26.2 C
Jakarta

Memelintir Kebencian demi Mengampanyekan Khilafah; Lawan!

Artikel Trending

Milenial IslamMemelintir Kebencian demi Mengampanyekan Khilafah; Lawan!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari-hari ini isu politik identitas menjadi sorotan. Faktornya banyak, di antaranya ialah merebaknya kembali sentimen keagamaan menuju Pemilu 2024. Kontestasinya mengerikan; saling tuduh satu sama lain menjadi makanan harian. Di tengah hiruk pikuk tersebut, terdengar bisik-bisik orang yang menawarkan khilafah. mereka menggunakan jurus pelintiran kebencian alias hate spin untuk menggaet dukungan masyarakat—terutama umat Islam.

Apa yang kita hadapi adalah arus besar yang kekuatannya tidak dapat diterka. Bisa beraksi kapan dan dalam rupa apa saja. Banyak yang yakin bahwa 2024 adalah tahun kontestasi yang penting: Pancasila melawan khilafah, meskipun tuduhan tersebut tammpak seperti mengada-ada. Dari sini kita harus memahami duduk perkaranya; di luar sana, ada persiapan agenda besar, yakni agar negara kesatuan ini berubah wujud menjadi negara khilafah.

Siasat yang pertama kali HTI pakai setelah ormasnya diilegalkan adalah dengan berusaha sekuat tenaga meruntuhkan pilar-pilar penjaga NKRI, seperti NU dan Muhammadiyah. Grand design-nya jelas, bagaimana masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap dua Ormas tersebut. Melalui tuduhan penyimpangan ideologi NU, misalnya hal-ihwal Islam Nusantara, sampai pada siasat menghancurkan melalui stigmatisasi secara masif terhadap pemimpin NU itu sendiri; Yahya Staquf dan tim.

Setelah itu tidak berhasil, dan mayoritas masyarakat masih memiliki harapan dan kepercayaan besar kepada NU dan Muhammadiyah, mereka sudah siap dengan intrik berikutnya yang mirip gerakan siluman. Pokoknya apa saja dipakai untuk menebarkan khilafah, tak peduli jika masyarakat harus saling membenci satu sama lain. Jika beberapa waktu lalu mereka terendus menggunakan Lapas sebagai ladang dakwah, maka hari ini mereka mencoba jurus lain yakni ‘kebencian sosial’.

Apa yang kita saksikan perihal pelintiran kebencian (hate spin) untuk menegakkan khilafah adalah satu dari kasus-kasus yang akan kita saksikan ke depan. Sebab, kita tahu, itulah kendaraan baru pengusung khilafah menuju tahun politik 2024. Yang mesti kita persiapkan hanya satu; tanamkan kecintaan yang teramat dalam terhadap keragaman Tanah Air kita di satu sisi, dan cita-cita kerukunan antarumat beragama di sisi lainnya. Khilafah haram mendapat tempat di negeri ini.

Hantu Radikalisme

Sebenarnya, benang kusut antara HTI, Al-Qaeda, ISIS, dan kemungkinan terburuk lahirnya organisasi sejenis ke depan, ialah tentang radikalisme. Segala yang kuat akan tiba di masa puncak, lalu musnah, dan lahirlah yang baru. Siklus yang menakutkan tersebut tak ubahnya hantu, dan hantu itu bernama radikalisme, radikalisme tersebut terjadi karena hasrat mendirikan khilafah.

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Radikal sebagai sebuah ideologi tidak akan sirna, kendati segala kulit luar (casing) dikoyak sedemikian rupa. AS boleh bangga menganggap keberhasilan mereka memerangi terorisme global sebagai pencapaian besar kedigdayaan negara tersebut. Namun kita juga bisa lihat, bagaimana ideologi HTI justru semakin masif, kendati ormasnya dihanguskan.

Para khilafahers baru tidak menutup kemungkinan juga akan segera lahir. Tidak ada yang tahu waktunya, tidak ada yang tahu pula pakaian alias nama organisasinya. Kita pun hanya bisa mendeteksi mereka melalui linearitas ideologi. Juga dapat menghabiskan mereka melalui pemusnahan ideologi itu sendiri.

Sebagaimana yang sudah-sudah, tentu ini menjadi PR bersama, bahwa radikalisme dalam wujud pelintiran kebencian ini harus dimusnahkan hingga ke akar-akarnya. HTI boleh saja sudah dilemahkan kekuatannya. Tetapi waspada tetaplah keharusan, karena yang namanya hantu, diusik di satu tempat akan pindah ke tempat lain. Seperti virus, pelintiran kebencian pun akan menghantui kita semua.

Upaya Kita

Bahwa Indonesia tetap harus waspada dengan agenda tersebunyi menuju pesta demokrasi 2024 adalah sesuatu yang benar adanya. Di Negara kita, ISIS bukan ideologi paten bagi yang tidak bisa berkembang. HTI malah merupakan ancaman yang lebih potensial. Mereka yang menganut paham radikal akan senantiasa merongrong eksistensi NKRI. Sebab bagi mereka, pelintiran kebencian itu tak ada apa-apanya dibanding perasaan tertindas dari peradaban dunia.

Agenda bersama kita ialah meredam sekuat mungkin merebaknya radikalisme, seperti apa pun ia menjelma, yang paling besarnya ialah seperti ujaran kebencian. Peringatan kelompok radikalis bahwa mereka tidak bisa diremehkaan keberaniannya sudah banyak. Koalisi partai mereka tak terlihat, tetapi militansi kader tidak perlu ditanyakan.

Karenanya, pemberantasan ujaran kebencian memerlukan saling pangku tangan semua elemen masyarakat, dari ormas apa pun, di dalam atau di luar pemerintahan. Perlu juga memberantasnya dari semua sisi; ideologi serta sepak terjang upaya pendirian khilafah. Langkah taktis aktivis khilafah barangkali bisa diserahkan kepada militer, tetapi pemberantasan ideologi mereka menjadi tugas pemangku keagamaan dan ormas.

Elite partai jelas tidak akan melihat ini. Bagi merekabahkan mungkin suara umat Islam tak lebih dari transaksi elektoral. Namun demikian, kita mesti menjadi negarawan, alih-alih sebagai masyarakat yang berpikir seperti para elite partai. Ancaman transnasionalisme itu bukan dongeng. Sama seperti sekularisme, khilafahisme itu bisa dirasakan bersama. Sekarang kita bisa bertaruh, betapa banyak ujaran kebencian ke depan sebagai upaya mengampanyekan khilafah.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru