Khazraj dan sukses mendirikan kota peradaban: Madinah. Piagamnya yang terkenal hingga hari ini selaras dengan Pancasila, yang sayangnya Pancasila tidak sepenuhnya terealisasi di tanah air.

Andai saja Pancasila terealisasi penuh, persatuan tidak lagi perlu ditanya. Negara ini sudah kompleks dengan segala kekayaan sumber daya alam, tinggal optimalisasi SDM yang masih tersendat hingga sekarang. Ketimpangan sosial, perbedaan politik, bahkan keragaman pandangan keagamaan kerap menciptakan perpecahan. Ketika kampanye Pemilu, iklimnya malah lebih mengkhawatirkan—perpecahan bak di depan mata.

Itulah yang perlu diupayakan ke depan. Persatuan adalah tantangan nasional. Kampanye bukan tempat obral janji dan saling todong antara rivalitas kepentingan. Pemilu bukanlah tujuan melainkan sarana belaka. Tujuan yang sejati dalam demokrasi ialah terciptakan stabilitas nasional, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.

Semua cita-cita ideal tersebut telah berhasil dilakukan Nabi, maka meneladaninya adalah sesuatu yang niscaya. Bulan maulid adalah momentum yang tepat.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru