Bulan Maulid adalah bulan seremonial untuk memperingati sosok paling legendaris sepanjang masa, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau lahir ke dunia untuk membenahi akhlak dan menyelamatkan manusia dari kebodohan. Perjuangan dan kebajikannya tak tertandingi sepanjang masa.
Tak heran, Michael H Hart dalam bukunya menempatkan Muhammad di peringkat pertama sebagai sosok yang paling berpengaruh di dunia. Aunillah Reza Pratama (2013), dalam artikelnya Maulid Nabi dan Resolusi Problem, mencoba menguraikan alasan di balik peringkat tersebut. Menurutnya, karena Nabi adalah satunya-satunya orang dalam sejarah yang sangat berhasil baik dalam keagamaan maupun sekuler.
Praktik keagamaan Nabi tak akan pernah kita temukan pada orang lain secara persis. Untuk mencontoh cara beragama yang paling tepat hanya kembali kepada beliau. Beliau tak pernah menjadikan agama sebagai refleksi kebencian. Agama Islam adalah sumber kedamaian dan rahmat bagi alam.
Kebencian terhadap Nabi selalu datang bertubi-tubi. Hinaan musuh bahkan keluarga sendiri sampai pernah diludahi dan dilempari kotoran hewan. Namun tetap saja, beliau tak pernah mengekspresikan kemarahan, malah justru kelembutan kepada musuh. Ini sesuai dengan firman Allah, Aku tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi semesta.
Maulid dan Teologi Damai
Di bulan Maulid, rasanya kurang pas jika kita hanya mengadakan seremonial saja. Harus ada nilai-nilai penting yang harus kita ambil yang sekiranya bisa menjadi rujukan dari setiap masalah keagamaan di negeri ini.
Untuk melukiskan permasalahan agama di negeri ini, saya ingin meminjam bahasa Asep Salahudin dalam artikelnya yaitu “teologi kebencian”. Teologi kebencian melukiskan bahwa cara beragama kita (Muslim) tidak lagi mengekspresikan kedamaian lagi, melainkan kebencian. Sumbu teologi seharusnya kasih sayang.
Sumbu kasih sayang itu, misalnya, terdapat pada film yang berjudul Muhammad the Messenger of God. Film itu bercerita bahwa menurut kaum Musa, dalam kitab Taurat, tanda bintang yang sangat terang adalah tanda datangnya nabi baru dan sekaligus nabi akhir.
Pada suatu malam, masyarakat melihat sebuah bintang yang terang menyinari rumah Siti Aminah. Kemudian, Abu Thalib masuk ke halaman rumah Aminah dan menyaksikan cucunya yang baru lahir digendong oleh ibunya.
Saat itu, seluruh masyarakat tampak senang akan harapan baru dari seorang nabi yang baru lahir. Menurut Asep lagi, karena “kelahiran Nabi senantiasa bermula pada hasrat mengembalikan semesta pada daulat cinta kasih”.
Namun sayangnya, sekarang kita umat Muslim tidak lagi menggali kedamaian seperti yang dilakukan Nabi, melainkan kebencian. Misalnya, fenomena ekspresi kemarahan umat Muslim terhadap penodaan agama atau membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno.
Selain itu respons atas masalah keagamaan tersebut kurang etis, lantaran masih mendahulukan logika kekuatan daripada kekuatan logika. Buktinya, jarang sekali dari di antara kita yang ingin menjabarkan secara kritis bagaimana pernyataan Soekmawati soal perbandingan Nabi dan Soekarno serta puisi kidung lebih merdu daripada azan. Padahal, dalam sejarah Islam juga menyimpan banyak karya sastra yang tidak mudah dipahami.
Bulan Maulid seremonial kelahiran sang legenda, kita harus bisa mengambil kembali cara-cara beragama beliau. Kita ejawantahkan nilai mulia itu ke kehidupan keberagamaan kita yang lebih tampak seperti teologi kebencian daripada teologi kedamaian.
Esensi Islam Rahmah Di Era Nabi
Kota Madinah merupakan salah satu kota yang pernah dipimpin Nabi Muhammad SAW. Cara-cara Nabi menyikapi masyarakat yang majemuk sangat elok sekali. Meminjam bahasa Budi Hardiman, pemimpin deliberatif. Sangat mirip sekali dengan Indonesia yang sangat majemuk.
Di kota Madinah sebagai pemimpin, Nabi mengedepankan sentuhan kedamaian, kekuatan logika daripada logika kekuatan, dan mengandalkan argumentasi daripada provokasi. Dalam hal ini, cara beragama Nabi di tengah perbedaan tidak menghilangkan Islam rahmat al ‘alamin. Selain itu karena beliau diutus ke dunia untuk menyebarkan kedamaian.
Sewaktu menjadi pemimpin, menurut cacatan M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Quran, seseorang yang bernama Abdullah bin Ubay pernah menyebarkan propaganda dan kebencian kepada kaum Muhajirin. Setelah sampai kepada Sahabat Umar bin Khattab dan ia meminta restu kepada Nabi untuk membunuh Ubay, Nabi berkata untuk tetap berbuat baik kepada Ubay.
Dalam bulan seremonial sang legenda Islam, data di atas menunjukkan, preferensi keislaman Nabi adalah teologi kedamaian. Yang berlandaskan kasih sayang kepada siapa saja, entah sahabat atau musuh.
Mendorong Peran Umat Islam
Pembahasan ini sangat penting, sebab globalisasi semakin membuka kebebasan berekspresi yang sering kali memicu kebencian. Perangkat teknologi selain memudahkan informasi tersebar, tapi juga rentan dengan informasi reduktif. Untuk itulah kita harus bisa mengamalkan prinsip-prinsip Nabi Muhammad SAW. Prinsip yang tidak mudah reaktif, melainkan santun, bijak, dan penuh kasih sayang.
Perlunya menyambut bulan Maulid tentu tidak sekadar seremonial saja. Akan tetapi, seperti kata Salahudin al Ayyubi. Untuk mengenang kehidupan Nabi dan umat Islam bisa tetap semangat memperjuangkan apa yang sudah diperjuangkan Nabi.
Utamanya cara keberagamaan Nabi yang perlu kita refleksikan sekali lagi di dunia ini di mana kemanusian kita sudah condong pada nafsu, provokasi, kepentingan. Akhirnya agama yang semula mendatangkan kedamaian, malah mendatangkan kebencian pada banyak orang.
Oleh. M. Hariri
Penulis, adalah Alumni Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.