Harakatuna.com- Pembunuhan di sekolah yang dilakukan oleh siswa kepada teman sebayanya, aksi pembullyan, penolakan ketua OSIS yang berbeda agama, hingga pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah, adalah sekian banyak dosa lembaga pendidikan, yang sampai hari ini terus terjadi. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman untuk anak tumbuh dan mengembangkan diri, justru bagi sebagian orang menjadi tempat yang mematikan karena terjadi pembunuhan mental, hingga pembunuhan fisik.
Jika kasus tersebut terus saja terjadi tanpa ada ada kebijakan yang tegas, atau tanpa ada sikap mawas diri dari setiap lembaga pendidikan, untuk apa sekolah didirikan? Apakah ini berarti sekolah hanya tahap yang perlu dilewati agar anak-anak bisa mendapatkan ijazah? Tentu tidak begitu.
Atas dasar beberapa kasus yang terjadi, seharusnya penting bagi setiap komponen dalam lembaga pendidikan untuk terus mengevaluasi masalah-masalah yang terjadi di sekolah, atau berupaya untuk melakukan pencegahan atas kasus yang terjadi di sekolah luar, tidak terjadi di sekolahnya sendiri. Idealnya, lembaga pendidikan sudah harus menyadari secara penuh potensi masalah yang akan terjadi di sekolah.
Keberadaan pendidikan agama di sekolah, menjadi peran sentral dari nilai perilaku kehidupan setiap komponen dalam sebuah lembaga pendidikan, mulai dari guru, siswa hingga tenaga kependidikan. Artinya, pendidikan agama perlu disorot ketika terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan moral dan etika dalam suatu lembaga pendidikan.
Pengetahuan Agama dalam Konteks Sosial
Pengembangan pengetahuan agama dalam konteks kehidupan sosial peserta didik, setidaknya perlu memperhatikan beberapa hal, di antaranya: pertama, mengembangkan pengetahuan tentang agamanya sendiri, agama lain, tradisi agamanya sendiri dan agama lain serta pandangan dunia. Kedua, menawarkan kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangan refleksi kepribadian dan spiritual sebagai proses perjalanan hidup. Ketiga, meningkatkan kesadaran atas pemahaman peserta didik tentang keyakinan, ajaran agama, praktik dan bentuk ekspresi pemahaman dalam diri sendiri, masyarakat, keluarga ataupun budaya.
Keempat, mendorong peserta didik untuk belajar berbagai agama, keyakinan, nilai-nilai dan tradisi sambil menjelajahi keyakinan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk menjadi refleksi para para peserta didik. Kelima, selalu memberikan ruang bagi peserta didik untuk melakukan analisis, menafsirkan dan mengevaluasi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan iman, kepercayaan agar tanggap dan kritis. Atas dasar hal itu, inti dari ajaran agama bagi peserta didik, sebenarnya harus membawa pengetahuan dan pemahaman agama dalam lingkup pikiran manusia dan tindakan, dibandingkan dengan hanya meyakini ajaran agama.
Apabila menganalisis konsep pendidikan agama, ada elemen dasar yang perlu diterapkan di sekolah yakni melalui dialog, komunikasi antar peserta didik dalam proses pengembangan pengetahuan, kecakapan dan kepribadian siswa. Komunikasi dengan bentuk dialog dengan penanaman nilai agama ini, kalau berkaca pada pengalaman kita saat sekolah, tentu jarang sekali diterapkan di sekolah. Dogma yang diperkenalkan kepada peserta didik disampaikan dengan begitu menyeramkan terkait halal-haram, benar atau salah, ternyata tidak membuat peserta didik mampu menerapkan dalam kehidupan sosial dengan baik. Pendekatan ketakutan menjadi cara klasik yang selama ini menjadi budaya di sekolah.
Nilai Demokratis Seperti Apa yang Dimaksud?
Nilai demokratis bisa dilihat dari bagaimana sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban antara dirinya dan orang lain. Nilai demokratis ini, perlu ditanamkan dalam pendidikan agama, agar peserta didik mampu merefleksikan ajaran agama untuk kehidupan sosial beragama. Dalam konteks masalah perilaku kepada pemeluk agama lain, peserta didik akan memahami persamaan yang sama sebagai siswa di suatu sekolah, tanpa mendiskreditkan karena pemahaman agama yang berbeda.
Dalam kasus bully karena ada siswa di sekolah negeri memilih untuk tidak berjilbab, nilai demokratis dalam pendidikan agama yang diterapkan kepada siswa, akan memberikan pemahaman kepada para siswa bahwa, pilihan ekspresi keberagamaan tidak bisa dipaksakan, apalagi jika kepada non-Muslim. Para siswa akan menghargai perbedaan pilihan dalam menjalankan perintah agama yang sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Hal itu bisa dicapai dengan ditopang oleh pemahaman para guru yang sama. Peran guru sebagai pendidik/orang tua di sekolah, berdampak terhadap pola pengajaran dan pola pendidikan yang diterapkan. Wallahu A’lam.