33.5 C
Jakarta

Mewaspadai Gerakan yang Menggerogoti Tradisi Bangsa

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMewaspadai Gerakan yang Menggerogoti Tradisi Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Tuhan Itu ‘Maha Santai’, Maka Selowlah…, Penulis: Edi AH Iyubenu, Penerbit: DIVA Press, Cetakan: I, September 2019, Tebal: 180 Halaman, ISBN: 978-602-391-789-1, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Capres dan Cawapres yang akan bertarung pada Pemilu 2024 sudah sama-sama mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Para pendukung dan partai pengusung telah merapatkan barisan untuk menyiapkan kemenangan jagoannya.

Jika kurang bijak dan tidak berkepala dingin saat menyikapi momen lima tahunan ini, lambat laun akan mengganggu ketenangan dan memantik perselisihan selama bertahun-tahun.

Tentu, saat kondisi mudah tersulut, gampang marah, sering bertikai, dan selalu berpecah-belah akibat beda pilihan, hal ini sungguh mengkhawatirkan. Lebih-lebih jika politik praktis yang sengaja dimainkan oleh penunggang-penunggang Islam yang tanpa malu mengipasi berbagai perbedaan paham agar semakin heboh demi kepentingan dirinya.

Berkat media sosial, kita semakin mudah dalam berkomunikasi. Semua orang memiliki akun sebagai panggung pribadi. Saat seseorang menuliskan isi pikirannya di akun pribadi itu, terpublikasikanlah isi pikirannya ke ruang publik yang luas tak berbatas. 

Maka, sesuatu yang semula hanya milik personal mendadak berubah menjadi milik komunal. Dan saat di posisi inilah seringkali kita menuai perbedaan, lalu perdebatan, kemudian ketegangan, lantas perselisihan, dan bisa berujung permusuhan dan pertengkaran.

Ruang panggung yang terbuka seperti ini sering dijadikan media ideologisasi sebuah pandangan, pendapat, paham, dan aliran hukum Islam juga politik.

Ada yang mengatakan begini, ada pula yang mengatakan begitu. Ada yang menghujat calon ini, ada pula yang mengkirik calon itu. Ada yang mengkafirkan si ini, ada pula yang mencoreng nama si itu.

Jika senyampang perbedaan pendapatnya masih diutarakan dengan akhlak karimah, barangkali masih tergolong ikhtilaf yang membawa rahmat. Namun, jika perbedaan-perbedaan paham itu telah meruah ke ranah ideologis, pecahlah kemajemukan dan yang semula rahmat menjadi kemelut.

Fenomena Islam milenial ini juga menjadi topik bahasan dalam buku Tuhan ‘Maha Santai’, Maka Selowlah… Selaku penulis, Edi AH Iyubenu bertanya dengan pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Bagaimana mungkin kita yang mengatasnamakan cinta Al-Qur’an dan sunah Rasul Saw, justru memperlihatkan ucapan dan perilaku yang tidak selaras dengan tuntutan akhlak karimah yang berlimpah dalilnya di dalam Al-Qur’an dan hadis Rasul Saw?

Bagaimana bisa kerahmatan ikhtilaf justru menjatuhkan kita ke dalam lumpur permusuhan dan perpecahan yang jelas terlarang? Bagaimana mungkin ekspresi untuk ber-amar makruf nahi munkar justru dijalankan dengan cara-cara mungkar? (hlm. 31).

Lebih lanjut penulis meminta agar kita melihat fenomena yang telah dilakukan oleh HTI dan Ijtima’ Ulama. Ia mengatakan, lihatlah fenomena HTI, misalnya, juga gerakan Ijtima’ Ulama yang tiada habis-habisnya itu.

Islam telah diideologisasikan sedemikian rupa, sehingga pandangan hukum yang mulanya adalah takwil bermetamorfosis menjadi paham ideologis. Namanya ideologi, tentu saja mencari ruang untuk mengejawantahkan dirinya.

BACA JUGA  Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

Dalam konteks yang paling terbuka, kedua gerakan tersebut bergerak untuk menggantikan ideologi Pancasila yang telah ditegakkan sejak awal kemerdekaan NKRI ini dengan mendelegitimasi otoritas pemerintah yang ada. Semua itu dikemas dengan bendera-bendera Islam (hlm. 38).

Tidak hanya itu, kita bisa merasakan pula adanya gerakan-gerakan Islam yang hendak menggerogoti khazanah tradisi, adat dan budaya bangsa ini. Mereka aktif menggerakkan pahamnya melalui pengajian dan publikasi digital. Slogan mereka sangat kita kenal, yakni kembali pada kemurnian Al-Qur’an dan Sunah Rasul Saw.

Khazanah paham berislam yang telah mapan di negeri ini pun diusik. Maulidan diserang, tahlilan dilabrak, Suroan diharamkan, ziarah kubur wali dituding sesat, zikir dan tembangan islami sebelum dan sesudah salat diharamkan, tasawuf dituding melenceng dari syariat, dan lain sebagainya.

Sementara jika kita menilik khazanah Sirah Nabawiyah, betapa Islam ala Rasulullah itu santai dan woles. Dakwah beliau tentulah syiar syariat Islam yang sangat serius dan paripurna, namun cara beliau sangatlah mengayomi. Contoh-contoh sikap dan tindakan Rasulullah yang menunjukkan betapa selow-nya beliau, juga diungkap di dalam buku ini.

Suatu ketika sekelompok pemuka Bani Najran yang beragama Nasrani mendatangi Rasulullah Saw di Masjid Nabawi dengan maksud berdebat terkait kebenaran Islam. Beliau menemuinya dengan baik di dalam masjid.

Begitu tiba waktu sore, para tamu itu menyatakan hendak menjalankan sembahyang dan Rasulullah mempersilakan mereka sembahyang di dalam Masjid Nabawi. Tidak hanya itu, Rasulullah juga memberikan jaminan keamanan kepada mereka untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya.

Lain waktu, Rasulullah Saw berkata dengan nada tinggi kepada sahabatnya yang membunuh seorang musuh yang telah kalah dan tiba-tiba bersyahadat. Sahabat tersebut menyatakan bahwa syahadatnya pasti palsu, hanya agar tidak dibunuh. Rasulullah kemudian bersabda tegas, “Apa kau hendak membelah dadanya dulu agar kau tahu apa benar ada iman di hatinya?” (hlm. 77).

Sebegitu santainya Rasulullah Saw. Dua kisah tersebut menandakan bahwa Rasulullah sangat mengedepankan etika kemanusiaan dalam menjalankan syiar Islam. Kita pun sebagai umatnya, harusnya juga demikian dalam mengekspresi keimanan dan keislaman. Harus santai, tenang, beraura sejuk dan meneduhkan.  

Akhirnya, mari bersama-sama kita renungi nasihat penulis sebagaimana tertuang di bagian akhir dalam Kata Pengantar. Jangan melampaui batas, jangan memicu perpecah-belahan, atas nama apa pun, termasuk atas nama iman, takwa, dan Islam. Mari tetap tenang dalam menjadi manusia yang rendah, tawaduk, dan fana. Biarkanlah Allah Swt. sebagai Tuhan Yang Maha Esa kelak memutuskan sendiri dengan keadilan-Nya di antara kita semua.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru