27.3 C
Jakarta

Menelaah Makna Kafir dalam Al-Qur’an

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenelaah Makna Kafir dalam Al-Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kafir-mengkafirkan bukan tema yang baru dalam perjalanan hidup manusia. Isu ini berawal dari terjadinya arbitrase antara Ali Ibn Abi Thalib dan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, lalu datang Kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali beserta pengikutnya karena mengambil suatu keputusan di luar ketentuan Allah.

Tragisnya, kelompok Khawarij kemudian menghalalkan darah Ali beserta pengikutnya. Karena, menurut mereka, manusia yang mengambil suatu keputusan di luar ketentuan Tuhan adalah kafir dan orang kafir itu halal darahnya untuk dibunuh. Pakar sejarah mencatat bahwa tumbuhnya benih ekstremisme bermula pada masa kepemerintahan Ali.

Kafir-mengkafirkan ternyata belum sirna, walau dari waktu ke waktu terus diamputase hingga ke batang akarnya. Anehnya, bibit pengkafiran ini semakin berkembang hingga era post-modern sekarang ini. Seorang muslim begitu mudah mengkafirkan saudaranya sendiri, kendati mereka sesama muslim.

Sejenak saya bertanya: Apa itu kafir? Secara literal, kata kafir merupakan isim fail (kata pelaku) yang terambil dari kata kerja kafara. Kata ini beserta kata yang seakar dengannya disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 525 kali. Dari banyak kuantitas istilah kafir ini, apakah semuanya memiliki makna yang berbeda?

Kata “kafir” memiliki beberapa arti, antara lain menutupi seperti yang tersebut dalam surah Ibrahim ayat 7: Dan (ingatlah) ketika Tuhan Pemelihara kamu memaklumkan: “Demi (kekuasaan-Ku), jika kamu bersyukur, pasti aku tambah (nikmat-nikmat-Ku) kepada kamu dan pasti jika kamu menutup (nikmat-nikmat-Ku), maka sesungguhnya siksa-Ku benar-benar sangat keras.” Seseorang diklaim kafir pada ayat ini karena “menutupi” nikmat Allah dengan cara tidak mensyukurinya dan kemudian diistilahkan dengan kufr ni’mah (kafir atas nikmat).

Makna menutup termasuk makna dasar yang beberapa makna lain biasanya dikembalikan kepadanya. Selain itu, makna menutup juga ditemukan dalam surah al-Kafirun ayat 1, yang berbunyi: Katakanlah (Nabi Muhammad saw.): “Hai orang-orang kafir”. Kaum musyrikin pada ayat ini disebut “kafir” karena mereka menutup hatinya untuk mengimani Allah, para rasul serta semua ajarannya, dan hari Kiamat. Kekafiran semacam ini disebut dengan kufr al-inkar (kafir sebab ingkar).

Pada tempat lain, kata kafir dipahami dengan arti para petani atau kuffar. Disebutkan dalam surah al-Hadid ayat 20, yang berbunyi: Ketahuilah (hai hamba-hamba Allah, yang terperdaya oleh kenikmatan hidup duniawi) bahwa kehidupan dunia hanya permainan dan kelengahan, serta perhiasan dan bermegah-megah antara kamu (yang mengantar pada dengki dan iri hati) serta berbangga-bangga tentang (banyaknya) harta dan anak (keturunan); (kehidupan dunia) ibarat hujan yang mengagumkan kuffar, para petani tanaman-tanaman (yang ditumbuhkan oleh-)nya kemudian tanaman itu menjadi kering, lalu engkau lihat ia menguning kemudian ia menjadi hancur.

Benar. Para petani disebut dengan kuffar pada ayat tersebut karena mereka menutup atau menyembunyikan benih di dalam tanah waktu bercocok tanam. Satu makna yang lain adalah denda atau kaffarah seperti yang tersebut dalam surah al-Ma’idah ayat 89 dan 95Sesuatu disebut kaffarah karena menutup pelanggaran salah satu ketentuan Allah dengan denda tersebut.

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Makna “kafir” kemudian berkembang, seperti banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, adalah mendustakan kebenaran Allah, para rasul beserta semua ajaran yang mereka bawa, dan hari Kiamat. Secara sederhana, kafir sepadan dengan syirik, sementara syirik adalah lawan dari iman. Menarik untuk dijawab sebuah pertanyaan: Apakah orang yang beragama di luar Islam disebut “kafir”, padahal mereka mempercayai atau beriman terhadap keesaan Tuhan? Dan tak kalah menariknya untuk ditanyakan pula: Benarkah orang muslim yang berbeda pemahaman disebut kafir, padahal mereka mempercayai Allah sebagai Tuhan mereka?

Al-Qur’an tidak mengklaim kafir orang yang beragama di luar Islam seperti Yahudi dan Nashrani pada zaman dahulu, atau Kristen, Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu pada era sekarang. Selagi semua agama tidak menutup hatinya untuk mempercayai keesaan Tuhan, mereka masih muslim, bukan kafir. Disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 62, yaitu: Sesungguhnya orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad saw.), orang-orang Yahudi (yang mengaku beriman kepada Nabi Musa as.), orang-orang Nashrani (yang mengaku beriman kepada Nabi Isa as.) dan orang-orang Shabi’in (penganut agama dan kepercayaan lain), siapa saja di antara mereka yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui nabi-nabi) serta beramal saleh, maka untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan Pemelihara mereka, tidak ada rasa takut menimpa mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 

Bila non-muslim sendiri belum diklaim kafir oleh Al-Qur’an, maka saudara semuslim yang berbeda paham tentu masih muslim kaffah, sejati. Tidak benar suatu kelompok yang gemar mengkafirkan saudaranya sendiri, karena berbeda pemikiran atau pemahaman, sebab perbedaan itu adalah rahmat, bukan petaka. Dan, hati-hatilah bahwa mengkafirkan orang lain, sementara orang yang dikafirkan masih muslim, berakibat pada kekafiran sendiri.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru