35.1 C
Jakarta

Menjaga Kekritisan, Merawat Bahasa di Ruang Publik

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenjaga Kekritisan, Merawat Bahasa di Ruang Publik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Apa yang membuat seseorang menjadi viral di media sosial? Jawabannya tentu bisa beragam. Ada yang viral karena kontroversinya, kekritisannya, hingga sensasi yang dibikinnya. Dua hal terakhir tampak berjalan beriringan. Sikap kritis yang tidak diiringi dengan sikap bajik dan bijak, akan tampak sensasional.

Beberapa waktu yang lalu, TikToker asal Lampung Bima Yudho Saputro kembali viral di media sosial pasca kunjungan presiden Jokowi ke Lampung.Setelah sebelumnya sempat viral gegara mengkritik Pemprov Lampung yang dianggap lamban dalam menangani perbaikan infrastruktur jalan, kali ini Presiden Jokowi menjadi sasaran kritikannya.

Publik menilai, kreator TikTok itu kurang bijak dalam menyampaikan kritik. Pasalnya, apa yang disampaikan Bima dianggap telah melampaui batas. Ada yang hilang dari sikap kritis macam itu, yakni kurang diiringi dengan etiket berbahasa yang baik dalam menyampaikan suatu kritik.

Alhasil, alih-alih mengkritisi kampung kelahirannya itu, justru yang tampak ke permukaan adalah sesuatu yang sifatnya sensasional–meski tidak dapat dipungkiri bahwa yang disampaikan Bima memiliki dampak terhadap kebijakan perbaikan infrastruktur.

Di tengah persoalan sosial yang cenderung patologis, menjaga kekritisan menjadi hal yang begitu penting. Ia memungkinkan adanya dialektika pikiran di satu sisi, serta sebagai suatu evaluasi terhadap kebijakan di sisi yang lain. Demikianlah pada hakikatnya, sikap kritis adalah salah satu manifestasi anti-kompromi. Dengan kata lain, menjaga kekritisan senantiasa tidak mengeram dalam kubangan arus kenyamanan, ada sesuatu yang mesti dibaca ulang, dikritisi.

Saling Bertaut, Menjaga Esensi

Benyamin L. Whorf, linguis pencetus teori principle linguistic of relativity pernah mengusung konsep ihwal keterkaitan antara budaya, bahasa, dan pikiran. Sebagai suatu produk kebudayaan, bahasa suatu bangsa pada dasarnya mencerminkan pola sikap seseorang.

Oleh karena itu, bahasa secara fungsional merupakan komunikasi, ekspresi, dan identitas. Dalam khazanah tutur Jawa kita mengenal Ajining diri gumantung lana ing lathi yang berarti ‘harga diri seseorang terlihat dari tutur katanya’.

Cara bertutu dan pola sikap seseorang dapat merepresentasikan identitas kultural si penutur.  Keduanya dibentuk oleh suatu kebudayaan yang menjadi konsensus bersama. Dalam masyarakat kita, mematuhi adab atau etiket ketimuran telah menjadi kesepakatan kolektif dalam memelihara hubungan baik antar sesama manusia. Karena ia merupakan suatu konsensus, etiket lalu menjadi realitas objektif yang mengatur segala gerak dan bertutur seseorang.

Karena itulah proses komunikasi yang efisien dapat ditentukan oleh sejauh mana seseorang dapat berpedoman pada etiket berbahasa yang baik dan benar. Gagasan seorang individu, misalnya, dapat diterima dengan baik di ruang publik jika dalam menyampaikan suatu gagasannya tidak keluar dari koridor berbahasa yang baik. Bahasa adalah medium.

Sebagai suatu medium, ia dapat terejawantah dalam bentuk-bentuk produk kebudayaan; lagu, puisi, film, maupun halusnya tutur kata. Tak ayal banyak orang menggunakan produk kebudayaan itu sebagai medium menyampaikan aspirasinya.

BACA JUGA  Literasi Hack: Freewriting Dahulu, Editing Kemudian

Seiring temporalitas waktu yang terus dinamis, kegandrungan terhadap budaya pop memungkinkan seksisme di media sosial meruah dalam jumlah yang begitu masif. Seksisme yang di kemudian menubuh pada berbagai konten yang dikemas tanpa mempertimbangkan tutur bahasa yang digunakan. Inilah tantangan dalam menyampaikan kritik saat ini. Suatu tantangan yang berjalin kelindan dengan upaya merawat bahasa di ruang publik.

Memadukan antara sikap kritis dengan upaya merawat bahasa merupakan langkah bijak yang penuh perhitungan. Di Indonesia, ulama cum cendekiawan Buya Syafi’i adalah salah satu sosok yang dapat menjadi role model dalam menyampaikan kritik tanpa tedeng aling-aling.

Bahasa-bahasa yang digunakan lugas dan sesekali memilih metafora dalam menyampaikan kritik-kritikannya. Dalam bukunya Politik dan Islam, dirinya bahkan tak segan menyebut dua sosok pemimpin, Soekarno dan Soeharto, sebagai ‘orang yang mabuk kekuasaan’.   (Achmad San, 2020).

Diksi ‘mabuk’ merupakan metafora untuk sekadar menggambarkan hasrat kuasa yang kian tidak jelas juntrungannya. Dalam diksi tersebut, tidak ada muatan eksplisit yang seolah membenamkan martabat seorang pemimpin. Ia hadir sebagai suatu cambuk terhadap kepemimpinan kala itu.

Di samping itu, dengan menggunakan metafora,  memungkinkan seorang pengkritik dapat memperkaya  perbendaharaan katanya.  Semakin kaya perbendaharaan kata, kritik yang disampaikan akan semakin bermutu. Ada semacam pertautan antara menjaga sikap kritis dengan upaya pemartabatan bahasa di ruang publik.

Barangkali, spirit macam inilah yang selalu diperagakan para pendahulu kita. Baik dari kalangan sastrawan, seniman, tokoh bangsa, hingga budayawan. Mereka mempertautkan kedua dimensi itu untuk mengekspresikan aspirasinya.  Hal itu tampak misalnya dalam sebagian besar karya-karya mereka.

Sikap kritis yang termanifestasi dalam karya-karya mereka merupakan sublimasi dari pergumulan kreatif dengan realitas.  Persoalan macam ini perlu kita tambatkan ketika menyampaikan suatu aspirasi.

Pemartabatan bahasa di satu sisi, dengan menyampaikan aspirasi kritis di sisi lain merupakan dua hal yang saling bertaut. Kritik yang mengabaikan dimensi pemartabatan bahasa hanya berujung melecehkan, yang pada akhirnya dapat memenggal esensi kritik itu sendiri.

Esensi kritik bertujuan untuk menunjukkan kesalahan, bukan memperbaikinya. Apabila ia tidak diiringi dengan penyampaian bahasa yang baik, kritik yang hendak disampaikan hanya akan berkubang pada hasrat kebencian, menghina, hingga memecah belah antargolongan.

Dengan demikian, kebebasan berpendapat di ruang publik tidak serta merta membikin seseorang keluar dari batas wajar berkomunikasi, dalam hal ini menyampaikan kritik. Biar bagaimanapun, kita mesti memperhatikan aspek kebahasaan, agar sublimasi kritik dapat terejawantah ke dalam argumen-argumen yang menukik.

Hanya dengan cara seperti ini, suatu kritik akan menemukan momentumnya di hati publik. Jangan sampai sikap kritis tidak menemukan tempatnya gegara persoalan bahasa yang digunakan melampaui batas etiket yang telah menjadi konsensus bersama itu, atau dengan kata lain keluar dari norma-norma kesopanan. Semoga tidak.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru