26.1 C
Jakarta
Array

Memetakan Jejaring dan Ideologi ISIS Indonesia

Artikel Trending

Memetakan Jejaring dan Ideologi ISIS Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Peristiwa penyanderaan anggota polisi di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob pada Selasa, 8 Mei hingga berakhir Kamis, 10 Mei 2018, disusul dengan serangkaian aksi terorisme, di Surabaya, Sidoarjo, Riau, dll dinyatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dilakukan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). JAD adalah jaringan ISIS (Islamic State Iraq and Syria) di Indonesia. Sebelumnya dinyatakan pejabat keamanan pemerintah ada 500-an warga negara Indonesia yang masih bergabung dengan ISIS di Suriah dan 500-an yang sudah pulang ke Indonesia.

Seperti diketahui, beberapa pelaku bom bunuh diri di Surabaya adalah alumni ISIS di Syiria. Sebenarnya, ISIS bukan ‘barang’ baru dalam gerakan Islam radikal. Ia merupakan metamorfosis dari Al-Qaeda. Embrionya muncul saat Abu Mus’ab al Zarqawi, pimpinan Jamaah Tauhid wal Jihad, mengubah organisasinya menjadi Al-Qaeda Iraq (AQI) pada 2004 dan mengklaim menjadi bagian dari Al-Qaeda di Irak dan Semenanjung Arab.

Begitu Saddam Hussein jatuh pada April 2003, Al-Zarqawi yang sebelumnya berbasis di Herat, Afganistan Barat segera pindah ke Irak Utara yang dihuni mayoritas Sunni. Irak pun jadi medan jihad baru. Mereka bertujuan mengusir pasukan Amerika dari Irak, mendirikan khilafah, memperluas konflik ke negara tetangga, dan melibatkan diri dalam konflik Arab-Israel. Pada Juni 2005, Al-Zarqawi sempat membentuk organisasi payung Mujahidin Shura Council (MSC) yang bertujuan menyatukan perlawanan Sunni. Namun, upaya ini gagal karena Jamaah tauhid Wal Jihad melakukan tindakan kekerasan yang sembrono terhadap warga sipil, dan menerapkan hukum Islam secara ketat di wilayah kekuasaannya yang dihuni komunitas Sunni moderat.

Setelah Al-Zarqawi tewas pada 2005, posisinya digantikan Abu Ayyub Al-Masri. Pada pertengahan Oktober 2006, Al-Masri mendeklarasikan Daulah Islam fi Iraq atau Islamic State of Iraq (ISI). Ini adalah peristiwa penting ketika sebuah elemen Al-Qaeda mendeklarasikan pembentukan sebuah negara. Pada 2007, kekuatan ISI atau Al-Qaeda Iraq (AQI) sebagian besar terdiri dari sukarelawan asing. Sekitar 2.000 orang berasal dari Suriah dan sekitar 250 orang lain dari kawasan utara, yakni Chechen –mereka menyebut diri sebagai Jaish Muhajirin wal Anshar (AJA), yang dipimpin Abu Umar Al-Shishani.

Setelah mendeklarasikan Daulah Islam fi Iraq, pada 19 April 2007 mereka mengumumkan terbentuknya pemerintahan yang dipimpin Abu Umar Al-Baghdadi, dengan anggota kabinet sebanyak 10 orang. Sebelumnya, Abu Umar Al-Baghdadi adalah wakil komandan Al-Qaeda, kemudian menjabat komandan. Pada April 2010, setelah Abu Ayub al-Misri dan Abu Umar Al-Baghdadi terbunuh di Tikrit, Abu Bakar Al-Baghdadi pun mengambil alih komando. Pada April 2013, Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan perluasan ISI menjadi Islamic State of Iraq and Levant/Daulah Islamiyah Fi al-Iraq wa Sham (ISIL). Levant adalah nama lain dari Sham, gabungan Suriah dan Lebanon serta Palestina –yang lebih kita kenal dengan nama ISIS. Deklarasi ini sekaligus pernyataan penggabungan Jabhah al-Nusrah sebagai bagian dari ISIL.

Namun, karena misi berbelok dari misi perjuangan dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan Suriah dan penggunaan aksi-aksi kekerasan, Jabhah al-Nusrah/al-Qaedah Syiria tidak lagi mengakui ISIS sebagai bagian darinya. Abu Bakar Al-Baghdadi bahkan bersumpah untuk memimpin penaklukan Roma, dan menyerukan umat Islam agar tunduk kepadanya. Sekitar 500 miliar dinar atau setara Rp 5 triliun lenyap dari Bank Sentral Irak cabang Mosul ketika ISIS merebut kota di utara tersebut.

Aiman Al-Zawahiri, pemimpin tertinggi Al-Qaeda pengganti Usamah bin Laden, menyatakan Al-Qaeda tidak memiliki hubungan dengan ISIS. Sementara ISIS mengalami perkembangan pesat pada 2014. Meski begitu, perbedaan antara Abu Bakar Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri tidak boleh disalahartikan sebagai sinyal bahwa ISIS tidak mengakui ideologi Al-Qaeda. Pada dasarnya ISIS tetap menganut ideologi Al-Qaeda, sehingga ISIS lebih layak disebut kelompok sempalan Al-Qaeda. Dan, meskipun memiliki perbedaan taktis tentang tahapan perjuangan dan perbedaan substantif mengenai kepemimpinan pribadi, Al-Qaeda dan ISIS mengejar tujuan strategis yang sama.

Pengumuman Al-Baghdadi tentang sebuah “Khilafah” pada 29 Juni 2014 dan pidato publik pada 4 Juli 2014 menunjukkan langkah ISIS untuk mengambil keuntungan teritorial. Dengan menggunakan diksi “khalifah”, ISIS bermaksud mengeksploitasi konotasi agama, sejarah, dan ideologi sebuah kata, guna mengesankan kebangkitan pemerintahan khalifah di tahun-tahun awal Islam.

Hal ini sejalan pernyataan Usamah bin Laden bahwa tahap akhir dari kampanye teror Al-Qaeda adalah pembentukan struktur politik guna mengoreksi kesalahpahaman tentang agama. Teknik propaganda yang demikian tersebut dirancang untuk mendorong relawan internasional bergabung dengan gerakan.

Jejaring ISIS di Indonesia

ISIS dideklarasikan di Indonesia pada 16 Maret 2014 di Bundaran Indonesia, Jakarta oleh beberapa orang yang tergabung dengan beberapa organisasi. Pada 6 Juli 2014 di Universitas Islam Negeri Sahid Ciputat juga terjadi deklarasi mendukung ISIS dan ba’iat kepada Abu Bakar Al Baghdadi, pemimpin ISIS internasional. Pada 2015 dideklarasikan sebuah nama Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) sebagai payung utama pendukung ISIS dan pemasok warga negara Indonesia yang berangkat ke Suriah.

JAD adalah istilah atau penyebutan bagi kelompok yang mendukung ISIS, sedangkan yang menjadi penyokong JAD adalah pertama, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso/Abu Wardah yang dikenal sebagai kelompok ideologi, perekrutan dan kaderisasi yang berbasis di Poso serta Bima (NTB). Kedua, Mujahidin Indonesia Barat (MIB), dibentuk pada akhir 2012 dan dipimpin oleh Abu Roban. MIB memiliki ideologi untuk mempersatukan kelompok-kelompok jihad di seluruh Indonesia dalam rangka menegakkan syariat Islam dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. MIB memiliki hubungan kuat dengan kelompok lain seperti Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin Santoso. MIB dikenal sebagai kelompok yang bertugas melakukan penggalangan dana bagi usaha mereka menegakkan negara Islam di Indonesia.

Ketiga, Jamaah Islamiyah (JI) atau Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Ketika Abu Bakar Ba’asyir bai’at kepada Abu Bakar Al Baghdadi maka sebagian anggota JAT menolak untuk ikut bergabung JAD. Sebagian mendirikan organisasi baru yang bernama Jamaah Ansharut Syariah (JAS) yang dipimpin langsung oleh Abdurahim Ba’asyir. Perpecahan di JAT sangat kuat, dan mereka sangat membenci Aman Abdurahman yang dianggap sebagai orang yang mempengaruhi Abu Bakar Ba’asyir bergabung dan bai’at ke ISIS.

Keempat, Al Muhajirun yang terafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia. Walaupun HTI membantah minimal anggota Al Muhajirun adalah mantan anggota HTI, ada 2 orang yang saya anggap memiliki jejak dengan HTI, yakni Bahrun Naim pernah menjadi anggota HTI di UNS –diduga masih di Syiria dan menjadi dalang aksi bom di Thamrin dan Kampung Melayu, dan Muhamad Fahri pernah menjadi anggota HTI di Universitas Jember, yang ditangkap Densus 88 karena memberangkatkan 16 WNI ke Suriah.

Ideologi dan Keyakinan ISIS/JAD

Hampir mayoritas pendukung ISIS di Indonesia berpaham salafi jihadi, paham keagamaan yang memiliki 5 prinsip dasar dalam keyakinan agama mereka, yakni; pertama, jihad, merupakan sebuah komponen integral dan penting dari gerakan salafi jihadi yang memandang jihad sebagai puncak Islam, yang dijadikan kendaraan bagi agama ini untuk bertahan dan berkembang. Jihad di jalan Allah (jihad fi sabilillah) merupakan fardu ‘ain (kewajiban setiap individu) sebagaimana ibadah yang lain seperti salat, haji, dan puasa. Jihad sendiri dikategorikan menjadi dua: ofensif dan defensif. Namun, pelaksanaan jihad ofensif memerlukan adanya otoritas tertentu seperti khilafah dalam rangka mendapatkan wilayah baru, maka merebut wilayah untuk menegakkan khilafah adalah kewajiban seperti yang terjadi di Marawi, Filipina.

Kedua, paham takfir atau takfiri. Dalam pemahaman umum takfir adalah proses menyatakan muslim yang lain atau suatu kelompok muslim telah keluar dari Islam karena berbeda dengan diri mereka. Takfir menentukan posisi komunitas muslim dan yang menjadi anggotanya. Karena konsekuensi takfir adalah memberikan konseptualisasi siapa yang bukan orang beriman atau kafir. Bagi para salafi hal ini penting karena takfir dilihat sebagai mekanisme untuk menjaga Islam. Mekanisme untuk mengeluarkan orang Islam yang berbeda dengan mereka dan melindungi orang Islam yang bersama dengan mereka. Dari konsep takfir ini muncul takfiri yang menghukum kafir orang lain yang berbeda walaupun beragama Islam.

Ketiga, al wala’ wal baro’. Wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka. Sedangkan baro’ memutus hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka. Konsep al wala’ wal baro’ dapat dipakai sebagai upaya proteksi terhadap komunitas muslim –dengan menunjukkan loyalitas, dan memberikan legalitas untuk menyerang musuhnya– dengan menyerukan pengingkaran dan dengan kekerasan terhadap musuh. Konsep ini penting bagi gerakan salafi-jihadi agar dapat menetapkan cara pandang hitam-putihnya, yaitu dunia dibagi antara loyalitas dan pengingkaran; kebenaran dan kebatilan; iman dan kafir.

Keempat, tauhid, yang merupakan konsep utama di gerakan salafi-jihadi. Tauhid bagi salafi terdiri dari tiga bagian: tauhid rububiyyah (rububiyyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara, yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah menzalimi dirinya sendiri dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya). Tauhid uluhiyyah (adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernazar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah). Dan, terakhir adalah tauhid asma’ wa sifat (merupakan bagian dari mentauhidkan atau mengesakan Allah dalam akidah Islam. Tauhid ini merupakan bentuk penerapan pengesaan dari makhluk terhadap Allah mengenai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, yang mana nama-nama dan sifat-sifat ini telah diatributkan oleh-Nya sendiri). Salafi jihadi menyatakan bahwa berperang merupakan satu-satunya cara untuk merealisasikan tauhid khususnya komponen praktisnya yaitu tauhid uluhiyyah.

Kelima, hakimiyyah. Konsep ini menyatakan bahwa kedaulatan sistem politik dan aturan kehidupan bernegara hanyalah kepunyaan Allah. Penegakan kedaulatan Allah dalam sistem politik, tidak hanya akan mengamankan hak Allah, namun juga akan memberikan pemberdayaan temporal karena ini merupakan tahapan yang mana pesan-pesan Nabi Muhammad ditransformasikan dan dikirimkan pada skala yang lebih besar daripada tahap sebelumnya.

Melihat permasalahan di atas, jejaring dan ideologi ISIS masih ada dan berakar di Indonesia. Sebab itu, perlu upaya-upaya untuk memutus mata rantai jejaring dan juga pemahaman mereka tentang jihad.

*Mohammad Nuruzzaman, Komandan Densus 99 Asmaul Husna Banser NU [detik]

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru