Hakatuna.com. Surabaya. KH Prof Dr (Hc) Ma’ruf Amin mengungkapkan, bahwa, dari 23 negara yang mayoritas penduduknya muslim tidak ada yang menggunakan sistem khilafah sebagai dasar negara. Sebagian dari negara itu menggunakan sistem republik, sebagian lagi kerajaan, sebagai lagi sistem keamiran.
Demikian disampaikan Kiai Ma’ruf Amin, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di depan ribuan umat Islam yang terdiri dari warga nahdliyin dan mahasiswa UIN Sunan Ampel dalam acara ‘Mengaji untuk Indonesia’ yang digelar di depan Gedung Twin Tower UIN Sunan Ampel, Rabu (30/8) malam.
“Tidak ada sistem kenegaraan yang baku dalam Islam. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bertentangan dengan islam. Ketuhanan Yang Maha Esa, itu seirama dengan Islam yang mengesakan Tuhan. Jadi tergantung dari kemaslahatan, sistem apa yang digunakan. Indonesia, memilih sistem republik,” jelasnya.
Acara kebangsaan ini digelar dengan menghadirkan tokoh-tokoh nasional. Selain Kiai Ma’ruf, ada si celurit emas D Zawawi Imron, Rektor UIN SA Prof Dr H Abd A’la M.Ag. Sedianya ada budayawan Habib Anis Sholeh Ba’asyin, tetapi tidak datang.
Masih menurut Kiai Ma’ruf, Pancasila sebagai dasar Negara tidak bertentangan dengan Islam sama sekali. Butir-butir Pancasila justru cocok dengan substansi ajaran Islam. “Semua sejalan dengan Islam, tidak ada yang bertentangan. Butir-butir Pancasila sangan cocok dengan nilai-nilai Islam,” terangnya sambil menekankan, karena tidak ada sistem kenegaraan yang baku dalam Islam, maka, tidak ada keharusan sama sekali untuk memakai sistem khilafah.
Ketua Umum MUI ini menilai muslim dan nonmuslim harus saling bersatu dan mendukung untuk kemajuan Indonesia. Sebab, relasi mereka merupakan hubungan yang saling berjanji, saling mencintai dan menyayangi, sehingga tercipta keharmonisan dan kerukunan umat dalam satu bangsa.
Ketergantungan
Muslin dan non-muslim di Indonesia memiliki jiwa dan rasa saling menolong. “Menurut Imam Ghazali negara terbentuk karena adanya interdependensi (saling ketergantungan). Negara butuh petani, tentara, polisi dan semuanya. Karena itulah lahir negara, jadi kita perlu saling menolong dan membantu,” katanya.
Menurutnya, Indonesia beruntung memiliki Soekarno (Bung Karno) yang menggali nilai-nilai bangsa hingga lahir Pancasila. Selain Bung Karno, para ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya juga turut berjasa dalam mengawal dan menjaga kedaulatan bangsa. Sehingga Pancasila diterima dengan baik sebagai dasar negara.
“Negara di Timur Tengah hampir hancur. Indonesia dari segi kemajemukan dan potensi konflik jauh lebib besar, tapi buktinya kita bisa merawat. Karena tokoh dan ulama bisa menjaga dengan baik,” ungkapnya.
Indonesia, lanjutnya, bukan tanpa masalah. Pada era Bung Karno memimpin sebagai presiden Indonesia nyaris terjadi kekacauan. Hal itu dipicu penolakan masyarakat terhadap Bung Karno sebagai presiden, karena tidak dipilih langsung oleh rakyat.
“Bagi umat Islam, ketika presiden tidak sah, maka menteri agama dan Kepala KUA juga tidak sah, maka ketika mengawinkan perkwainannya tidak sah. Nah ini suatu kondisi yang sangat kacau,” jelasnya.
Namun, apa yang terjadi? Ulama langsung turun tangan, negara harus aman dan menganggap Bung Karno sebagai presiden yang sah. Para ulama berkumpul mencari makharij fiqhiyah. Hingga akhirnya Bung Karno diberi mandate khusus, supaya sah diberi gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah. “Disepakati Bung Karno diberi mandat supaya sah menjadi waliyul amri daruri bis syaukah,” ujarnya.
DUTA.CO