30.8 C
Jakarta

Menyelami Dinamika Perpolitikan Era Kekhalifahan Islam

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenyelami Dinamika Perpolitikan Era Kekhalifahan Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Harun ar-Rasyid dan Dunia Seribu Satu Malam, Penulis: Andre Clot, Penerbit: Republik Penerbit, Cetakan: 1, November 2021, Tebal: 412 halaman, ISBN: 978-623-279-119-0, Peresensi: Moh. Romadlon.

Harakatuna.com – Nafsu berkuasa dan menguasai merupakan sumber dari segala sumber kerusakan dan kejahatan di muka bumi. Manusia yang diperbudak olehnya akan lupa diri. Segala cara akan dilakukan asal nafsu terpuaskan.

Seseorang yang sangat bernafsu menjadi kepala daerah misalnya tidak segan melakukan cara-cara kotor dalam meraihnya. Ia akan melakukan politik uang, memanipulasi suara pemilih, menyogok sana-sini, menebar kampanye hitam, dan sejenisnya. Ia tak peduli meskipun perbuatannya tersebut telah merugikan dan menyakiti orang lain, menabrak aturan negara dan ajaran agama.

Hebatnya, nafsu atau ambisi berkuasa bisa menjangkiti siapa saja dan pada era mana saja, termasuk era kekhalifahan Islam, terutama pasca Khalifah ur-Rasyidin. Saling sikut, saling jegal, bahkan saling bunuh demi tahta betul-betul terjadi waktu itu. Andre Clot dalam bukunya “Harun ar-Rasyid dan Dunia Seribu Satu Malam” merangkum dinamika politik saat itu. Terutama  perseteruan yang terjadi antara Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.

Dinasti Umayyah lahir setelah masa Khulafa ur-Rasyidin berakhir. Pendirinya Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Suriah pada masa pemerintahan Umar bin Khatab dan Utsman bin Affan. Dinasti ini berkuasa lebih dari tiga abad. Sedang keruntuhannya setelah ada konspirasi dari Bani Hasyim yang menuntut agar kepemimpinan Islam berada di tangan mereka.

Mereka merasa lebih berhak, karena keturunan Nabi Saw yang terdekat serta meyakini bahwa Umayyah ikut bertanggung jawab atas kematian Khalifah Ali dan Sayyid Husein. Dengan begitu, darah Dinasti Umayyah dianggap halal dialirkan.

Bani Hasyim pun memberontak. Pemberontakan meletus di sana-sini. Salah satunya di Khurasan yang dipimpin oleh Abu Muslim. Ia menghimpun kekuatan di Khurasan dimana tinggal sekitar dua ratus lima puluh ribu imigran Arab. Dinasti Umayyah berhasil digulingkan. Berdirilah Dinasti Abbasiyah. Saffah sebagai khalifah pertama.

Demi mengamankan dan melanggengkan kekuasaan, Khalifah Saffah memerintahkan agar keturunan Umayyah ditumpas habis. Sementara mayat Khalifah Umayyah dibakar dan abunya disebarkan ke udara. Hanya satu pangeran Umayyah yang berhasil selamat: Abdur Rahman bin Muawiyah, cucu dari Khalifah Hisyam.

Imam Thabari, sejarawan terkemuka di dunia Islam bahkan menulis: “…membantai dan kemudian menghamparkan karpet kulit di atas sekujur tubuh korban, lalu di atasnya dihidangkan makanan untuk yang hadir. Sambil menyantap mereka masih mendengar suara dari tenggorokan para korban yang masih sekarat.” (hal.10-11).

Kekejaman juga mengiringi naiknya Harun ar-Rasyid ke tampuk kekhalifahan Abbasiyah. Ia resmi diangkat setelah saudara kadungnya, Khalifah Mahdi meninggal. Banyak isu tentang penyebab kematian sang khalifah. Namun dugaan paling kuat sang khalifah meninggal di tangan ibunya sendiri dengan membubuhkan racun dalam minuman.

Bahkan sang ibu sempat mempercepat kematiannya dengan memerintahkan seorang budak untuk membekapnya dengan bantal. Setelah itu, sang ibu memerintahkan agar Harun dinobatkan menjadi khalifah, yakni pada tanggal 16 September 786 M. Kenekatan sang ibu tersebut tentu bukan tanpa sebab.

Sebelumnya, Khalifah Mahdi berulangkali berusaha meracuni sang ibu dan saudaranya, Harun. Sampai Harun pernah berusaha melarikan diri tetapi tertangkap lalu dijebloskan ke penjara hingga sang khalifah meninggal. Begitu yang ditulis Clot pada halaman 37 buku ini.

Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid mengalami puncak kejayaan, namun juga terjadi pergolakan dan pemberontakan. Salah satunya pemberontakan yang dipimpin seorang Khawarij bernama Hamzah bin Adrak di wilayah Herat, Khurasan. Ia mengku-ngaku sebagai Amirul Mukminin dan membunuh gubernur.

BACA JUGA  Hadis-hadis tentang Politik Kebangsaan; Sebuah Telaah

Pemberontakan tersebut merupakan reaksi adanya tekanan keras dari pihak berwenang dan perilaku kasar beberapa gubernur. Penderitaan, tulis Clot, selalu menimbulkan pemberontakan. Begitu pula tirani, apalagi jika dibarengi dengan tuntutan yang keterlaluan (hal.94).

Gejolak pun terjadi di dalam tembok istana, yakni antara khalifah dan orang-orang kepercayaannya. Salah satunya dengan keluarga Barmaki. Seorang keluarga Barmaki bernama Jafar suatu malam dipenggal kepalannya oleh seorang kasim bernama Masrur atas perintah Sang Khalifah.

Lalu, kepala Jafar dipertontonkan di Jembatan Tengah, sedang tubuhnya dipotong menjadi dua bagian untuk digantung di Jembatan Atas dan Jembatan Bawah. Semua di pusat kota. Mayat terpotong itu terus berada di tempatnya, selama dua tahun sampai Sang Khalifah memerintahkan untuk diturunkan dan dibakar. Sedangkan Yahya, anggota keluarga Barmaki lainnya, dijebloskan ke penjara dan dicambuk hingga hampir tewas.

Harun dikatakan telah menyiksanya agar mau mengaku keberadaan harta miliknya dan milik keluarganya. Anggota keluarga lainnya bernasinb sama; dipenjara. Mereka baru dibebaskan setelah kekhalifahan berganti. Sementara semua harta dan aset disita dan menjadi harta negara.

Motif dari tindakan tersebut tidak diketahui secara pasti. Ada yang menganggap Jafar hanya seorang muslim dalam penampilan luarnya saja, di dalam hati ia tetap Masdaean (masdak). Ada yang curiga bahwa motifnya adalah wanita dan kedengkian akan harta. Ada pula yang bilang tanpa motif, hanya didorong oleh kemarahan mendadak.

Tetapi Harun sendiri bungkam. Malah, ujar Sang Khalifah, “jika aku tahu tangan kananku mengetahui alasanku, aku akan memotongnya.” Tetapi yang pasti bahwa tindakan tersebut telah memicu berbagai konflik yang lebih serius (hal.130-142).

Meski demikian, Khalifah Harus ar-Rasyid terbukti berhasil mencatat kegemilangan yang belum pernah dicapai oleh penguasa sebelumnya. Penduduk kota mengalami kemakmuran luar biasa, meskipun terjadi ketidaksetaraan. Kota Bagdad disulap menjadi pusat ekonomi dunia. Orang dan barang datang dari segala penjuru dan membanjiri kota. Bidang lain, seperti bidang seni, arsitek, budaya, perekonomian, dan ilmu pengetahuan tak kalah menjulang. Kesuksesan dan keberhasilan Sang Khalifah ini diuraikan Clot di bagian akhir buku ini.

Kemelut politik yang berujung pada pertumpahan darah di dunia Islam saat itu tidak bisa lepas dari bentuk pemerintahan yang dianut; kerajaan mutlak atau monarki absolut. Dengan menganut bentuk ini, seorang khalifah berkuasa penuh. Semua titah dan perintahnya tidak bisa dibantah dan harus dijalankan.

Dan dengan membaca buku karya Andre Clot ini kita semakin yakin bahwa bentuk kerajaan mutlak atau monarki absolut seperti yang diterapkan di era kekhalifahan, terutama era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah tidak cocok diterapkan di zaman sekarang, terutama di negara kita. Sebuah buku yang penting untuk dibaca dan ditelaah mengingat bangsa ini akan segera memasuki tahun politik di mana gerakan-gerakan yang menginginkan tegaknya khilafah di republik ini masih tetap eksis.

Sayang buku sebaik ini ternoda oleh banyaknya kalimat yang tidak nyaman dibaca bahkan sulit dicerna dan dipahami. Saya kira ini semata faktor tim penerjemah dan juga editor yang kurang maksimal. Maka, alangkah baiknya bila buku ini disandingkan dengan buku lain yang sejenis saat membacanya.

Mohamad Romadlon
Mohamad Romadlon
Penulis lepas. Mukim di Kebumen.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru