30.8 C
Jakarta

Lebih Baik Menjadi Ateis yang Berilmu daripada Menjadi Agamawan yang Bodoh

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanLebih Baik Menjadi Ateis yang Berilmu daripada Menjadi Agamawan yang Bodoh
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Beberapa hari yang lalu media sosial dihebohkan dengan berita tertangkapnya Komedian Tanah Air Coki Pardede. Dia ditangkap disebabkan mengonsumsi obat-obatan terlarang sabu-sabu. Saya tidak pengin membahas tentang hukum mengonsumsi sabu-sabu, apalagi efek yang dirasakan oleh pengonsumsinya.

Pada tulisan ini saya hanya teringat argumentasi Coki jauh sebelum tertangkap. Coki pernah menyatakan secara terbuka di pelbagai media sosial, bahwa dirinya adalah seorang ateis atau dapat dipahami secara sederhana dengan orang yang tidak percaya eksistensi Tuhan. Saya pikir tidak masalah, karena keimanan itu bukan dipaksakan dan menjadi hak pribadi masing-masing orang seperti yang disebutkan dalam surah al-Kahfi ayat 29: Siapa yang mau beriman, maka berimanlah. Sebaliknya, siap yang mau ateis, ateislah.

Sesuatu yang menarik dari keateisan Coki adalah alasan yang dikemukakannya. Coki berdalih bahwa dia menjadi ateis bukan karena dihadapkan dengan pelbagai persoalan yang membuatnya pesimis akan eksistensi Tuhan, melainkan karena belum mampu membuktikan eksistensi Tuhan secara saintifik. Saya belum paham bukti (proof) yang diinginkan oleh Coki; apakah Tuhan dapat dibuktikan secara fisik ataukah Tuhan dapat dibuktikan dengan kekuasaan-Nya?

Membuktikan eksistensi Tuhan secara fisik adalah suatu yang sangat mustahil terjadi. Sebab, eksistensi Tuhan berbeda dengan keberadaan makhluk-Nya. Eksistensi Tuhan, seperti yang dipahami oleh sekian ilmuwan, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sebaliknya, eksistensi makhluk-Nya terikat oleh dua hal itu, sehingga dapat dibuktikan secara fisik keberadaannya.

Namun, membuktikan eksistensi Tuhan dengan kekuasaan-Nya (bi qudratihi) sangat mungkin dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan dengan hukum pertolongan Tuhan (inayatullah). Hukum ini berbeda dengan hukum sebab-akibat (sunnatullah) yang terwujudnya “akibat” karena didahului oleh “sebab”. Inayatullah tidak dapat dirasionalkan, karena hukum ini hanya Tuhan yang berperan di dalamnya bukan yang selain-Nya. Semisal, musibah tertangkapnya Coki karena mengonsumsi sabu-sabu. Peristiwa ini tidak dapat dijangkau oleh akal ateis Coki sendiri dan hanya Tuhan yang berperan menggerakkan petugas kepolisian untuk membekuknya.

Saya tidak memandang Coki sebagai orang yang berdosa yang tidak memiliki kesempatan untuk bertaubat. Malahan, saya senang melihat sikap Coki yang mampu melawati perjalanan keimanan dengan menggunakan ilmu dan ini adalah perjalan yang sejati, jika meminjam bahasa Imam Al-Ghazali, “kebenaran hakiki”. Sebab, keateisan Coki bukanlah jalan terakhir. Itu adalah tangga sebelum mencapai keimanan yang sebenarnya, yaitu monoteis (percaya terhadap keesaan Tuhan).

Mengimani Tuhan dengan ilmu seperti yang dilakukan oleh Coki adalah perbuatan yang terpuji dibandingkan beberapa kelompok yang beriman kepada Tuhan dengan taklid buta (tanpa bekal pengetahuan). Beriman kepada Tuhan dengan taklid buta sungguh sangat membahayakan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Buktinya, klaim keimanan kelompok radikalis yang merasa paling muslim dan gemar mengkafirkan yang lain, meski yang dikafirkan jelas-jelas orang Islam.

BACA JUGA  Shalat Tarawih dan Hikmah yang Tersirat di Dalamnya

Keimanan kelompok radikalis sejatinya keropos alias tidak memiliki nilai atau value sedikitpun. Keyakinan mereka jelas membakar keimanan mereka sendiri, bahkan merugikan orang lain dengan perbuatan-perbuatan picik yang mereka lakukan. Sebut saja, pengeboman, bom bunuh diri, dan ujaran kebencian. Perbuatan picik ini jelas melanggar ajaran-ajaran Islam yang memerintahkan pemeluknya untuk bersatu di tengah perbedaan sebagaimana disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 103: Berpegang teguhlah kepada agama Allah dan jangan bercerai-berai.

Sampai detik ini saya mencoba mengamati komentar di media sosial terkait kasus Coki tadi hampir tidak ada yang berpandangan negatif atas sikap yang ia jalani. Karena, semua orang, termasuk masyarakat Indonesia mengerti bahwa perjalanan Coki merupakan perjalanan yang terpuji untuk mencapai keimanan sejati. Tentu, untuk mencapai titik itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Di situ pasti ada proses panjang yang dilewati dengan mempertemukan dua hal yang berseberangan: iman dan sains.

Jauh sebelum Coki sebenarnya sudah banyak ilmuwan yang memilih ateis, tapi mereka memiliki kontribusi yang besar terhadap peradaban dunia, sehingga nama mereka tetap dikenang sampai sekarang. Ilmuwan ateis yang saya maksud meliputi fisikawan Stephen Hawking yang menyatakan keateisannya lewat buku The Grand Design; bapak psikiatri modern Sigmund Freud yang dengn tegas tidak percaya terhadap apa yang tidak biasa diamati, termasuk dewa dan kehidupan setelah mati; dan bapak lampu pijar modern Thomas Alva Edison yang pernah berkata, “Sejauh hal itu menyangkut agama, maka itu palsu. Semua agama adalah omong kosong”.

Sebagai penutup, lebih baik menjadi ateis yang berilmu daripada menjadi agamawan yang bodoh. Ateis yang berilmu memiliki kontribusi yang besar dalam peradaban dunia dan hal ini persis seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi: Khair an-nas anfa’uhum li an-nas. Maksudnya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Perjalanan keagamaan Coki yang dilalui dari sikap ateis sangat bermanfaat untuk diapresiasi dibandingkan perbuatan kelompok agama yang bodoh dan gemar melakukan kerusakan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru