28.4 C
Jakarta

Metode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMetode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mengakses informasi bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan di era media sosial saat ini. Seiring perkembangan teknologi yang memudahkan setiap orang menjelajahi jejaring sosial, suatu informasi pun menjadi semakin tak mudah untuk dideteksi kebenaran dan keakuratannya. Pada akhirnya, arus penyebaran informasi yang tidak benar sudah hampir tak bisa dibendung lagi. 

Tak ayal jika hal itu berdampak kepada banyaknya kesalahpahaman yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak jarang suatu informasi berisi konten yang menyulut emosi dan melahirkan budaya caci maki. Tidak cukup sampai di situ, bahkan sering kali, dampaknya berujung pada tindakan anarki. 

Pengguna media sosial yang baik adalah mereka yang mampu menyaring informasi sebelum mengonsumsi dan men-sharing informasi kepada pengguna lain, terlebih lagi jika penggunanya seorang Muslim. Sudah tidak asing bagi seorang Muslim bahwa setiap informasi yang didapatkan hendaknya selalu ditabayunkan terlebih dahulu sebelum dipercaya dan diinformasikan kembali. 

Nilai ini sudah termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 6, yaitu:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah “bagaimanakah cara bertabayun yang benar ?”. Terkadang sebagian kita aktif menyuarakan ajaran bertabayun, tetapi kita malah lupa yang terpenting dari tabayun itu sendiri, yaitu caranya. Bertabayun dapat dilakukan dengan mengecek secara langsung kepada sumbernya. Dapat juga dilakukan dengan mengkritisi informasi yang kita dapatkan. 

Satu di antara sekian banyak cara yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menerapkan metode yang digunakan oleh Ibnu Al-Haytsam; seorang cendekiawan Muslim abad ke-9 dalam penelitian ilmiahnya.

Ibnu Al-Haytsam atau yang lebih dikenal di Eropa dengan nama Al-Hazen adalah seorang cendekiawan Muslim yang lahir sekitar tahun 965 M di Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad al-Hasan bin Al-Haytsami. Ia seorang ilmuwan yang ahli di bidang sains, falak, matematika, pengobatan, filsafat, dan lainnya. 

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Dari sekian banyak kepakaran yang dimilikinya, ia terkenal sebagai “bapak optik modern”, sebab banyak menghasilkan penelitian mengenai cahaya yang menjadi teori dasar ilmu optik.

Dengan penelitiannya ini, banyak ilmuwan Barat yang terinspirasi olehnya, seperti Roger Bacon dan Kepler dalam menciptakan mikroskop dan teleskop, Sir Issaac Newton dan Leonardo Da Vinci pun secara tidak langsung terinspirasi dari metodologi dan hasil penelitiannya. David L. Shakenberg pernah menulis artikel berjudul, “Before Newton, there was Al-Hazen”.

Karya Al-Haytsam yang paling monumental adalah bukunya yang bernama “Al Manāzhir” atau “The Book of Optics“. Dalam bukunya ini Al-Haytsam menuliskan bagaimana menguji kebenaran sebuah teori ilmiah, ia mengatakan: 

فالواجب على الناظر في كتب العلوم، إذا كان غرضه  معرفة الحقائق أن يجعل نفسه خصما لكل ما ينظر فيه ويجيل فكره في متنه و في جميع حواشيه ويخصمه من جميع جهاته ونواحيه

Tugas seorang yang meneliti buku-buku ilmiah, jika tujuannya mengetahui kebenaran maka hendaklah dia jadikan dirinya musuh terhadap setiap hal yang dia lihat di dalam buku itu dan menerapkan pikirannya pada isinya dan penjelasannya serta menyerangnya dari segala sisi.” 

Nah, dari metode inilah ia disebut sebagai “the first scientist”.

Dari kutipan Ibnu Al-Haytsam di atas, meskipun konteksnya digunakan dalam penelitian ilmiah, namun dapat pula kita jadikan sebagai alat untuk menguji kebenaran suatu informasi. 

Artinya, orang yang orientasinya mencari ‘kebenaran’, maka setiap informasi yang didapatkan hendaknya “dimusuhi” atau jangan dipercaya begitu saja, kemudian menerkanya dengan akal sehat apakah informasi itu benar adanya atau sebaliknya, lalu diuji kebenarannya dengan “menyerang” informasi tersebut dari segala sisi dengan fakta-fakta yang ada. 

Dengan demikian, keakuratan dan kredibilitas suatu informasi akan benar-benar teruji kebenarannya. Kalau cara ini dapat diterapkan, tingkat penyebaran berita bohong atau hoaks di internet khususnya media sosial setidaknya dapat diminimalisir.

Upaya ini layak untuk dipertimbangkan. Mengingat pengguna media sosial yang kritis dalam menerima informasi masih sangat minim.

Maksum H. Hubaib
Maksum H. Hubaib
Alumni Sekolah Tinggi Kulliyyatul Qur’an Al-Hikam Depok dan Ma’had Darul Qur’an wal Hadis Pancor, Lombok Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru