31.9 C
Jakarta

Menagih Janji Pemberantasan Terorisme (1/2)

Artikel Trending

Milenial IslamMenagih Janji Pemberantasan Terorisme (1/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Teroris akan terus bereksperimen dengan teknologi yang muncul dalam upaya untuk mendapatkan keuntungan asimetris. Mungkin akan ada serangan teroris yang menggunakan drone pada 2020. Penggunaan senjata 3-D dalam serangan anti-Semit di Halle, Jerman.[matamatapolitik.com: 24/03/20]

Prestasi pemerintah dalam pemberantasan radikalisme-terorisme menunjukkan trend pesimis, programnya tidak ada nilai tambah atau daya positif sejak sebelumnya hingga kini. Modus dan pergerakan kelompok pro ideologi transnasional tersebut tampak mengalami peningkatan pasca sering penangkapan.

Kemunculan terorisme di negara Indonesia semakin positif, hal ini diakibatkan maraknya virus radikalisme yang bersifat simbolik. Paham radikal kian mendominasi, setelah propagandanya begitu masif merajai panggung media sosial. Sehingga, radikalisme potensial mendorong suburnya terorisme.

Selama tiga bulan terakhir ini, Pandemi Covid-19 menjadi momen strategis kelompok terorisme. Aksi teror pun datang bertube-tube di setiap daerah, bahkan di tengah ramadhan saja. Terorisme malah memadati ancaman masyarakat. Kenyataan ini, menjadi ancaman serius bagi kita dan pemerintah.

Faktanya akhir-akhir ini, sejak darurat Covid-19, Densus 88 melakukan penangkapan terduga teroris terjadi di pelbagai titik. Misalnya, di daerah Solo, Ciawi, Tasikmalaya, Pandeglang, Sidoarjo, Poso, Kendari, Jakarta Pusat, Serang, dan Sulawesi Tenggara. Adalah tren yang amat positif.

Dalam laporan investigasi, terdaftar banyak kelompok radikalisme yang giat melakukan aksi terorisme. Baik itu, Jamaah Ansorut Daulah, Mujahidin Indonesia Timur, Anarko, dll. Sedangkan bahaya baru datang dari kelompok ekstrem-radikal. Seperti halnya, eks Hizbut Tahrir, dan jaringan kolektif-Nya.

Pasca pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara nasional, gerakan jejaring kelompok radikal-teroristik mengalami transformasi alias digitalisasi ideologi. Ada semacam penormaan sumber keagamaan dan penanaman benih-benih pemikiran intoleransi, dan esktremisme.

Akhirnya, digitalisasi ideologi tersebut membentuk pengerasan karakter individu seseorang yang beragama mudah menjadi radikal hingga teroris. Sekalipun, era 4.0 memang tujuannya adalah positif. Namun, ketika praktiknya negatif, maka jangan berharap terorisme akan sirna di muka bumi ini.

Terorisme dominan pelakunya beridentitas, dalam hal ini. Mereka beragama, setiap sumber-sumber keagamaan yang dipahami secara skriptualis/literal pasti mudah mengambil tindakan main hakim sendiri (hakimiyah). Penghakiman itu menjadi ladang subur pertumbuhan para teroris.

Faktor Pemberantasan Terorisme

Keberhasilan pemberantasan terorisme dapat kita lihat sejauh mana peran, komitmen, dan soliditas institusi negara, serta elemen masyarakat. Dalam praktiknya, terorisme selalu lahir dari rahim kelompok radikalisme karena ketidakpastian gerakan dan tindakan dalam mencegah kekerasan tersebut.

Menurut hemat penulis, parameter negara tidak sukses memberantas terorisme disebabkan beberapa faktor. Pertama, inkonsistensi program deradikalisasi BNPT yang belakangan ini tidak kunjung menunjukkan tren positif baik dalam dimensi pencegahan radikalisme maupun aksi terorisme tersebut.

Kedua, peran perangkat negara (Polri, TNI, BIN) terlalu fokus dan sibuk menangani penyebaran Pandemi Covid-19. Hal ini pula menjadi sebab-musabab akhir dari semangat mereka yang tidak lagi serius menangani terorisme. Sehingga, teroris leluasa melakukan invasi di tengah Pandemi.

BACA JUGA  Meningkatkan Suluh Puasa dengan Menutup Pintu Radikalisme

Ketiga, Presiden, ulama, dan tokoh agama dari pelbagai kalangan tidak lagi menggaungkan semangat melawan radikalisme dan terorisme melalui agenda kontra narasi terhadap pembawa virus transnasional. Semua faktor ini, secara pelan-pelan membuat langkah para teroris semakin bergerak bebas.

Keempat, regulasi perundang-undangan yang kurang memberi perhatian terkait hak perlindungan kepada korban. Baik itu, korban terorisme, eks-kombatan, eks-militan, dan returnee. Kepastian hukum ini amat penting untuk mencegah kembalinya mereka kepada kelompok terorisme.

Dalam konteks parameter pemberantasan terorisme tersebut dapat dibuktikan dalam beberapa rentetan serangkaian terorisme selama tiga bulan terakhir. Bahkan, baru-baru ini, penyebaran ideologi khilafah kembali terjadi, dan penemuan ID Card ISIS dari pelaku penyerang Polsek Daha Selatan.(01/06/20)

Pelbagai faktor ini, setidaknya menjadi referensi evaluatif pemerintah dalam upaya menjaga keamanan negara dan keselamatan nyawa masyarakat. Komitmen pemberantasan terorisme butuh sikap konsistensi, dalam hal ini, negara harus kembali meneguhkan misi yang sejak awal direncanakan.

Kebijakan Evaluatif

Selama kebijakan pemerintah menangani Pandemi Covid-19, program deradikalisasi radikalisme dan pemberantasan terorisme seakan-akan menjadi kebijakan semata. Padahal, dari sejak awal Presiden Jokowi-Ma’ruf meneguhkan janji suci dan komitmennya melalui pidato kenegaraan di parlemen.

Harusnya di tengah situasi darurat, negara adalah institusi untuk mengatur persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Terutama agar dijamin hak keamanan dan keselamatan masyarakat baik dari virus corona, virus khilafah, radikalisme, dan terorisme.

Untuk membenahi model pemberantasan terorisme, tidak mengharuskan merubah sumber daya manusia (SDM) yang ada. Melainkan juga dapat membenahi sistem yang ada di setiap institusi negara yang bersangkutan. Hal ini membutuhkan sikap tegas pemerintah guna efektivitas pemberantasannya.

Apalagi perilaku radikalisme dan terorisme tidak dibenarkan dalam ajaran agama apapun, khususnya agama Islam perbuatannya merupakan kategori kejahatan pembunuhan. Sehingga, negara tidak perlu takut untuk memerangi kejahatan kemanusiaan ini yang kerapkali menakut-nakuti umat beragama.

Setiap derap langkah kebijakan pemerintah tentang kontra-terorisme harus menjadi bagian dari sumbangsih semua agama untuk mengutuk tindakannya. Bahkan, kalau perlu ikut andil memberantas terorisme melalui syiar-syiar agama yang indah, harmonis, dan menanamkan sikap yang welas asih.

Salah satu kecenderungan kita terpapar radikalisme dan terorisme tidak lepas dari ideologi agama, dan ceramah-ceramah ekstrem yang beredar di dunia maya. Tugas pemerintah bekerjasama dengan semua tokoh-tokoh agama untuk melakukan perang kontra narasi melawan aksi terorisme.

Maka dari itu, terorisme hanyalah kekerasan yang salah dalam memahami teori dan praktik keberagamaan. Demikian itulah, agama harus menjadi pedoman dalam mewujudkan kedamaian yaitu kemaslahatan umat beragama. Praktiknya, adalah menegakkan kebenaran baik secara formil maupun materil.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru