30 C
Jakarta

Menjadi Santri

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenjadi Santri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Boleh saja orang yang membaca tulisan ini menghubungkannya dengan film “The Santri” yang konon akan segera tayang, walaupun mengundang kontroversi dan penolakan dari berbagai lini. Namun, sejatinya, ada maupun tidak ada film itu, membaca tentang santri tetap sesuatu yang menarik hati. Sebab, dunia santri bukan dunia biasa. Kehidupan sehari-hari mereka memang berisi aktivitas sebagaimana kebanyakan manusia, tetapi ditambah dengan ngaji, dan di beberapa pesantren juga ditekankan diskusi. Kesadaran baru sebagian besar orang tua untuk memastikan anak-anak mereka memahami agama dengan lebih baik, membuat mereka memberikan dorongan kepada para buah hati agar mau masuk ke–dan belajar di–pondok  pesantren alias menjadi santri. Gambaran sederhana tentang kebutuhan ini adalah para orang tua memang sudah semakin tua dan sadar dekat dengan mati dengan segala yang akan mengikuti di akhirat nanti. Dan pada saat mati, tidak ada yang lebih penting lagi selain do’a dari generasi yang lurus pikir dan bersih hati yang mereka tinggalkan. Jika generasi mereka tidak memahami tugas ini, maka setelah mati mereka akan terlupakan dan tidak pernah dido’akan agar dosa-dosa mereka diampuni. (Ibrahim: 41).

Modernitas dengan segala implikasinya juga membuat para orang tua mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka, sehingga merasa perlu memberikan basis ideologi yang kuat, agar mereka tidak terombang-ambing oleh cara berpikir duniawi yang selalu berubah. Dengan agama yang kuat, anak-anak akan memiliki pegangan yang kokoh di tengah derasnya berbagai pandangan hidup yang bermacam ragam dan berpotensi sangat membingungkan bahkan menyesatkan (al-Nisa’: 9). Dengan menjadi santri, mereka diharapkan akan menjadi manusia yang berteguh hati dengan iman sampai mati, apa pun yang terjadi. (Ali Imran: 102).

Menjadi santri sesungguhnya adalah menjadi orang yang ingin memahami kitab suci dan sunnah Nabi. Dalam bahasa asli, karena berbahasa Arab, tentu saja bagi orang non Arab (‘ajam) jadi tidak begitu saja bisa dimengerti. Jalan pertama yang harus ditempuh adalah belajar bahasa Arab dengan elemen dasar nahwu dan sharf. Nahwu dalam definisi sederhana adalah ilmu untuk mengetahui posisi kata dalam sebuah kalimat dan bagaimana membaca akhir huruf dalam kata-kata itu. Dengan ilmu inilah bisa dipastikan kalimat sudah cukup melahirkan makna yang bisa dipahami atau tidak.

Sedangkan sharf, sesuai dengan namanya adalah ilmu yang berfokus kepada perubahan bentuk kata.  Keduanya menjadi prasyarat mutlak jika ingin agar semua kitab kuning yang merupakan turunan atau penjelasan al-Qur’an dan hadits bisa dipahami. Tentu saja, untuk kitab-kitab tertentu dengan kajian yang lebih mendalam, diperlukan ilmu khusus, seperti manthiq (logika), sejarah terutama asbab al-nuzul untuk al-Qur’an dan asbab al-wurud untuk hadits, dan lain-lain sebagai tambahan yang sangat penting. Karena itu, menjadi santri sesungguhnya merupakan jalan sangat strategis dan tepat untuk menemukan jalan kehidupan baik, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. (al-Baqarah: 201).

Terutama nahwu dan sharf, karena merupakan ilmu untuk memahami bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, juga banyak kitab karya ulama’ salaf, maka disebut sebagai ilmu alat. Disebut demikian, karena hanya apabila keduanya dikuasai, maka bahasa Arab bisa dipahami. Dengan itulah, ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya dapat ditangkap bahkan dengan cepat. Melakukannya juga terasa jadi sangat menyenangkan. Ibaratnya, keduanya merupakan alat bagi pencari ikan untuk menangkap ikan. Apalagi jika harus menangkap ikan di samudera yang luas. Gambaran samudera untuk tempat menangkap ikan, juga sangat tepat, karena al-Qur’an menggambarkan dirinya sendiri sebagai ilmu Allah yang jika ditulis pemahamannya dengan tinta sebanyak air laut yang dilipatgandakan, maka tidak akan pernah selesai. Namun, pencari ikan tidak akan pernah bisa menangkap ikan satu pun di lautan yang luas, walaupun di dalamnya terdapat dan bahkan kelihatan ikan sampai yang kecil-kecil berseliweran, jika tidak menggunakan alat tangkap yang memadai.

Menggunakan tangan kosong di samudera yang luas, hanya akan mengakibatkan kelelahan dalam mengejar ikan-ikan yang terkecil dan terlihat bergerakan paling lambat sekalipun, lalu lama kelamaan menjadi keputus-asaan, dan berakhir pulang dengan tangan kosong, tanpa hasil sekali. Begitulah orang yang masuk di pesantren, ikut ngaji kepada kiai, tetapi tidak memiliki ilmu alat dan tidak serius belajar untuk menguasai ilmu alat, maka secara umum bisa dikatakan tidak akan mampu menangkap ilmu yang disampaikan. Ia hanya akan kelelahan duduk, lalu mengantuk, karena bosan disebabkan tidak mampu mengikuti rangkaian pemahaman yang sesungguhnya berpadu sangat indah. Baginya justru menyebabkan kerumitan dan keruwetan konsepsional. Banyak ilmu pengetahuan yang disampaikan, ibaratnya hanya masuk ke telinga kanan, kemudian lolos begitu saja dari telinga kiri karena tidak bisa diolah dalam pikiran dengan kemampuan bahasa yang memadai.

Di pesantren, santri bisa benar-benar fokus untuk hanya belajar. Dengan kiai yang benar-benar mumpuni dan memiliki kemauan kuat mengajar dari bangun tidur sampai tidur kembali, santri tidak memiliki kesempatan untuk melupakan satu pelajaran karena dalam banyak hal akan terjadi pengulangan, disebabkan berbagai konsepsi di dalam Islam saling berkaitan. Dari sinilah akan muncul pemahaman yang komprehensif. Santri akan mulai memahami keterkaitan antara satu simpul pemahaman dengan satu simpul pemahaman yang lain. Jadilah keseluruhan itu bagaikan jaring laba-laba keilmuan dengan titik pusat yang menjadi sumber adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw..

Selain itu, tinggal di pesantren membuat santri yang benar-benar sungguh-sungguh ingin menjadi manusia yang banyak manfaat, melakukan pengamatan terhadap seluruh gerak-gerik kiai, baik saat tidur maupun terjaga. Saat beraktivitas di siang maupun malam hari. Walaupun tentu tidak bisa terlalu dekat, karena di pesantren ada akhlak yang oleh orang-orang yang menjunjung tinggi egalitarianisme bisa dipandang sebagai feudalisme. Namun demikian, para santri tetap bisa melihat dari jarak yang lebih dekat tentang kehidupan kiai, baik dalam aspek ibadah maupun mu’amalah, dan dalam banyak kasus di sebagian pesantren juga sampai pada ranah siyasah (politik). Tentu sesuai dengan level keterlibatan sang kiai dengan politik.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Dalam konteks itulah, kiai benar-benar menjadi sosok yang bisa disebut guru dalam jargon Jawa, yakni digugu (dipercaya omongannya) dan ditiru. Yang sering berlebihan adalah, kiai juga dianggap memiliki kemampuan di luar bidangnya, sehingga dalam urusan mengobati penyakit pun, kiai dimintai “omben-omben” (air yang dibacakan do’a untuk diminum) sebagai obat yang dipercaya mujarab. Bahwa do’a itu penting, tentu saja semua orang beriman tahu. Namun, penerapannya juga harus tepat. Faktanya, jika kiai sakit, juga dirujuk ke rumah sakit, tidak cukup hanya dengan air yang dibacakan do’a.

Dengan melihat langsung kehidupan kiai, santri yang penuh kesungguhan dalam menuntut ilmu dan memiliki potensi diri yang cukup untuk itu, akan mengondisikan diri untuk memiliki ilmu sebagaimana kiai yang hendak ditiru, mulai dari cara dalam belajar, kesabaran dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kedisiplinan mengatur waktu, sampai kemampuan memimpin dan mengelola  ummat. Sebab, ummat atau pengikut sesungguhnya adalah juga sarana, tepatnya mitra bagi kiai untuk terus belajar, baik untuk mendapatkan pengetahuan baru maupun keterampilan beretorika. Karena yang dihadapi oleh kiai dalam kehidupan keseharian adalah masyarakat awam, bahkan juga orang-orang yang ingin mengaji tetapi tidak memiliki ilmu alat, maka banyak kiai berusaha menggunakan cara yang  membuat mereka tidak jenuh dan kemudian mengantuk. Caranya adalah menyajikan narasi-narasi bermuatan hikmah dalam kemasan humor yang segar. Inilah yang kemudian menjadi salah satu miliu tersendiri dalam lingkungan pesantren,  sehingga dari dalamnya muncul banyak sekali pemceramah dengan gaya humor yang sangat memikat. Orang dengan cara hidup mengikuti apa yang didengar dan dilihat kemudian membantu segala yang diperlukan kiai itu dalam bahasa Jawa disebut cantrik. Dari kata cantrik itulah, konon, murid di pondok pesantren kemudian disebut santri. Atau juga berasal dari katas shastri yang berakar kata sama dengan sastra yang berarti kitab suci.

Santri yang memiliki kemampuan cukup baik, tetapi tidak begitu menonjol, biasanya kembali ke kampung halaman, atau berhijrah ke tempat lain, dan menjadi kiai-kiai kampung yang secara umum tetap memiliki loyalitas kepada kiai sebagai rujukan apabila merasa tidak memiliki solusi yang meyakinkan apabila ada masalah dalam kehidupan ummatnya. Para santri yang telah menjelma menjadi kiai kampung inilah yang menjadi “jangkar” bagi para kiai pesantren dalam konteks kehidupan masyarakat yang luas, terutama dalam konsolidasi dukungan politik.

Santri dengan keunggulan khusus biasanya dinikahkan dengan putra/i kiai karena dipandang memiliki kemampuan untuk melanjutkan pengelolaan proses pendidikan di pesantren. Secara politis, sesungguhnya juga mengurangi potensi adanya kompetitor baru yang akan bisa mengurangi pengaruh kiai atau pelanjutnya di pesantren di masa depan. Dengan cara itu, pesantren akan makin kuat dengan tenaga pendidik yang makin andal, dan pengaruh dalam masyarakat akan tetap terpusat, tidak terpencar ke yang lain.

Selain itu, mobilitas santri juga ke perguruan tinggi. Namun, bisa dikatakan bahwa pada umumnya mereka masuk ke perguruan tinggi dengan fokus kajian keislaman, seperti IAIN, STAIN, dan universitas dengan basis keislaman. Para santri dengan kemampuan dasar yang menonjol biasanya akan dengan mudah menjadi mahasiswa yang menonjol. Di kampus, mereka menemukan ruang diskusi yang lebih luas karena kultur yang relatif lebih egaliter. Jika di pesantren mereka tidak bisa berdiskusi dengan kiai karena berbagai alasan, di kampus mereka bisa berdebat dengan dosen. Bahkan karena ruang kebebasan yang tanpa batas, sebagian mereka menjadi liberal. Di antaranya penyebabnya adalah mereka menemukan paradigma baru yang sebelumnya tidak mereka dapatkan di pesantren karena lebih banyak pengetahuan disampaikan secara doktriner.

Sejak satu dekade terakhir, terjadi sedikit perubahan mobilitas para santri. Jika sebelumnya mereka terbatas pada perguruan tinggi Islam, dengan fokus kajian yang sesungguhnya hanya mengulang apa yang sebelumnya dipelajari di pesantren, para santri kemudian mulai memasuki perguruan tinggi umum, terutama karena ada program pemerintah yang memberikan perhatian khusus kepada para santri berprestasi. Ini juga karena terjadi pergeseran di level elite politik. Para santri berhasil masuk dalam struktur kekuasaan dan kemudian membangun kebijakan untuk memberikan jalan kepada kaum santri untuk mendapatkan kesempatan yang lebih besar dalam akses pendidikan tinggi. Namun, jumlah mereka masih sangat minim, meskipun sudah ditambah dengan yang mendapatkan bidik misi. Jumlah yang sangat minim ini karena sebagian santri memang berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Sementara untuk belajar ke perguruan tinggi yang umumnya berada di perkotaan, mereka harus menanggung biaya yang bagi mereka sangat besar.

Walaupun demikian jumlah santri terus meningkat, dan spektrum asal mereka juga meluas kepada keluarga ekonomi menengah atas. Karena itu, masa depan Indonesia, jika ini terjadi secara linear adalah masa depan yang akan diwarnai oleh kaum santri. Karena itu, jangan takut menjadi santri. Justru banggalah menjadi santri. Sebab, menjadi santri berarti menjadi manusia yang memiliki kesiapan untuk hidup di dua kehidupan, yaitu kehidupan setelah kematian pertama yang bersifat sementara, dan kehidupan setelah kematian kedua yang merupakan kehidupan abadi, karena itulah kehidupan yang sesungguhnya. Dan yang terpenting adalah menjadi santri canggih, yang memiliki kritisisme tinggi. Bukan hanya menelan begitu saja doktrin, tetapi juga membangun jalan agar doktrin yang rigid bisa tertransformasikan dalam kehidupan dan terbangun peradaban tinggi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

*) Dr. Mohammad Nasih, pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru