30.8 C
Jakarta

Kontra-Ekstremisme: Menyeimbangkan Ilmu dan Spirit Beragama

Artikel Trending

Milenial IslamKontra-Ekstremisme: Menyeimbangkan Ilmu dan Spirit Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di tengah-tengah berkembangnya berbagai isu di tanah air, mulai dari isu politik, agama, sosial-budaya, hingga kemanusiaan, ada satu hal menarik yang masih seru untuk kita perbincangkan: pola keberagamaan masyarakat yang cenderung ke arah konservatisme. Tentu saja ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Hanya saja, saat ini pola keagamaan yang seperti ini masif ditampakkan ke media seperti bisul di pundak dan semakin membengkak.

Munculnya konservatisme keagamaan tidak lepas dari beberapa hal. Munculnya berbagai paham keagamaan eksklusif merupakan faktor dominan. Era Reformasi adalah awal bagi paham-paham keagamaan itu mulai masuk dan berkembang di Indonesia. Saat ini, melalui media sosial, paham-paham keberagamaan yang demikian makin menemukan ruang gerak yang sempurna untuk melebarkan sayap. Banyak yang tertarik untuk ikut nyemplung ke dalamnya.

Hijrah, misalnya. Merebaknya fenomena hijrah juga bukti konservatisme agama, terutama di kalangan anak muda. Hijrah menjadi tren yang praktis bagi anak muda zaman sekarang untuk menempuh jalan suci keridaan Tuhan. Melalui bimbingan ustaz, entah dengan ikut pengajian-pengajiannya secara langsung atau sekadar lewat media sosial, mereka begitu semangat menjalaninya. Semakin religius. Spiritnya memuncak.

Perilaku kegamaannya menggebu-gebu, namun tanpa dilandasi penguasaan pengetahuan agama yang luas. Tendensi cakrawala pengetahuan mereka biasanya hanya pada yang sifatnya furu’iyah serta terpaku pada satu-dua dalil yang dianggapnya sudah mewakili dari satu laku kegamaan. Fanatisme terhadap satu tokoh agama juga menjadi pemicu sempitnya keilmuan mereka sehingga mereka menganggap hanya seorang ustaz itulah yang dapat dijadikan pedoman.

Berkat smartphone, spirit beragama tanpa ilmu tersebut semakin menjadi-jadi. Ujung-ujungnya menyalahkan orang lain yang beda pemahaman, lebih parah lagi sampai mengecap sesat bahkan kafir kepada sesama Muslim. Di sinilah juga salah satu benih radikalisme muncul. Banyak kasus yang sudah terjadi membuktikan bahwa hanya dengan menonton YouTube, seseorang bisa muncul sebagai teroris yang mencelakakan banyak orang bahkan saudara sesama Muslim sendiri.

Gairah Keberagamaan di Media Sosial

Di media sosial, bukan hanya sekelompok orang dari kalangan tertentu saja yang tampil sebagai pendakwah yang menularkan pemahamannya kepada orang banyak. Di sinilah perang ideologi dalam media sosial terjadi. Yang satu menyerang kelompok lain, dibalas, diserang kelompok lainnya lagi, ditahan, dan seterusnya begitu.

Tentu dalam beberapa kelompok itu ada yang menghadapinya tetap menggunakan cara-cara yang santun dan bijak, dengan tetap berpedoman kepada asas ukhuwah islamiyah. Biar bagaimana pun, sesama Muslim itu bersaudara. Perbedaan pandangan dan pendapat merupakan sebuah rahmat, keniscayaan, dan sudah menjadi hal biasa.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Muncul kemudian berbagai macam ustaz dari aliran keberagamaan tertentu dengan karakteristiknya masing-masing. Sebagian ada yang memang mumpuni keilmuannya, tapi pemikiran-pemikirannya kontradiktif dengan prinsip nasionalisme. Ada lagi misal yang dari kapasitas keilmuan memang tidak memadai, sanad keilmuannya pun tidak jelas. Tapi karena pandai bicara dan lihai dalam mengkontekskan sesuatu kepada isu-isu kekinian melalui bungkus agama, ia terkenal dan punya banyak pengikut.

Di satu sisi spirit beragama menggebu-gebu, tapi tidak diimbangi dengan semangat keilmuan yang mapan. Tentu saja belajar melalui medsos bukannya tidak boleh, hanya saja jika porsinya tidak tepat bisa membuat fatal diri kita sendiri, terlebih jika nanti merambat kepada orang lain. Belajar dari guru yang sanad keilmuannya jelas itu penting. Tidak cukup hanya sekadar lewat YouTube. Pengetahuan tanpa kontak langsung dengan guru seperti YouTube, sanad keilmuannya tidak bersambung.

Mengimbangkan Ilmu dan Spirit Beragama

Kita bisa menggali spirit keilmuan kepada santri-santri zaman dulu. Melalui semangat keilmuan yang tinggi, mereka rela menempuh perjalanan bahkan dengan berjalan kaki hingga ribuan kilometer hanya untuk menemui seorang guru, menimba ilmu darinya. Keterbatasan sarana di zaman itu tidak menjadikan penghalang bagi mereka, sebab itu adalah rangkaian prasyarat menuntut ilmu. Tidak heran bila dalam sebuah hadis―meski sebagian mengatakan daif―Nabi sampai berkata: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”

Ibrah yang bisa diambil dari hadis tersebut adalah urgensi semangat keilmuan dalam diri seseorang. Betapa pun ilmu itu susah didapat, meski harus menempuh ribuan kilo perjalanan, menyebrangi lautan, ia tetap harus dicari. Maka tidak ada alasan bagi kita yang hidup di zaman ini dengan segala akses kemudahannya untuk bermalas-malasan, atau justru malah makin mencari kemudahan di tengah kemudahan.

Selain tak lepas dari laku keagamaan yang kental, santri-santri zaman dulu juga rajin muthala’ah. Mempelajari dan mengkaji ulang segala yang didapat dari seorang guru atau kiai. Mereka mengamalkan ilmu dan ajaran-ajaran moral yang diterima dari kiai sebagai implementasi dari proses intelektualnya. Tidak hanya mentok di penguasaan teori saja. Artinya, antara spiritualitas dan intelektualitas harus balance dan berdampingan.

Pengamalan laku keagamaan bila tidak diimbangi dengan semangat keilmuan akan menjadikan seseorang menjadi konservatif dan cenderung menyalahkan orang lain yang tidak sepaham, bahkan terjerumus ekstremisme. Mengandalkan media sosial sebagai sarana satu-satunya menggali ilmu pengetahuan merupakan kesalahan besar. Ia, di kemudian hari, bisa jadi blunder, tidak hanya ekstremisme, tetapi bahkan menjelma jadi terorisme. Menyelamatkan diri adalah wajib hukumnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru