31.2 C
Jakarta

Menjelang Pemilu 2024: Kompetisi tanpa Politik SARA

Artikel Trending

EditorialMenjelang Pemilu 2024: Kompetisi tanpa Politik SARA
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) akan terus hadir dalam dinamika dan narasi politik Indonesia menuju pemilihan presiden 2024. Kenapa? Karena kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia belum terlepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme yang masih kuat mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia, sekalipun sudah hidup di era demokratisasi terbuka dan era digitalisasi modern (Adalah, 2018).

Sejak beberapa hari lalu, SARA terus digelorakan oleh beberapa buzzer dan media-media yang memiliki cakupan luas di dunia. Terlihat, kepentingannya hanya satu, politik yang menjadi panglimanya dan satu orang menjadi pemenangnya. Beberapa media lain juga ikut memanas-manasi isu SARA ini sehingga masyarakat Indonesia terkepung oleh narasi politik busuk ini.

Kita tahu di Indonesia, politik SARA menjadi mainan politik yang sangat ampuh. Dan itu menjadi bagian alat politik yang dampaknya sangat dahsyat. Menurut beberapa pakar, secara budaya, politik SARA di Indonesia lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100).

Permainan ini kalau tidak diantisipasi dini akan menjadi ancaman yang sewaktu-sewaktu bisa menjadi biang perpecahan. Itu sudah terbukti pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berlanjut di Pilpres 2019 dan sampai saat ini masih menyisakan residu pekat dan tajam.

Kemajemukan yang didengung-dengungkan menjadi modal kuat untuk Indonesia, saat ini bukanlah sesuatu yang istimewa bagi orang Indonesia. Etik dan keadaban juga bukanlah menjadi sesuatu yang teranggap baik bagi para politisi di Indonesia. Tenunan keadaban yang diperjuangkan oleh para founding father seolah tidak ada harganya. Ia hanya pemanis di kala para politisi membutuhkannya. Ketika tidak dibutuhkan ia dibuang ke tong sampah peradaban.

Oleh karena itu, keadaban dan nilai-nilai kebangsaan yang ditinggalkan oleh founding father tidak akan selamanya kuat dan terjaga. Ia hari ini terancam oleh kontestasi politik dunia, yang bertujuan untuk merobek-robek, bahkan tercabik-cabik kenyaman Indonesia. Skema itu terus dijalankan dan isu-isu di media sosial terus digelorakan kepada masyarakat. Isu Arab, isu identitas, dan isu-isu lainnya. Ini sangat bahaya.

Apalagi operasionalisasi politik SARA dan identitas ini dilakukan oleh orang terkenal dan berintegritas. Pertanyaannya, mengapa politik SARA dan identitas laku dan terus akan ada di Indonesia, sepanjang Indonesia ada? Kira-kira jawabannya sebagai berikut:

Pertama, lemahnya kader partai dan bakal calon politik. Maraknya politik bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) serta politik identitas di pemilihan disebabkan karena lemahnya kaderisasi di tubuh internal partai politik. Kelemahan parpol melakukan kaderisasi dan rekrutmen.

Lemahnya kader Parpol yang pintar dan berintegritas, maka yang “dimainkan” adalah politik SARA demi meraih kekuasaan. Akibatnya, pertarungannya bukan lagi soal program, visi dan misi para kandidat, tetapi lebih soal SARA yang bisa memecah-belah bangsa dan menghancurkan keberagaman.

BACA JUGA  Mitigasi Radikalisme Setelah Perang Iran-Israel

Kedua, lemahnya literasi politik pada masyarakat Indonesia. Lemahnya pengetahuan politik pada masyarakat Indonesia menyebabkan parpol lebih leluasa dalam mengkampanyekan politik hitam mereka. Lemahnya literasi politik pada masyarakat Indonesia menjadikan buta huruf bagaimana kerja-kerja politik dipasokkan, sehingga polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA bakal menguat dan lebih menggila.

Ketiga, dilakukan oleh seorang terkenal. Politisasi SARA sudah terbukti ampuhnya bagi masyarakat Indonesia. Ia terus dijadikan sebagai pendekatan dalam proses aktivitas politik di Indonesia, sebab murah, mudah dan efektif menjadi basis pemenangan. Apalagi jika aktor yang terlibat tidak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif dan demokratis (contohnya peristiwa pada beberapa pilkada 2017).

Keempat, permainan narasi oleh buzzer dan media sosial. Data terakhir menunjukkan ada 132 juta pengguna Facebook di Indonesia (nomor 4 terbesar di dunia), 50 juta orang pengguna twitter, dan 45 juta orang pengguna Instagram. Media sosial ini dimanfaatkan oleh buzzer untuk menjadi medium luar biasa berkembangnya kampanye jahat, hoax, fitnah, dan politisasi SARA demi memenangkan tuannya.

Apalagi narasi buzzer itu masuk dan dishare secara personal dalam grub-grub di keluarga macam Whatsapp, LINE, BBM, dan sejenisnya yang menjadi medium tak terbendung untuk menyebarkan kebencian, kabar bohong, dan fitnah seputar calon, penyelenggara, maupun teknis administrasi pelaksanaan pilkada, atau sebaliknya.

Kelima, politik SARA dimanfaatkan sebagai jalan taktis kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. Kita tahu, politik SARA ini cukup berhasil dalam sejarah politik dunia.

Keenam, politisasi SARA sebagai instrumen untuk menggelorakan rasa kebencian dan ketakutan kalah pada pihak lawan politiknya agar bisa menurunkan citra dan menyudutkan pigur tertentu yang biasanya dinilai kuat dan berpotensi menang. Politisasi SARA dijadikan sebagai lahan basah untuk bisa mengalahkan lawan lainnya sehingga perlu disudutkan dengan narasi-narasi, seperti tidak nasionalis, intoleran, bukan Islam, bukan Indonesia, bukan suku ini dan itu.

Maka itu, politik SARA atau politisasi identintas lebih berbahaya daripada politik uang, karena sistem kerjanya adalah untuk merusak kohesi sosial kehidupan bangsa. Karena itu pula politik SARA harus dihindari dan diredam. Pemerintah harus bertanggung jawab dengan hal-hal besar ini.

Pemilihan memang harus tetap berjalan, tapi harus dilakukan secara gentle dan kesatrian. Pemilihan harus dilakukan dengan adu gagasan dan bukan kebencian. Dan masyarakat harus cerdas, bukan sekadar membuka mata ketika ada cuan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru