30.8 C
Jakarta

Mewaspadai Intervensi Kelompok Radikal dalam Pemilu 2024

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMewaspadai Intervensi Kelompok Radikal dalam Pemilu 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang penyelenggaraan kontestasi Pemilu tahun 2024 yang semakin mendekat, Indonesia saat ini sudah mulai memasuki masa-masa yang sangat krusial. Berbagai pihak akan terus menguatkan pengaruhnya demi memperoleh kemenangan yang gemilang tahun depan. Tidak terkecuali bagi para kelompok radikal yang berusaha memanfaatkan kesempatan emas tersebut untuk membangun akses di tubuh pemerintahan Indonesia.

Pemilu memainkan peran penting dalam keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Pesta demokrasi yang diadakan setiap lima tahun sekali itu menjadi patokan utama untuk mencari penggerak pembangunan Indonesia di masa depan.

Artinya Pemilu menjadi syarat utama untuk membentuk suatu sistem kepemimpinan di Indonesia yang sah secara hukum. Pemimpin yang terpilih nantinya akan mempunyai kewenangan untuk merumuskan berbagai kebijakan-kebijakan untuk menjalankan roda negara ini.

Di dalam sistem pemerintahan demokrasi, suara rakyat menjadi komponen utama untuk meraih kesuksesan pemilu. Tanpa dukungan penuh dari rakyat mustahil untuk bisa menduduki kursi kepemimpinan di tanah air ini.

Maka dari itu banyak pihak mulai berlomba-lomba membangun narasi-narasi positif  untuk memikat hati masyarakat sebanyak-banyaknya. Hal yang perlu diwaspadai saat ini bukan sebatas persaingan panas para tokoh-tokoh politik saja, melainkan juga harus awas dengan adanya campur tangan kelompok-kelompok radikal di kontestasi Pemilu mendatang.

Pemilu menjadi momen yang sudah ditunggu-tunggu oleh kelompok teroris untuk menyusup dalam tata pemerintahan Indonesia. Sudah tidak diragukan lagi akan banyak intervensi mereka untuk mempengaruhi pola piker dan tindakan masyarakat sepanjang tahun politik tersebut.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri menyebutkan bahwa dalam ajang Pemilu dan pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 potensi gerakan-gerakan radikal akan terus bermunculan. BNPT juga sudah memastikan akan terus mengantisipasi dan meminimalisir kemunculan kelompok-kelompok radikal atau ancaman terorisme menjelang pemilihan umum.

Namun pergerakan mereka dalam menyebarkan berbagai propaganda tidak mungkin dilakukan secara terang benderang. Kelompok radikal  ini sebisa mungkin melakukan manuver-manuver lewat cara halus dengan menyebarkan narasi-narasi sensitif  dalam skala yang luas.

Bayangkan jika saja kelompok radikal ini sudah berhasil ke dalam dunia politik Indonesia. Mereka bisa membuat kebijakan-kebijakan untuk membuka jalan penyebaran paham radikal yang dilindungi oleh hukum.

Penggunaan Isu 100 Tahun Runtuhnya Sistem Khilafah

Banyak narasi-narasi yang sudah dibangun para kelompok radikal agar bisa mengikuti pertarungan politik di negeri ini. Sebagai bukti nyatanya adalah dengan banyak tersebarnya perbincangan terkait narasi persiapan 100 tahun runtuhnya sistem khilafah di media sosial.

Narasi ini menjadi sangat favorit bagi umat Islam Indonesia dan banyak di bahas di berbagai media sosial ataupun media lainnya. Memang dalam sejarahnya Kekhalifahan Turki Utsmani berhasil dihancurkan pada  3 Maret 1924 silam.

Namun yang menjadi menarik adalah secara kebetulan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia pada tahun 2024 nanti sangat bertepatan dengan 100 tahun dihapuskannya sistem kekhalifahan di muka bumi, khilafah ala HTI maksudnya.

Faktanya tersebut sudah membuat banyak umat Islam Indonesia sendiri sangat tertarik dengan narasi ini. Lewat kesempatan tersebut kelompok radikal tidak akan melewatkannya untuk mulai mencari simpatisan Muslim sebanyak-banyaknya.

Alur yang bisa mereka bangun pertama menyebarkan informasi tentang kemunduran umat Islam saat ini pasca-kejatuhan Turki Ustmani. Diiringi dengan penindasan umat Islam yang terjadi di mana-mana, disebabkan tidak adanya pemimpin yang mampu mengatasinya.

Selanjutnya penggunaan hadis Nabi Muhammad Saw. yang berkaitan dengan sebuah ungkapan bahwa setiap 100 tahun akan keluar seorang pembaharu yang dikenal dengan sebutan mujaddid. Ia kan dipakai untuk meyakinkan bahwa pemilu di Indonesia tahun depan bukanlah suatu kebetulan melainkan sebuah isyarat dari Rasulullah untuk rakyat Indonesia untuk memilih mujadid baru.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Masyarakat yang mudah termanipulasi akhirnya akan memilih kader politik yang disiapkan oleh kelompok radikal sebagai mujadid baru dengan iming-iming perubahan baru di dunia Islam. Namun setelah terpilih mereka bebas untuk membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan pergerakan kelompok radikal.

Perlu diketahui bahwa dalam agenda Pemilu 2024 mereka tidak akan secara frontal menggaungkan pembentukan negara khilafah karena jalan tersebut akan sangat sulit. Mereka akan mengamankan langkah pertama terlebih dahulu untuk mendapatkan kursi di pemerintahan.

Dalam bergerak tentu mereka tidak akan sendirian, kelompok radikal ini dibantu oleh para anggota kelompok radikal yang sudah dilarang di Indonesia. Walaupun mereka sudah dibubarkan namun mereka tetap bergerak secara transparan untuk mendapatkan akses di pemerintahan dengan memasukan anggota mereka sebagai jembatan penghubung.

Menggiring Opini Publik Lewat Media Sosial

Untuk menyebarkan propaganda-propaganda halusnya secara luas mereka tentu membutuhkan media yang dapat diakses oleh semua orang. Media sosial menjadi alat yang tepat untuk menggiring perspektif masyarakat dalam skala yang luas. Didukung dengan pengguna media sosial di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia yaitu pengguna aktif Facebook saja mencapai lebih dari 70 juta orang.

Lalu pertanyaannya, seberapa efektifkah media sosial dalam menyebarkan propaganda mereka?

Dengan tidak adanya legalitas dan peraturan yang mengikat seperti media massa, narasi apapun yang disebarkan lewat sosial media dapat sampaikan secara bebas tanpa ada yang menyaringnya. Keuntungannya lainnya pasar dari sosial media adalah semua kalangan baik orang dewasa ataupun anak-anak.

Lalu kaitannya dengan dengan agenda Pemilu 2024 mendatang, narasi yang mereka bangun akan disampaikan lewat media sosial untuk mendapatkan simpatisan muslim secara massal.

Selain penyampaian narasi yang lebih cepat dan mudah dicerna oleh khalayak, media sosial memiliki kekuatan yang sangat mutlak untuk membentuk opini-opini publik dari narasi yang disebarkan sehingga mempengaruhi kemenangan dalam pertarungan politik.

Setelah sukses mendoktrin banyak masyarakat lewat berbagai narasi yang memikat, selanjutnya mereka akan mempromosikan kandidat mereka yang harus di pilih mereka dalam Pemilu mendatang agar bisa mewujudkan narasi yang mereka bangun.

Buktinya pernah dilakukan oleh kelompok teroris Santoso. Peneliti masalah terorisme dan Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sydney Jones dalam wawancara dengan BBC mengatakan Santoso berhasil merekrut banyak simpatisan lewat media sosial sebagai alat propaganda.

Tentunya kita harus lebih bijak dalam bersosial media di tahun politik yang semakin memanas ini. Sehingga dapat menyaring informasi yang masuk agar kita tidak mudah tercuci otak. Karena informasi yang beredar di media sosial tidaklah semuanya merupakan kebenaran. Banyak juga propaganda-propaganda buruk yang tidak mudah disadari.

Seperti yang dikatakan Stephen Crane (1895) yang menyatakan bahwa media adalah “sebuah pasar, di mana kebijaksanaan bebas dijual, media adalah permainan, juga bisa  membuat kematian”. Maksud Crane tentu menyatakan bahwa informasi yang disebarkan oleh media bukanlah sebuah  kebenaran. Ia bergantung pada perspektif dan fakta yang didedahkan.

Muhamad Andi Setiawan
Muhamad Andi Setiawan
Sarjana Sejarah Islam UIN Salatiga. Saat ini aktif dalam mengembangkan media dan jurnalistik di Pesantren PPTI Al-Falah Salatiga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru