35.1 C
Jakarta

Menguatkan Peran Tokoh Agama untuk Kontra-Polarisasi di Tahun Politik

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenguatkan Peran Tokoh Agama untuk Kontra-Polarisasi di Tahun Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang Pemilu tahun 2024 yang akan datang praktik politisasi agama menjadi semakin marak. Ajaran agama dan simbol-simbolnya hanya dijadikan sebagai alat demi terwujudnya tujuan-tujuan politik dan mencari kekuasaan.

Banyak oknum politikus yang mendadak berubah menjadi sangat agamis. Mereka membawa-bawa nama agama bahkan nama Tuhan untuk dijual demi kepentingan politik. Lebih parahnya lagi kita tak sedikit para oknum politikus yang merendahkan dan mengobarkan kebencian terhadap kepercayaan lain hanya untuk mendapatkan banyak suara.

Praktik politisasi agama seperti itu sangat jelas tidak mengindahkan norma-norma kemanusiaan dan etika sosial sama sekali dan hanya membawa ketegangan bahkan pertikaian.

Praktik politisasi agama tak etis ini sudah pasti akan memicu kemarahan dan gejolak di masyarakat. Masalah ini jangan anggap remeh dan sepele, karena secara tidak langsung kita digiring untuk saling membenci dan mencaci.

Peran pemerintah saja tidak cukup untuk meredam gejolak ketegangan yang mungkin timbul di masyarakat, harus dibutuhkan seorang figur yang benar-benar dekat dan sangat dipercaya oleh masyarakat.

Maka pilihan yang tepat adalah para tokoh agama, sosok yang mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap agama justru dapat membimbing masyarakat di Indonesia agar tidak jatuh dalam jurang kebencian dan permusuhan.

Dalam kehidupan masyarakat, tokoh agama memegang perana penting dalam kehidupan sosial. Sudah menjadi adat yang terus berlaku sampai saat ini bahwa para tokoh agama di Indonesia khususnya di pedesaan merupakan tempat rujukan penyelesaian berbagai masalah yang dialami masyarakat.

Oleh karena itu, para tokoh agama harus diberikan ruang gerak serta fasilitas yang besar di tahun politik ini. Demikian agar dapat meredam dampak-dampak politisasi agama yang berlebihan dan tidak etis secara maksimal.

Akibat Praktik Politisasi Agama yang Salah

Sebenarnya agama dan politik tidaklah benar-benar bisa dipisahkan keberadaannya. Sudah berulang kali tercatat dalam sejarah bahwa peran politik mampu membawa perkembangan yang pesat suatu agama. Misalnya dalam perkembangan agama Islam. Setelah munculnya dinasti-dinasti usai sepeninggalan Khulafaur Rasyidin terbukti mampu membawa panji-panji Islam sampai ke berbagai belahan dunia.

Namun dewasa ini justru agama hanya dijadikan sebagai alat politik saja bukan sebagai pijakan dalam berpolitik. Banyak ajaran agama dipolitisasi sehingga kebenaran dan kebathilan menjadi kabur. Masyarakat dibingungkan oleh ucapan-ucapan para politikus yang tak segan menggunakan nama Tuhan.

Hilangnya kepercayaan antarumat beragama, bertikainya sesama kelompok menjadi sebagian kecil dampak buruk dari agama dipolitisasi demi mendapatkan kekuasaan semata.

Oknum politikus yang tak segan menggunakan nama agama untuk politik tanpa etika hanya akan memicu munculnya rasa kebencian berbagai pemeluk agama. Munculnya diskriminasi menjadi sulit dihindari, ujungnya adalah konflik dan pertikaian antarumat beragama karena hilangnya rasa percaya satu sama lain.

BACA JUGA  Mengubur Egoisme Politik, Mewujudkan Indonesia Harmoni

Lebih ekstrem lagi ajaran-ajaran agama sengaja dipelintir sesuai dengan tujuan politik demi menarik simpati dan suara. Mereka mengatasnamakan Tuhan namun hanya untuk kepuasaan pribadi bukan untuk kemaslahatan masyarakat. Tak peduli bagaimana hasilnya akan baik atau buruk. Asalkan mereka mendapatkan suara pertikaian tidak akan mereka pedulikan.

Cobalah berkaca pada Pemilu tahun 2019 yang lalu di mana umat Islam hampir mengalami perpecahan karena munculnya kelompok politik yang menamakan diri sebagai partai Allah (hizb Allâh) yang disebut juga poros Makkah, di sisi lain muncul kelompok partai setan (hizb al-syaithân) yang disebut juga poros Beijing.

Peran Vital Tokoh Agama di Tahun Politik

Untuk mencegah munculnya perpecahan umat beragama di tahun politik ini harus ada yang berani untuk terjun lansung ke masyarakat untuk menghancurkan bibit-bibit kebencian akibat praktik politisasi agama yang salah. Figur yang tepat untuk melakukan tugas besar ini adalah tokoh-tokoh agama yang sudah terpercaya kualitas keilmuan serta kredibilitasnya.

Kenapa harus tokoh agama? Bukan tanpa dasar karena berdasarkan hasil survei dari Statista Global Consumer Survey pada 2021 yang melibatkan 40 ribu responden di seluruh dunia, Indonesia menempati peringkat ke-17 sebagai negara paling religius.

Hal ini menjadikan masyarakat sangat mengagungkan dan menghormati nilai-nilai agama dan budaya religius. Karena itu tokoh agama menduduki posisi yang tinggi dalam hati dan pikiran masyarakat sehingga setiap ucapannya akan sangat dipercaya.

Dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi, maka tokoh agama mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana harus mengambil sikap yang benar karena praktik politisasi agama.

Karena realitanya agama manapun tidak mengajarkan ujaran kebencian dan permusuhan. Apalagi di musim politik jangan sampai umat beragama di Indonesia di adu domba demi ambisi untuk mencari kekuasaan.

Dasar selanjutnya bahwa tokoh agama sangat dipercayai masyarakat karena mereka selalu bisa hadir dan memberikan solusi berbagai permasalahan di masyarakat. Bukan hanya tentang agama saja namun juga kehidupan sosial. Jelaslah bahwa tokoh agama menjadi salah satu kunci utama perdamaian antarumat beragama di Indonesia.

Tentunya tugas perdamaian ini harus diberikan kepada tokoh agama yang kredibel serta jelas keilmuannya. Artinya seorang yang pantas menyandang predikat tokoh agama karena benar-benar memahami ajaran agama dengan baik dan benar bukannya seseorang yang mengaku sebagai tokoh agama tetapi selalu memberikan ujaran kebencian dan permusuhan.

Pemerintah harus jeli dalam memilih tokoh agama dan tidak asal pilih saja. Pemerintah harus memberikan ruang dan fasilitas yang memadai bagi para tokoh agama yang jelas dan kredibel agar mereka mempunyai modal dan kesempatan untuk merangkul umat beragama dengan baik di tahun politik ini.

Muhamad Andi Setiawan
Muhamad Andi Setiawan
Sarjana Sejarah Islam UIN Salatiga. Saat ini aktif dalam mengembangkan media dan jurnalistik di Pesantren PPTI Al-Falah Salatiga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru