28.4 C
Jakarta

Menelusuri Jejak Jihadis Modern dalam Fatwa Mardin Ibnu Taimiyyah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenelusuri Jejak Jihadis Modern dalam Fatwa Mardin Ibnu Taimiyyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebelum membahas tentang Ibnu Taimiyyah, perlu dipahami kata “jihad” khususnya dalam Islam sudah barang tentu mengarah pada konotasi makna yang positif. “Jihad” adalah bentuk kata kerja jahada-yujahidu-jihadan, yang berasal dari kata bahasa Arab al-Juhd, bermakna kekuatan, usaha, dan kesulitan.

Oleh karenanya, secara etimologis dalam Islam bisa diartikan “jihad” berarti suatu usaha untuk mencapai kebaikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh dengan mengorbankan harta, jiwa, dan raga. Atau, juga biasa disebut dengan istilah “perang suci”. Yakni, perang demi untuk kemuliaan.

Sedangkan secara terminologis, kata “jihad” pada akhirnya memang mempunyai tafsiran makna yang beragam, apalagi jika diimbuhi dengan kata “fi sabilillah”, yang artinya adalah pengerahan atau mengerahkan segala kemampuan, untuk memerangi orang-orang kafir dan berupaya mempertahankan diri dari serangan mereka dengan menaruhkan nyawa, harta-benda, dan hal-hal lain yang dimilikinya.

Dalam konteks demikian, jihad dapat dimaknai sebagai jalan penyebaran ulum al-Diniyyah, dengan menafkahkan hartanya di jalan Allah, dan/atau bergabung dengan tentara Muslim untuk melawan musuh, jika memang pemimpin telah memerintahkannya. Situasi darurat.

Meski demikian, jihad sebagai upaya untuk mengarahkan segala kemampuan, harta-benda bahkan nyawa, sesungguhnya tidak hanya harus terjadi di dalam medan perang, tetapi juga bisa terjadi di luar medan perang.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., bahwa mencari ilmu dan berdakwah di jalan Allah sudah termasuk bentuk jihad, yang pelakunya sudah absah untuk disebut mujahid. Artinya, kata jihad tidaklah lekat identik dengan imajinasi perang di medan laga dengan berlumur darah, dan harus meregang banyak nyawa. Tidak demikian.

Akan tetapi, dalam beberapa kajian dan untuk semangat perjuangan umat Islam, kata “jihad” kemudian dipaksa-kawinkan dengan istilah “radikal”. Dimana “radikal” yang dimaksud di sini memadat menjadi suatu paham yang umum disebut sebagai fundamentalisme Islam, ekstremisme Islam, Islam radikal, revivalisme, termasuk pula Islamisme.

Padahal, istilah “jihad” dan “radikal” merupakan dua term yang punya jarak kemaknaan yang sama sekali jauh. Makna “jihad” lebih merupakan suatu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan atas nama Allah dalam bentuk dan konteks yang seluas-luasnya.

Sedangkan, makna “radikal” adalah tindakan dan sikap yang cenderung ekstrim, keras, sangat berlebihan atau condong hanya ke satu kutub guna mengubah atau untuk mendapatkan situasi tertentu yang diyakini kebenarannya meski itu tidak sesuai dengan ajaran agama, bertentangan dengan nilai-nilai universal.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika sikap dan paham radikal biasanya lebih diidentifikasi melalui ciri-cirinya yang intoleran, fanatik, eksklusif, dan revolusioner-destruktif. Adapun, geneologi radikalisme sendiri dalam tubuh Islam, dibagi menjadi dua periode.

Pertama, pada masa Islam klasik; kedua, masa modern dan/atau kontemporer, yang terjadi dalam bentuk-bentuk ghuluw (sikap atau tindakan) yang berlebihan saat beribadah, yang itu membuatnya merasa kelompoknya yang paling benar karena mengklaim ibadahnya sebagai yang sangat rajin dan bacaan Al-Qur’annya yang paling baik.

Terkhusus dalam masa modern, radikalisme mengerucut lagi dengan dikelompokkan menjadi dua tipe kategori. Pertama, radikalisme dalam pemahaman agama, yang menyebut orang lain kafir, sesat, bid’ah. Kedua, radikalisme sebagai ideologi politik yang mengarah pada perubahan sosial-politik, meskipun terkadang akar nilainya tidak mungkin terpisah dari paham keagamaan yang dianutnya.

Seperti yang sudah banyak kita ketahui dalam abad ini, proses kemunculan radikalisme juga diwarnai campur tangan kolonialisme Barat, misalnya pada munculnya Ikhwanul Muslimin. Beberapa anggotanya ada yang memilih mendirikan front jihad sendiri dengan berbagai motif kepentingan dan keinginannya sendiri, seperti Jama’ah Jihad, Jama’ah Takfir wa al-Hijrah, dan Hizbut Tahrir. Termasuk kemunculan Al-Qaeda dan ISIS yang kurang lebih sama-sama lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin.

Fatwa Mardin Ibnu Taimiyyah dan Konstruksi Jihadis Muslim

Memang, sudah barang tentu setiap gerakan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok kerap kali menasbihkan atau melandaskan gerakannya yang secara ideologis dibangun di atas landasan teologis.

Termasuk pula yang terjadi pada bangunan radikalisme, pondasi ideologisnya juga memiliki akar teologis yang itu cenderung ekstrem dalam upayanya memahami  ayat-ayat Allah, termasuk dalam memahami tafsiran para ulama atas ayat-ayat yang berkaitan. Sehingga, seolah itu menjadi legitimasi atas segala tindak perilaku yang akan dilakukan nantinya.

Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah menjadi sosok yang fatwanya menjadi fondasi teologis para jihadis Muslim untuk melakukan tindakan radikal mereka. Salah satunya adalah fatwa Mardin Ibnu Taimiyyah.

Dalam fatwa Mardinnya, Ibnu Taimiyyah menjelaskan daerah perang (dar al-harb) sebagai tempat penduduk kafir; dan daerah damai (dar al-silm) sebagai daerah penegak syariat Islam. Penjelasan tersebut kemudian digunakan secara reduktif oleh para jihadis sebagai legitimasi atau pembenaran atas dua argumen. Yakni, mengklaim negara-negara non-Muslim sebagai zona perang (dar al-harb) dan mewajibkan migrasi (hijrah) bagi Muslim dari zona perang ke wilayah damai/Islam (dar al-silm).

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Perlu diketahui, bahwa fatwa Mardin adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Taimiyyah tentang jawaban atas pertanyaan mengenai penduduk Muslim yang tinggal di sebuah kota bernama Mardin, yang secara pemerintahan kota Mardin tersebut berada di bawah kekuasaan Mongol. Fatwa Mardin ini menjadi salah satu fatwa Ibnu Taimiyyah yang sering dikutip dan disalahtafsirkan oleh para jihadis, bahkan oleh peneliti-peneliti Barat. Adapun pertanyaan yang diajukan memiliki empat poin permasalahan:

“Tentang tanah Mardin, apakah itu Dar al-harb atau Dar al-silm? Apakah wajib bagi penduduk Muslim untuk berhijrah ke negara Islam atau tidak? Jika ia diwajibkan berhijrah dan ia belum berhijrah, maka membantu musuh umat Islam dengan jiwa dan hartanya, apakah termasuk dosa? Apakah berdosa orang yang menuduh mereka munafik dan mencaci maki mereka atau mereka tidak bersalah?

Ibnu Taimiyyah kemudian menjawab secara tegas dalam empat paragraf:

Segala puji hanya milik Allah. Jiwa dan harta seorang muslim tidak boleh (haram) diganngu, baik yang tinggal di Mardin maupun di tempat lain. Menolong musuh Islam hukumnya haram, baik yang membantu warga Mardin atau lainnya. Orang yang tinggal di sana, jika tidak bisa beribadah sesuai syariat, maka mereka wajib berhijrah. Kalau tidak, lebih baik (mustayab) pindah, tetapi mereka tidak wajib melakukannya.”

Dilarang bagi mereka membantu musuh kaum muslimin dengan nyawa dan harta benda mereka. Mereka harus menolaknya dengan cara apapun yang mereka bisa; seperti menghilang, menghindari atau mencoba menyanjung. Jika jalan satu-satunya adalah hijrah, maka itulah yang harus mereka lakukan.”

Dilarang memfitnah dan menuduh mereka munafik. Menjelek-jelekan dan menuduh orang munafik harus berdasarkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah dan ini berlaku khusus untuk beberapa orang saja, baik itu penduduk Mardin atau dimanapun.”

Apakah daerah itu zona perang atau damai, ini adalah situasi yang rumit (murakabbah). Itu bukan tempat tinggal yang damai (dar al-silm) di mana hukum Islam ditegakkan dan dijaga oleh pasukan Muslim. Daerah itu juga tidak untuk diperangi (dar al-harb) karena penduduknya bukan orang kafir. Wilayah ini berada di kelompok ketiga. Muslim yang tinggal di sana harus diperlakukan sesuai dengan haknya sebagai Muslim, sedangkan non-Muslim yang tinggal di sana dan berada di luar ataupun hukum Islam harus diperlakukan sesuai dengan haknya.”

Tentu dalam subtansi jawaban Ibnu Taimiyyah tersebut sangat terasa dan jelas sekali bahwa Fatwa Mardin yang ia keluarkan, sama sekali tidak mengarah pada anjuran tindak kekerasan, tetapi justru memuat kandungan sikap yang sangat moderat. Misalnya, tentang penjelasan kondisi yang rumit (murakabbah). Berada di tengah-tengah antara zona perang dan damai.

Kesalahan para jihadis tentang fatwa Mardin adalah misalnya, ketika Faraj dan Abdullah Azzam (w. 1989) menyamakan institusi Islam dengan daerah damai (dar al-silm), sedangkan institusi modern dengan zona perang (dar al-harb). Mereka memahami bahwa  daerah damai adalah tempat syariat Islam ditegakkan.

Sedangkan daerah perang adalah tempat di mana sistem hukum Islam tidak diterapkan, meski mayoritas penduduknya Islam. Penafsiran ini jugalah yang kemudian dijadikan legitimasi perang di Mesir yang saat itu dipimpin oleh Anwar Sadat. Padahal, dalam fatwa Mardin Ibnu Taimiyyah, wilayah perang harusnya ditentukan oleh tidak adanya umat Islam di dalamnya.

Begitupun perihal konsep “hijrah” Ibnu Taimiyyah, apabila dibaca dan dipahami secara holistik, “hijrah” sebenarnya adalah lari dari dosa, bukan sekadar meninggalkan tempat. Bagi Ibnu Taimiyyah, ada dua tipe “hijrah”. Pertama, lari dari dosa dan pergaulan buruk. Kedua, menghindari perilaku kejahatan agar tidak muncuk keinginan menghukum.

Dengan kata lain, maksud Ibnu Taimiyyah dalam konsep “hijrah” di sini secara bijak menganjurkan bahwa upaya hijrah hanya harus dilakukan ketika kadar keburukan yang terjadi di dalamnya melebihi kadar kebaikannya.

Sejatinya, apabila dipahami secara jernih, dalam fatwa Mardin Ibnu Taimiyyah tersebut. Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik benang merahnya. Pertama, dalam konteks yang lebih luas, Ibnu Taimiyyah tidak memberikan jawaban pasti terkait umat Islam yang tinggal di negara non-Muslim, seperti Barat saat ini, tentang apakah mereka harus pindah ke wilayah Muslim atau tidak.

Di sisi lain, seorang Muslim juga harus membuat penilaian atau pertimbangan kerugian dan keuntungan dari situasi mereka sendiri. Kedua, pendekatan Ibnu Taimiyyah dalam konsep “hijrah” termasuk dalam maksudnya menjawab pertanyaan tersebut lebih bersifat etis, bukan politis.

Ketiga, sebagai juga seorang “teolog moderat” dengan utilitarianismenya mengenai masalah agama dan moral, termasuk demi menghindari konflik, Ibnu Taimiyyah kemudian memunculkan kategori wilayah ketiga (murakabbah) yang itu belum pernah ada atau tidak populer pada masa itu.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru