28.4 C
Jakarta

Merawat Toleransi Bersama Generasi Milenial dan Gen Z

Artikel Trending

KhazanahOpiniMerawat Toleransi Bersama Generasi Milenial dan Gen Z
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berbicara mengenai toleransi beragama di era digital tidak bisa dilepaskan dari peran generasi milenial dan gen Z. Pasalnya, dua generasi inilah yang paling banyak porsinya dalam memanfaatkan kemudahan teknologi informasi dalam kesehariannya.

Di samping itu, dua generasi ini pula yang kelak diharapkan memiliki kontribusi besar dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Jika dua generasi melek teknologi ini memiliki pandangan keberagamaan yang eksklusif, maka akan menjadi ganjalan kemajuan negara-bangsa Indonesia.

Secara umum, generasi milenial lahir pada rentan waktu 1980-1994, sementara gen Z lahir pada 1995-2012. Rentan waktu kelahiran ini merupakan masa tumbuh suburnya perkembangan teknologi, termasuk internet.

Sementara itu, internet merupakan belantara informasi yang antah berantah. Banyak informasi yang benar, tetapi berjubel juga informasi sesat dan manipulatif. Termasuk, informasi seputar agama.

Intensitas generasi milenial dan gen Z dalam mengakses informasi di media digital seperti dua mata pisau. Satu sisi merupakan peluang untuk terus update informasi yang dapat menunjang penguatan pengetahuan mereka terkait banyak hal.

Di sisi lain, berjubelnya informasi yang tidak selalu terverifikasi validitasnya juga dapat membuat dua generasi potensial ini tersesat dalam pemahaman yang keliru. Terlebih jika sudah menyangkut agama, pemahaman keliru terkait ayat jihad, misalnya, bisa menjadi pintu masuk seseorang sebagai pelaku kekerasan atas nama agama.

Karena itu, memahami karakteristik generasi milenial dan gen Z kaitannya dengan pemahaman mereka terhadap kehidupan beragama mendesak untuk dilakukan. Informasi ini bisa kita jadikan sebagai salah satu acuan untuk menggandeng sekaligus mengedukasi dua generasi tersebut agar memiliki pemahaman yang inklusif terhadap praktik keberagamaan.

Berdasarkan hasil survei Setara Institute terhadap pelajar SMA di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang pada Januari – Maret 2023, hampir semua pelajar memiliki tingkat penerimaan yang tinggi terhadap perbedaan keyakinan (99,3%). Empati terhadap kelompok yang berbeda agama atau keyakinan pelajar juga sangat tinggi, yakni 98,5%. Jika kita asumsikan usia SMA 15-16 tahun, maka subyek survei ini masuk kategori Gen Z.

BACA JUGA  Tipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama

Sementara itu, berdasarkan survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, generasi milenial dan Gen Z menjadi generasi yang paling banyak memanfaatkan media sebagai sumber untuk mengakses pengetahuan agama, terutama media sosial dan podcast.

Survei juga menampakkan Gen Z menjadi generasi yang paling suka berinteraksi terkait isu keagamaan di media sosial. Generasi ini yang paling sering menyukai (like), tidak menyukai (dislike), berbagi informasi (share), memberi komentar (comment) terkait isu keagamaan di media sosial.

Kedua survei tersebut dapat dipahami sebagai potensi generasi milenial dan Gen Z menjadi agen perdamaian. Corak keagamaan mereka yang cenderung toleran dalam menerima perbedaan keyakinan bisa terus kita rawat melalui pelibatan-pelibatan mereka dalam kampanye nilai-nilai toleransi.

Kecakapan mereka dalam memanfaatkan media sosial juga bisa diberdayakan untuk memperluas jangkauan edukasi keberagamaan yang santun dan menghormati perbedaan.

Namun, kecenderungan mempelajari agama melalui media sosial menjadi celah bagi narasi intoleransi masuk dan secara perlahan dapat mempengaruhi corak pemikiran keagamaan dua generasi  ini.

Terlebih, bagi mereka yang hidup di perkotaan dengan tradisi keagamaan yang minim, tentu menjadi sasaran empuk pagi narasi-narasi kebencian dengan mengatasnamakan agama. Di tahun politik, kelompok ini sangat rentan dimanfaatkan sebagai lumbung suara untuk mendukung calon tertentu bermodalkan agitasi berlabel ayat-ayat suci.

Memberantas narasi intoleran di media sosial adalah hal yang mustahil. Karena itu, yang bisa kita lakukan adalah memberdayakan potensi generasi milenial dan gen Z yang memiliki pemahaman agama inklusif.

Kecakapan mereka dalam memanfaatkan teknologi informasi dan pembuatan konten-konten kreatif bisa diarahkan untuk membuat kreasi konten edukatif terkait nilai-nilai perdamaian.

Karena, jika kita ingin mempersiapkan generasi milenial dan gen Z menjadi pemimpin bangsa di usia 100 tahun Indonesia, maka pelibatan mereka dalam merawat toleransi beragama menjadi bekal yang penting untuk memunculkan kebijakan-kebijakan publik yang adil dan tidak diskriminatif di masa depan.

Pelibatan ini menjadi pengalaman berharga generasi milenial dan gen Z, bahwa Indonesia dibangun di atas perbedaan dan terus merawat perbedaan agar kehidupan menjadi lebih harmoni.

Imron Mustofa
Imron Mustofa
Penulis. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru