28.3 C
Jakarta

Meruntuhkan Ideologi Kelompok Teroris: Telaah Kritis Ayat Jihad

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeruntuhkan Ideologi Kelompok Teroris: Telaah Kritis Ayat Jihad
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Harus diakui dan disadari bersama bahwa tindak kekerasan atas nama agama selalu menjadi kendala utama akan terciptanya stabilitas dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Di mana lebih dari dua dekade pasca-reformasi, kejahatan dan kekerasan atas nama agama seperti tidak pernah surut menghantui sendi-sendi kehidupan warga bernegara. Persebaran ideologi teroris sampai detik ini bisa dikatakan masih berjalan dari satu kepala ke kepala lainnya, dan dari satu pintu ke pintu lainnya pula.

Hal ini bisa dibuktikan setidaknya dengan melihat bagaimana di hampir setiap tahunnya, tragedi kekerasan atas nama agama tidak pernah absen, dan peristiwa penangkapan tersangka teroris oleh Densus 88 Anti Teror Polri masih marak dilakukan. Dari bukti ini kemudian kembali mengorek kesadaran kolektif kita, bahwa terorisme dengan disponsori klaim kebenaran (truth claim) serta klaim keselamatan (salvation claim), menjadi dua hal yang harus diwaspadai bersama dewasa ini.

Tentu, di tengah kemajemukan dan karakteristik negara Indonesia yang plural, “penyakit kronis beragama” bernama terorisme masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Namun apa boleh buat, problem kekerasan atas nama agama  seperti tindak terorisme bukanlah persoalan yang bisa ditangani dengan mudah. Artinya, problem ini adalah problem besar yang membutuhkan upaya serius dalam penanganannya. Sebab, hal ini selalu menyangkut dan berkaitan erat dengan ideologi (landasan teologis) yang teroris bawa.

Menelisik Landasan Teologis Teroris

Abu Ezza dalam bukunya Pengantin Teroris: Memoar Jihad NA (2010), mengatakan bahwa rata-rata para pelaku teror termotivasi oleh doktrin-doktrin agama yang bernuansa radikal. Melalui doktrin-doktrin agama inilah yang kemudian membentuk ideologi keras yang bersifat kaku, hingga pada akhirnya malah menjadi stimulus dan landasan teologis untuk melakukan aksi teror.

Lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana landasan teologis para teroris, buku berjudul Aku Melawan Teroris karya Imam Samudera (salah satu dalang Bom Bali 2002 silam) relevan untuk dijadikan rujukan. Di mana salah satu landasan teologis yang selalu dijadikan stimulus adalah ayat al-Qur’an bernuansa jihad yang tampak radikal, seperti dalam surah Al-Anfal ayat 39:

وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّه لِلّٰهِ ۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”

Untuk mengafirmasi landasan teologisnya, para teroris juga menampilkan hadis bernuansa radikal sebagai legitimasi (pembenaran) terhadap ayat al-Quran di atas, yaitu sebuah hadis yang mempunyai kaitan erat dengan peperangan dan penegakan kalimat syahadat berbunyi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ [رواه البخاري ومسلم]

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada Ilah (Tuhan) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. al-Bukhari-Muslim)

Hadis di atas mengindikasikan bahwa perang dilakukan sampai semua orang membaca dua kalimat syahadat. Sehingga atas pemahaman ini, para pelaku teror mengkonklusikan bahwa perang merupakan kewajiban mutlak yang berlaku sampai tercapainya setidaknya dua keadaan: pertama, tidak ada lagi kemungkaran di dunia. Kedua, agama Islam menang dari agama-agama lain.

BACA JUGA  Melihat Lebaran dengan Spirit Memerangi Intoleransi dan Radikalisme

Hakikat dan Kontekstualisasi Ayat Jihad

Dalam menafsirkan ayat 39 surah Al-Anfal, “Dan perangilah sampai tidak ada lagi fitnah”, Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya berpendapat dengan didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibn Umar, bahwasanya ayat ini berlaku pada masa Rasulullah SAW, ketika ada sesorang yang baru masuk Islam, ia akan difitnah (Ibnu Katsir, 1998). Fitnah dalam hal ini, M. Quraish Shihab memaknainya dengan berupa tindakan penganiayaan yang dapat mengancam kehidupan kaum muslimin (Shihab, 2007).

Berbeda dengan pandangan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya “Al-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj”, bahwa ayat di atas adalah hukuman dari Allah SWT terhadap orang kafir yang masih berada dalam kekafiran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat sebelumnya (Al-Anfal: 38), yang mana Allah SWT. menawarkan kepada orang kafir seperti Abu Sufyan dan para sahabatnya kala itu, jika berhenti dari kekafiran dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad SAW dan mau masuk Islam, maka Allah akan mengampuni seluruh dosa mereka.

Tetapi sebaliknya, jika mereka masih dan tetap memilih berada pada kekufuran, maka akan berlaku atas mereka ketentuan-ketentuan Allah berupa azab kehancuran, sebagaimana kisah para pendusta dahulu yang menentang nabi-nabinya (Az-Zuhaili, 2003). Berdasarkan penjelasan inilah kemudian, peninjauan terhadap korelasi ayat satu dengan yang lain menjadi hal yang penting dilakukan. Mengingat, ayat al-Quran yang satu dengan yang lain selalu dan selamanya mempunyai keterkaitan untuk saling menjelaskan satu sama lain.

Menggugat dan Meruntuhkan Ideologi Teroris

Peter Werenfels (1703) sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher (seorang orientalis Jerman pengkaji Islam), telah mensinyalir betapa setiap umat beragama akan selalu mencari pembenaran (legitimasi) atas pendapatnya sendiri pada kitab agamanya. Pembenaran melalui jalan agama memang tentu lebih menjanjikan dibandingkan alat legitimasi yang lain. Begitu pun dengan teroris, mereka akan selalu berusaha untuk mencari alat legitimasi pendapatnya sendiri dengan selalu merujuk pada al-Quran.

Namun, pembenaran ini tidak selamanya benar dan lurus. Sebab, al-Quran tidak bisa dipahami hanya dengan sepotong ayat saja, apalagi dengan mengambil sepotong ayat yang sesuai dengan kehendak pendapatnya (cherry picking). Artinya, memahami dan mengambil ayat al-Quran hanya dengan sepotong sama saja dengan memaksa al-Quran untuk sesuai dengan kehendak manusia.

Atas dasar inilah, dengan melihat landasan teologis teroris terlihat jelas bagaimana mereka melakukan kesalahan fatal dengan menjadikan surah Al-Anfal ayat 39 sebagai alat legitimasi terhadap berbagai serangan yang mereka dilakukan. Para teroris tidak melihat pentingnya melihat konteks lahirnya sebuah surah/ayat dan pentingnya menelisik korelasi ayat satu dengan lainnya.

Hal ini jelas sangat problematis dan destruktif, ketika pembenaran tunggal yang dimiliki Tuhan Dzat Yang Maha Semau Gue (istilah Gus Mus, dirampas manusia meskipun dengan pekik atau caption membela Tuhan.

Referensi

Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir Alquran Al-Azim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998).

Quraish Shihab, Eksiklopedi Alquran: Kajian Kosakata Jilid 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2007).

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, (Riyadh: Dar as-Salam, t.th).

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2003).

Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, (Solo: Jazera, 2004).

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang/Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Beberapa tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru