30.8 C
Jakarta

Mitos: Menyangkal Labelisasi Agama sebagai Sumber Konflik dan Kekerasan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMitos: Menyangkal Labelisasi Agama sebagai Sumber Konflik dan Kekerasan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada pertanyaan yang kerap muncul di masyarakat: mengapa konflik agama atau kekerasan atas nama agama rentan terjadi? Benarkah agama adalah sumber dari munculnya konflik dan kekerasan?

Untuk menjawab ini, saya akan mengacu pada argumen dari Swamy, mengutip William Cavanaugh, yang mengatakan bahwa klaim tentang agama sebagai penyebab dari kekerasan merupakan sebuah “mitos”. Jelas pernyataan ini sangat berdasar, meskipun tetap bisa diperdebatkan.

Saya akan mengawali pendasaran tulisan ini melalui buku The Problem with Interreligious Dialogue sebagai sebuah hasil studi yang cukup menggugah pemikiran yang mempertanyakan peran dialog antaragama dalam kelompok masyarakat, termasuk juga dalam hal konflik agama.

Buku tersebut adalah hasil dari keterlibatan Muthuraj Swamy dalam kegiatan dialog agama-agama di India Selatan selama lebih dari satu dekade. Dengan memanfaatkan pengalamannya, teori-teori pasca-kolonial, dan penelitian lapangan selama dua belas bulan, Swamy menunjukkan tentang keterbatasan dialog antaragama yang cukup menarik.

Buku tersebut didasarkan pada tesis doktoral Swamy dan memang berfokus pada konteks kehidupan masyarakat India. Tetapi, isi dari buku itu cukup memberikan perspektif menarik untuk memahami konflik agama. Argumen utamanya bahwa para pendukung dialog agama-agama yang diteliti Swamy sering kali mengabaikan perspektif akar rumput tentang hubungan antaragama itu sendiri.

Alih-alih belajar dari pengalaman orang biasa, para pendukung dialog tersebut cenderung mengandaikan bahwa ada kebutuhan bagi orang-orang untuk mengambil bagian dalam dialog yang genuine agar dapat hidup berdampingan secara damai. Dengan kata lain, strategi yang digunakan masyarakat bawah untuk menangani ketegangan dan konflik antarkelompok justru diabaikan.

Swamy menyajikan tiga batasan utama dalam dialog antaragama. Pertama, dalam dialog yang dilakukan, agama-agama cenderung dipahami sebagai sistem yang berbeda yang membagi orang ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah. Akibatnya, praktik, kepercayaan, dan identitas yang mengaburkan batas-batas agama diabaikan.

Swamy berargumen bahwa strategi utama yang digunakan orang untuk terhubung dan berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan memanfaatkan berbagai identitas mereka. Ini sebuah strategi yang jarang dipertimbangkan oleh para pendukung dialog.

Kedua, Swamy mengkritik kecenderungan yang secara rutin melabeli adanya konflik sebagai ‘konflik agama’ tanpa menyelidiki lebih lanjut penyebab lain dari konflik itu sendiri. Misalnya, seperti adanya faktor sosio-ekonomi dan bentuk-bentuk dominasi dan penindasan.

Dalam hal ini, Swamy mengambil ‘konflik Hindu-Kristen’ Mandaikadu di Distrik Kanyakumari sebagai studi kasus dan menunjukkan bagaimana konflik ini terutama terjadi antara orang-orang dengan kasta yang berbeda, dan bukan antara agama yang berbeda.

Ketiga, dialog antaragama yang ditunjukkan dengan sifat yang terlalu elitis. Di sini, Swamy berargumen bahwa banyak pelaku dialog cenderung mengabaikan perspektif akar rumput dan malah memaksakan pemahaman akademis mereka tentang agama, konflik agama, dan terminologi mengenai “dialog” itu sendiri.

Artinya, para ahli atau orang-orang pandai sebut saja tokoh agama atau akademis bersikap tidak objektif dan cenderung tendensius dalam pemahaman mereka sendiri ketika berdialog.

Sebuah argumen yang cukup menarik yang coba Swamy sampaikan dalam bukunya adalah bahwa kecenderungan para dialogis, yang diwakili oleh para tokoh maupun akademisi untuk mengesampingkan agama bermain di tangan gerakan Hindutva, yang berusaha menyeragamkan semua tradisi Hindu di bawah satu agama Hindu.

Alhasil, ketika para dialogis mengabaikan berbagai bentuk tradisi Hindu, dan secara tidak hati-hati melabeli konflik yang muncul sebagai suatu konflik agama—alih-alih, misalnya, menyebutnya sebagai konflik kasta. Bias intelektual justru sering terjadi dalam hal ini.

Bukan Ulah Agama, Tapi Elitisme Ilmuwan

Ada benang merah argumentasi Swamy di atas dengan adanya aksi-aksi radikal yang bernuansa ekstremisme yang mengatasnamakan agama sebagai salah satu dari sekian banyak isu global yang ada pada abad 21. Aksi bom bunuh diri misalnya, dan beberapa tindakan yang lainnya baik secara moral dan sosial.

Dalam konteks ini, sesuatu yang bias, sejauh menurut pendapat saya, adalah ketika beberapa ilmuwan justru mengambinghitamkan ideologi agama sebagai penyebab bagi adanya tindakan-tindakan yang jelas tidak manusiawi itu.

BACA JUGA  Serangan Moskow: Bentuk Ancaman Terorisme Itu Nyata!

Apalagi tokoh populer dunia seperti Richard Dawkins dan Sam Harris juga menyalahkan ideologi agama sebagai penyebab utama adanya tindakan terorisme. Dalam buku The God Delusion misalnya, secara eksplisit memberikan pandangan bahwa agama laiknya virus.

Agama memanipulasi manusia untuk secara sukarela, bahkan heroik, mengorbankan segala sumber daya termasuk nyawa demi eksistensi agama itu sendiri. Sedangkan, Sam Harris malah memandang kitab suci sebagai sumber intoleransi dan kekerasan bagi orang-orang yang berbeda agama.

Padahal, agama dalam pengertiannya secara umum adalah sistem nilai moral yang jelas mengingkari adanya tindakan yang justru merusak nilai moral itu sendiri. Sehingga, dalam hal ini, jelas, ada banyak faktor yang bahkan sangat kompleks dari semata-mata disebabkan faktor ideologi agama belaka. Ada banyak rahim yang melahirkan tindakan-tindakan semacam itu. Dan, dari banyak rahim tersebut, saya ingin mengatakan: agama tidak termasuk rahim itu.

Mata dunia hari ini sudah sangat jelas memandang bahwa konflik panjang yang terjadi antara Palestina dan Israel, bukanlah konflik agama. Simplifikasi analoginya begini, agama itu bagaikan pisau. Jika pisau tersebut digunakan untuk membunuh, pisau tentu tidak bisa dihakimi salah, yang menggunakan pisau untuk membunuh itu yang salah.

Sama seperti agama. Menurut argumentasi Swamy, akar kekerasan agama sesungguhnya tidak lahir dari agama itu sendiri, akan tetapi dari para pengikut agama. Terjadinya salah tafsir terhadap ajaran agama, atau bahkan sengaja menafsirkan ajaran agama untuk melegitimasi aksi-aksi tidak manusiawi sebagai tindakan yang sakral dengan bonus bidadari.

Atau misalnya penafsiran fatwa Mardin Ibnu Taimiyah yang digunakan sebagai landasan moral-teologis untuk melakukan tindakan-tindakan tidak adil dan merugikan, adalah contoh bahwa pengikut agamalah yang salah, bukan agamanya.

Propaganda dan kekuatan media memang menjadi momok bagi pencucian cara pandang yang picik terhadap agama, apalagi Islam, yang selalu dinarasikan sebagai bagian utama dari lahirnya tindakan kekerasan agama. Campur tangan ilmuwan dalam hal ini juga sangat berpengaruh untuk menciptakan nuansa gelap bagi agama, sebagaimana yang sudah saya contohkan di atas.

Kalau kita mencoba merefleksikan pengetahuan dan pemahaman secara lebih jernih ke belakang, sebenarnya jenis-jenis tindakan radikal sudah ditemukan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Tetapi para ilmuwan, atau boleh kita menyebutnya kaum intelektual, sepakat bahwa peristiwa 9/11 adalah titik awal perhatian kepada kelompok teroris. Siapakah yang di-framing-kan menjadi teroris dalam hal ini? Jelas, adalah Islam.

Saya ingin menegaskan lagi bahwa konflik atau kekerasan yang terjadi dalam konteks agama hanya diberi label oleh pihak tertentu dan untuk kepentingan tertentu. Memang, kita tidak akan menyangkal bahwa keberadaan agama memiliki potensi pula untuk melahirkan konflik, tetapi kita harus membuka mata pikiran lebar-lebar bahwa seringkali konflik agama hanya dijadikan alat politik.

Padahal, tentu saja, konflik bisa saja timbul karena alasan lain, seperti masalah keluarga, kependudukan, perbedaan budaya, sosial, atau ekonomi. Namun, politisi atau siapa pun yang culas akalnya seringkali melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk memperoleh dukungan atau menggerakkan massa dengan melabelinya sebagai konflik agama.

Label ini memiliki kekuatan besar karena dapat meningkatkan pengaruh dan kendali atas orang lain. Persis dalam hal ini, penggunaan agama sebagai alat kampanye, misalnya, dan beberapa pemanfaatan narasi ideologis agama oleh sekelompok orang untuk menciptakan fanatisme buta.

Karena itu, saya ingin menegaskan bahwa fenomena konflik agama sesungguhnya bersifat kompleks dan tidak dapat dipahami secara sederhana, umpamanya, dengan sambil menuding kafir kelompok lain.

Dengan demikian, sangat penting untuk memeriksa dengan seksama fakta atau fenomena yang mendasari tindakan-tindakan kekerasan sebelum membuat kesimpulan bahwa tindakan tersebut merupakan konflik agama.

Tiga aspek yang telah disebutkan sebelumnya sangat perlu dipertimbangkan, terutama bagi kalangan akademisi agama dalam mengevaluasi konflik yang melibatkan aspek keagamaan. Tentu, sebagai akademisi, kita sudah seharusnya tidak malah menjadi sosok bermulut bensin yang justru akan membuat kobaran api semakin berkobar hebat.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru