32 C
Jakarta

Kritis Nalar Dua Kalimat Syahadat dalam Memaknai Hijrah

Artikel Trending

KhazanahOpiniKritis Nalar Dua Kalimat Syahadat dalam Memaknai Hijrah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dewasa ini, kita sering menjumpai berbagai kajian keislaman di suatu tempat, baik diadakan oleh organisasi masyarakat, acara keluarga, ataupun di beberapa khotbah. Kajian-kajian keislaman dewasa kini, lazimnya menjadikan hijrah sebagai topik utama dengan sasaran para generasi baru Muslim.

Mereka adalah pemuda-pemudi Islam yang masih bimbang atas keislamannya, artinya masih belum mengetahui secara subtansi perihal keislaman. Sehingga, mereka yang bersemangat untuk memahami Islam, ikut serta sebagai pendengar dan pancari ilmu dengan berbagai alasan dan tujuan.

Dalam hal ini, sering kita jumpai kajian-kajian yang bertema hijrah menyebarkan konsep keislaman sesuai dengan pemahamannya. Kajian keislaman yang bertema hijrah merupakan fenomena yang masih hits sekarang, khususnya untuk para millenial. Adapun esensi dari tema hijrah yang sering eksis ialah perihal anjuran untuk berpindah menuju kepada hal-hal yang dianggap baik oleh Islam. Perpindahan disini artinya merubah ucapan, sikap, dan perbuatan kepada yang lebih baik. Sehingga, menurut gerakan ini, jika hal tersebut sudah teraplikasi maka mereka sudah hijrah.

Hijrah yang sering menjadi topik kajian keislaman dewasa ini memfokuskan pada perihal amaliyah dalam bermasyarakat sebagai individu yang beragama. Hal ini tidak terlepas dari visinya yakni membentuk Muslim yang bermanfaat untuk orang lain dengan memaknainya sebagai aplikasi dari anfa’uhum linnas.

Secara mengkhusus, pembentukan Muslim seperti ini berlatarbelakang pada taklid semata. Hal tersebut terdeteksi dari kurang berfikirnya seorang Muslim untuk sadar posisinya sebagai Islam, artinya sebagai makhluk yang tunduk kepada Pencipta. Sehingga, ada perkara pokok yang dikesampingkan dalam pemaknaan hijrah di era millenial kini, yakni terkait keimanan dalam dua kalimat syahadat.

Dalam Islam, perihal keimanan sangatlah diprioritaskan, artinya Islam mendudukan posisi tauhid sebagai suatu kewajiban pokok untuk dipelajari seorang Muslim. Sehingga, ketika pemaknaan hijrah dalam kajian-kajian keislaman lebih memprioritaskan pada objek kebermanfaatan seorang Muslim tanpa memasukan pembelajaran ketauhidan di dalamnya, maka berdampak pada ketidakpahaman akan tujuan kebaikan yakni menuju pada sang Khalik. Pemahaman terkait ini merupakan gambaran dari makna dua kalimat syahadat, yang di dalamnya sarat akan kesakralan penyaksian normatif dan historis antara hamba dan Tuhan.

Pemaknaan terhadap dua kalimat syahadat akan berdampak baik pada pemahaman seorang Muslim, artinya memberikan gambaran Islam sebagai agama yang membawa ajaran kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang. Hal tersebut tidak terlepas dari esensinya yang tercakup dalam rukun Islam. Lebih mendalam lagi yakni perihal keimanan yang terdapat dalam rukun Iman.

Eksistensi rukun Islam dan rukun Iman merupakan sarana bagi umat Islam untuk memahami karakter Islam dan menyebarkan apa yang dituju oleh Islam dengan ajarannya, sehingga berkontribusi terhadap pembentukan generasi Muslim yang memahami Islam secara mendalam, artinya memiliki argumen atau prinsip dalam beragama.

Banyak perkara yang hadir di dalam kehidupan seorang Muslim sebagai individu dalam masyarakat disebabkan oleh kegagalpahaman dalam memahami sesuatu. Hal ini terjadi sebagai dampak dari kematian pikir generasi baru yang tidak difungsikan secara maksimal. Sehingga, berpengaruh terhadap cara hidup di dalam bermasyarakat baik dari sikap, ucapan, dan perbuatan.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran beragama dengan memaksimalkan peran akal untuk berfikir menyelaraskan dengan perihal keislaman, artinya menerapkan karakter Islam dalam diri dan menyebarkannya dengan tujuan memahamkan Islam untuk para generasi Muslim di era disrupsi kini.

Dua kalimat syahadat merupakan gerbang keislaman, artinya di dalamnya berisi perihal terkait ketauhidan dan kenabian beserta normativitas dan historisitasnya. Bukan itu saja, eksistensinya dijadikan sebagai alat untuk memasuki Islam bagi siapapun yang ingin memeluknya.

Hal tersebut menjadi bukti perlunya memahami makna dua kalimat syahadat dalam berkehidupan, artinya perlu ditekankan kembali pemaknaan dua kalimat syahadat di dalam kajian keislaman manapun. Sehingga, dari upaya ini akan berimplikasi pada pengetahuan, pemahaman, dan berimbas pada cara pandang terhadap sesuatu.

Namun, dalam realitasnya pemaknaan hijrah sekarang ini tidak menyentuh sedikitpun perihal dua kalimat syahadat atau ketauhidan, melainkan kepada perihal amaliyah semata dengan tujuan kebermanfaatan. Meskipun kemungkinan tidak ada sedikitpun sisi negatif di dalamnya, akan tetapi hal tersebut akan berpengaruh pada cara pandang seseorang, khususnya pendengarnya.

Sehingga, akan mencetak generasi yang ‘ngeyel’ dalam ketauhidan dan menganggap bahwa tauhid itu urusan hamba dengan Tuhan, tidak seperti akhlak.  Dari sinilah, posisi tauhid dalam pemahaman generasi muda Islam dikesampingkan dengan berbagai alasan.

Pemaknaan hijrah yang memprioritaskan perihal amaliyyah tanpa memasukan pentingnya belajar tauhid sebagai landasan pokok berperilaku dan menjadikan sesuatu sebagai tujuan, memberikan dampak yang cukup kuat akan pemahaman generasi Islam sekarang bahwa yang terpenting dalam Islam itu amaliyyah tanpa perlu memahami ketauhidan.

Sehingga, dari pemahaman yang seperti demikian, pemaknaan terhadap hijrah seperti tidak memiliki relevansi sama sekali dengan ketauhidan, dan berdampak pada pemahaman bahwa tidak perlu memahami tauhid untuk mengamalkan kebaikan.

Secara logis, hijrah tanpa memahami makna dua kalimat syahadat samahalnya dengan memperbaiki diri tanpa pengenalan terhadap Pencipta. Sedangkan, pemahaman dalam perihal ketauhidan menjadi wajib bagi siapapun yang sudah berakal dan terkena beban, artinya wajib pokok.

Jika fenomena hijrah yang sedang naik daun sekarang ini tidak memberikan tekanan terhadap pemahaman atas ketauhidan, maka berdampak pada terbentuknya Muslim yang tidak mengenali tuhannya dan tidak menjadikan Tuhan sebagai tujuan ataupun dasar dalam melakukan sesuatu. Sehingga, membentuk pribadi Muslim yang tidak memahami posisi tauhid yang begitu penting dalam Islam sekaligus isinya yang membutuhkan pemikiran dan penyelarasan terhadap teks agama.

Adapun dampak negatif dari kurangnya kesadaran akan eksistensi tauhid dalam Islam yakni, tidak mengenali tujuan atau dasar dari melakukan kebaikan juga tidak memiliki pedoman logis dalam pemaknaan keislaman.

Sehingga, sangat perlu diperbaiki kembali kajian-kajian keislaman untuk menekankan atau minimal memberikan kesadaran beragama dengan memahamkan pentingnya keilmuan tauhid di dalam Islam, khususnya pada topik hijrah, artinya memberikan relevansi yang kuat atas pemaknaan hijrah yang tidak bisa terlepas dari dua kalimat syahadat.

 

Khusnun Niam, Mahasiswa Konsentrasi Filsafat Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumni IAIN Pekalongan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru