27.6 C
Jakarta
Array

Memahami Hadis Sabʻatu Ahruf dalam Penurunan Al-Quran (Bagian IV-Habis)

Artikel Trending

Memahami Hadis Sabʻatu Ahruf dalam Penurunan Al-Quran (Bagian IV-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara makna sabʻatu ahruf mana yang paling râjih (kuat), tentu merupakan sesuatu pandangan yang belum bisa mewakili seluruh kalangan sarjana al-Quran. Sebab di situ masih ada subjektivitas dan kecenderungan orang yang men-tarjîh. Sehingga –menurut hemat penulis- ke-râjih-an suatu pendapat bukanlah hal yang absolut. Menurut Rizq al-Thawil dalam Fî ʻUlûm al-Qirâât Madkhal wa Dirâsah wa Tahqîq, memilih pada satu pendapat dan meyakininya sebagai yang paling benar dan paling bisa diterima adalah hal yang sulit dan seperti dipaksakan.

Jika kita melihat pandangan Manna Qaththan tentang pendapat yang paling râjih maka yang dimaksud adalah tujuh ragam bahasa Arab meskipun ditemukan perbedaan dalam cara baca atau pelafalan sebenarnya itu masih satu makna. Pandangan ini didasarkan pada riwayat Ibnu Mas’ud dan Abu Bakrah di atas dan riwayat-riwayat lainnya.

Sementara Nabil Muhammad Alu Ismail memandang yang paling râjih adalah tujuh ragam dialek bahasa Arab yang digunakan oleh ayat-ayat al-Quran yang turun. Sebab Utsman bin Affan memerintahkan panitia kodifikasi al-Quran untuk menulisnya dengan bahasa Quraisy jika ditemukan perbedaan. Pandangan ini juga Abdurrahman bin Ibrahim al-Mathrudi dengan menambahkan riwayat Umar bin al-Khaththab yang memerintahkan penulisan al-Quran dengan bahas Mudhar yang nota bene nenek moyang suku Quraisy.

Penulis lebih memilih jika tujuh macam perubahan yang membuat perbedaan bacaan lebih dekat kepada maksud sabʻatu ahruf. Pendapat ini digawangi oleh Ibnu Qutaibah, Abu al-Fadhl al-Razi, dan Ibnu al-Jazari. Dengan alasan-alasan yang disimpulkannya, al-Zarqani juga memilih pendapat ini. Hampir senada dengan ini kesimpulan Abdul Aziz Abdul Fattah al-Qari dan Subhi Salih -setelah memaparkan semua pendapat- yang mengatakan bahwa sabʻatu ahruf merupakan beberapa sisi perbedaan wajah bacaan yang diturunkan. Wajah bacaan manapun yang dibaca qari semua benar.

Alhasil semua pendapat memiliki kelemahan. Mengulang kembali pembicaraan di awal, bahwa sulit sekali bagi kita untuk menentukan pendapat yang diyakini kesahihannya.     

      Setidaknya ada beberapa hikmah yang terkandung dalam penurunan al-Quran berdasarkan atas sabʻatu ahruf. Hikmah-hikmah tersebut sebagai berikut:

  1. Menjawab permintaan Nabi saw untuk kemudahan bagi umatnya. (HR. Ubay bin Kaʻb dan Hudzaifah bin al-Yaman).
  2. Memudahkan untuk dibaca dan dihafal. Khususnya bagi kaum Arab yang notabene mereka adalah kaum ummiyyîn (buta huruf). Mengingat setiap suku Arab memiliki dialek tersendiri. Sehingga ke- ummiyy-an mereka menegaskan al-Quran orisinil dari Allah swt bukan buatan mereka.
  3. Memudahkan untuk dibaca seluruh umat Islam lintas generasi. Pembacaan al-Quran bukanlah hal yang saklek. Perbedaan cara baca merupakan suatu kelonggaran bagi kamu Muslimin. Ketika mereka tidak mampu melafalkan karena keterbatasan kemampuan fisik, dialek dan sebagainya maka ragam bacaan inilah menjadi opsi bagi mereka dalam membaca al-Quran. Tentu kelonggaran ini tidak sampai melewati batas-batas yang sudah digariskan apalagi sampai merubah teks ayat.
  4. Menjadikan al-Quran kitab istimewa dibanding kitab-kitab suci lainnya. Dengan ragam sabʻatu ahruf al-Quran tampil di depan kitab-kitab yang lain. Kesemua ragam qiraat itu merupakan wahyu Allah swt, bukan tafsir maupun takwil. Mengingat kitab-kitab suci terdahulu diturunkan hanya sebatas bi lisân wâhid (dengan satu macam cara baca).
  5. Bentuk kemukjizatan al-Quran dari sisi fitrah kebahasaan Arab. Banyaknya ragam cara baca al-Quran bisa mengakomodir dialek dan bahasa seluruh suku di tanah Arab. Namun hal itu tidak memadamkan kemukjizatan al-Quran. Kemukjizatan itu akan tetap langgeng tidak terbatasi oleh zaman. Bahkan senantiasa berkembang selama bahasa Arab masih ada.
  6. Bukti kemukjizatan dari segi makna dan hukumnya. Artinya perbedaan ragam qiraat bisa menambah makna-makna yang dibawa oleh al-Quran. Sehingga para pakar hukum Islam mampu menggali hukum-hukum Islam sesuai masanya melalui qiraat sabʻatu ahruf.
  7. Menjaga kelestarian bahasa Arab agar tidak punah dan usang ditelan zaman.
  8. Penyeragaman satu lisan (Quraisy) sebagai bahasa mayoritas bagi umat Islam.
  9. Membantu penggalian makna bagi para mufasir.
  10. Rahasia dan isyarat tersembunyi yang tidak mampu dideskripsikan secara gamblang. Setiap qiraat pastilah mengisyaratkan kesusastraan yang tinggi.
  11. Memenuhi syarat kesuksesan dalam berdakwah. Sebab konten dakwah seharusnya sesuai keadaan sasaran dakwah atau minimal mereka bisa menerima al-Quran.
  12. Menjadi bukti al-Quran adalah wahyu Allah swt. Dengan keragamannya, ayat-ayat al-Quran tidak ada yang kontradiksi satu sama lain.

Menyoal keeksistensian sabʻatu ahruf merupakan hal yang menggelitik. Sebab sabʻatu ahruf sendiri masih diperdebatkan maknanya oleh sarjana al-Quran berabad-abad hingga saat ini.

Jika yang dikehendaki adalah cara bacanya (baca: qiraat) maka keberadaannya masih terasa hingga saat ini. Meskipun qiraat al-Quran di dunia Islam sampai ini didominasi oleh bacaan Ashim riwayat Hafs, qiraat lain juga masih berlaku hingga saat ini di sebagian negara di afrika bagian utara semisal Libya dengan Qalun-nya, Sudan dengan Warsy-nya dan lain sebagainya. Selain itu dominasi Hafs di pelbagai belahan dunia tidak menutup semangat para pecinta al-Quran untuk mempelajari ilmu qiraat secara lebih mendalam baik sekedar teori maupun praktiknya.

Al-Zarkasyi menuturkan bahwa para ulama berbeda pendapat apakah sabʻatu ahruf masih eksis hingga saat ini. Mayoritas ulama di antaranya Sufyan bin Uyainah, Ibnu Wahb, al-Thabari, dan al-Thahawi –sebagaimana dinukil dari al-Qurthubi- menyatakan masih eksis hingga sekarang.

Ada tiga pendapat mengenai kadar eksistensi ahruf sabʻah. Pertama mengatakan yang eksis hingga saat ini hanya satu harf saja. Sebab pengkodifikasian al-Quran di masa Utsman bin Affan membakar semua mushaf para sahabat kecuali mushaf yang berada di tangan Hafshah. Ini pendapat al-Thabari, al-Thahawi, Ibnu Hibban dan lainnya. Kedua memandang keseluruhan ahruf sabʻah masih utuh hingga saat ini. Sebab Mushaf Utsmani mencakup sabʻatu ahruf. Ini pendapat segolongan fukaha, qurra’ dan mutakallimin. Ketiga, sabʻatu ahruf yang masih eksis adalah yang yang termuat dalam rasm utsmani. Sebab Mushaf Utsmani ditulis sesuai ʻurdhah akhîrah (setoran terakhir) Nabi saw pada Jibril. Sehingga apa yang ditulis di dalamnya adalah yang diperintahkan oleh Nabi saw untuk ditulis.

Namun hemat penulis, sabʻatu ahruf akan selalu ada selama al-Quran masih terjaga eksistensinya. Jika ada ahruf yang hilang, maka akan ‘mencederai’ penurunan al-Quran. Mengingat al-Quran telah dijamin keterjagaannya oleh Sang Empunya swt, secara otomatis sabʻatu ahruf akan ikut ada. (Ali Fitriana)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru