27.4 C
Jakarta

Masyarakat Harus Berpatisipasi Aktif Cegah Bahaya Terorisme dan Radikalisme

Artikel Trending

AkhbarDaerahMasyarakat Harus Berpatisipasi Aktif Cegah Bahaya Terorisme dan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Banda Aceh – Peserta Didik Sespimti Angkatan 33 Kombes Dedy Tabrani memaparkan bahaya terorisme, intoleransi, dan radikalisme dalam kuliah umum dengan mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara (IAN) dan FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh di Ruang Teater Kampus pada Senin (02/3).

Dekan FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr. Muji Mulia, didampingi Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Reza Idria, Ph.D. ikut menyatakan komitmennya beserta seluruh mahasiswa FISIP untuk mencegah intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk terorisme di kalangan mahasiswa dan generasi muda Indonesia.

Hal ini penting, karena menurut Kombes Dr. Dedy Tabrani, pola gerakan dan pengaruh terorisme saat ini telah merambah ke generasi muda dengan memanfaatkan media sosial dan permainan game online. “Para terorisme juga mulai memanfaatkan permainan game online dan berkomunikasi dengan mereka untuk mempengaruhi pola pikirnya,” kata Kombes Dedy.

Pihaknya menegaskan bahwa secara umum kelompok terorisme menggunakan beberapa dalih untuk mempengaruhi pola pikir individu atau kelompok masyarakat agar terpengaruh dengan ideologi kelompok mereka.

Beberapa dalih yang biasanya digunakan, seperti, mengajarkan sikap anti Pancasila. Dalam hal ini mereka bergabung dalam kelompok pro ideologi transnasional. Biasanya mereka membanding-bandingkan ideologi Pancasila dengan agama. Misalnya, mempertanyakan mana lebih bagus antara Pancasila dengan Al-Qur’an.

Ini merupakan pertanyaan yang tidak relevan dan tidak tepat dalam konteks bernegara seperti di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menghargai toleransi beragama.

Kedua, mengajarkan paham takfiri. Biasanya mereka “memotong-motong” ayat Al-Qur’an dan menafsirkannya sesuai dengan kepentingan kelompoknya.

“Seharusnya dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an itu terlebih dahulu memahami asbabun nuzulnya dan kontekstual,” ujarnya.

Ketiga, pengasong paham radikal terorisme mengajarkan sikap eksklusif terhadap lingkungan dan anti perubahan. Selanjutnya, keempat, mengajarkan intoleransi terhadap keragaman dan popularitas.

Kehadiran terorisme di Indonesia, menurut Kombes Dedy bermetamorfosis dari DI/NII dan berkembang menjadi beberapa kelompok lainnya. Di antara kelompok itu, sebut Dedy, Firkah Abu Hamzah adalah gerakan terorisme yang paling keras, fanatik dan menyuruh orang untuk melakukan kekerasan.

Abu Hamzah sendiri, kata Dedy, awalnya bersekolah di New Zealand. Sekarang berada di Suriah bergabung dengan ISIS.

Di antara model gerakan kelompok ISIS adalah melibatkan perempuan, anak, dan bahkan anggota keluarganya untuk melakukan aksi terorisme dan bom bunuh diri. Fakta terakhir, kata Kombes Dedy, pimpinan ISIS di dunia itu juga meledakkan diri sendiri bersama anggota keluarganya.

BACA JUGA  Pagar Nusa Yogyakarta Tegas Tolak Khilafah dan Gema Pembebasan DIY

Ada juga kelompok Salafi Wahabi yang suka membuat kajian agama sendiri-sendiri, tertutup, dan bersifat eksklusif, tetapi dalam kasus bom di Surabaya, ia mengatakan bahwa karakteristik pelaku sudah membaur dan berperilaku seperti masyarakat biasa, seperti menggunakan celana jeans dan istrinya tidak menggunakan cadar.

Selain itu, ia juga lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya yang mengambil jurusan kimia. “Jadi dulu dianggap sudah tobat. Densus (Densus 88, Red.) ternyata tertipu,” katanya.

Kombes Dedy juga menjelaskan tentang gelombang terorisme yang terjadi Indonesia. Secara umum terdapat tiga gelombang terorisme di Indonesia. Ketiga gelombang itu, yaitu, gelombang pertama antara tahun 1983-1992. Pada gelombang ini mereka melakukan pelatihan di Afghanistan.

Gelombang kedua antara tahun 1995-1999. Dimana mereka memusatkan pelatihan di Moro Filipina. Di antara aksi mereka yang terkenal adalah pengeboman di JW Marriott dan pusat pelatihan Jalin Jantho, Aceh.

Selanjutnya gelombang ketiga antara tahun 2014 hingga sekarang, terkait dengan ISIS Suriah dan Irak. Di antara aksi mereka adalah pengeboman Thamrin. “Sekarang masih ada ribuan WNI yang berada di Suriah,” sebutnya.

Kelompok-kelompok terorisme ini, sebut Kombes Dedy, biasanya mendapatkan pendanaan melalui berbagai kamuflase yang mereka lakukan, seperti kotak amal, yayasan amal dan sosial, berdalih lembaga amil zakat, dan donasi-donasi lainnya. Termasuk kegiatan-kegiatan legal.

Saat ini pemerintah telah mengesahkan UU No. 5 Tahun 2018. Undang-Undangan tersebut membagi tiga tahapan pemberantasan terorisme, yaitu pencegahan, penindakan, dan pemulihan. “Saat ini, fokus utama pemerintah adalah mengutamakan pencegahan daripada tindakan,” katanya.

Dalam hal tindakan yang akan dilakukan pemerintah, Kombes Dedy menganalogikan memimpin negara seperti memimpin keluarga. “Terkadang harus memutuskan pilihan yang berat berdasarkan resiko terkecil dan berdampak luas bagi kepentingan masyarakat,” ujarnya.

Pihaknya mengatakan bahwa terorisme berbeda-beda di seluruh dunia, berdasarkan karakteristik di suatu negara. Hal itulah, menurut Kombes Dedy, di dunia ini sebenarnya juga dikenal ada terorisme yang berhaluan kiri. Bukan hanya soal terorisme yang dianggap berhaluan kelompok Salafi Wahabi atau sejenisnya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru