30.2 C
Jakarta

Ketika Semuanya Dihukumi Atas Nama Agama

Artikel Trending

KhazanahTelaahKetika Semuanya Dihukumi Atas Nama Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Beberapa waktu belakangan ini, media sosial ramai dengan pelbagai narasi negatif, seperti caci maki, saling menjatuhkan satu sama lain, hingga narasi kebencian yang bertebaran di media sosial.

Kita masih ingat tentang pernyataan Gus Yaqut beberapa waktu lalu, yang menimbulkan banyak sekali respon negatif dari sekelompok masyarakat. Surat edaran yang diterbitkan dengan tujuan sangat mulia, untuk menciptakan kerukunan umat beragama, berujung pada narasi kebencian yang disampaikan oleh pelbagai pihak.

Netizen yang berkomentar di media sosial, khususnya di twitter, ramai sekali dengan caci maki, komentar-komentar tersebut sangat tidak pantas didengar jika diucapkan secara langsung.

Laporan demi laporan kepada pihak kepolisian untuk mengusut kasus Gus Yaqut atas penistaan agama terus berlangsung.  Terbaru, PA 212 yang diwakili oleh Novel Bamukmin melaporkan Menag atas dugaan penistaan agama.

Menurut Novel Bamukmin, penista agama wajib dihukum mati sebab hal itu adalah urusan haknya Allah. “Ini urusan hak nya Allah. Penista agama siapapun, mau mualaf, mau murtad, tidak ada tebusannya kecuali hukuman mati, takbir, takbir!” Dia menegaskan jika laporannya tak diterima maka akan melakukan aksi demo ke Mabes Polri.

“Kalau laporan tidak diterima kita akan demo lagi, kalau perlu Mabes Polri kita demo. Kita akan minta aturan azan juga dicabut, menteri agamanya diturunin,” Ucap Novel dengan suara lantang.

Dengan sikap tersebut, dapat dipahami bahwa pelaporan yang diajukan oleh Novel Bamukmin tidak lebih dari sekadar mencuri perhatian masyarakat muslim, menggiring opini untuk memecah belah bangsa. Apalagi, kejadian serupa yang pernah ditorehkan oleh kelompok pembela Islam ini, adalah kasus Ahok yang masih membekas. Mereka merasa memiliki prestasi besar atas dilengserkannya Ahok dengan kasus penistaan agama, padahal aksi tersebut tidak lain adalah politisasi agama.

Pertanyaannya adalah, mengapa kelompok ini gencar sekali berkomentar ketika ada kasus yang erat hubungannya dengan agama? Mengapa agama dijadikan alat untuk membuat eksistensinya semakin naik di hadapan masyarakat? Benarkah mereka bersuara atas nama Islam?

Media sosial, media baru mencaci maki

Media sosial menjadi media baru yang digunakan oleh masyarakat kita pada hari ini. Uniknya, keberadaan media sosial merupakan media untuk berkomunikasi secara aktif untuk memberikan informasi. Jika dibandingkan dengan masa sebelum adanya media sosial, semua informasi terpusat pada televisi, koran, dan sejenisnya. Informasi tersebut tidak memungkinkan para pembaca untuk memberikan komentar secara langsung dengan respon yang cepat.

BACA JUGA  Paradoks Toleransi: Kita Tidak Boleh Toleran Terhadap HTI, Perusak NKRI

Kekurangan itu yang dilengkapi oleh media sosial. Segala informasi yang datang dan diterima, bisa kita komentari dan mendapat tanggapan atas komentar yang ada. Maka tidak heran, komentar yang bernuansa narasi kebencian, caci maki yang timbul dari sebuah informasi tercipta sebuah interaksi tidak sehat, sebab semuanya saling melempar argumen pembenaran, apalagi berdalih atas nama agama. Akibatnya berujung pada perpecahan dan merusak marwah bangsa.

Diantara problem tersebut, perang narasi di media sosial terus berlanjut. Kita tidak bisa mendeteksi setiap akun media sosial yang ikut meramaikan komentar negatif atas kasus di atas. Bisa jadi, yang berkomentar hanyalah sebuah fake account yang digerakkan oleh seseorang tanpa bis akita ketahui jejaknya. Artinya, kita tidak benar-benar bisa mendeteksi secara jelas dengan siapa kita berinteraksi. Dengan demikian, semakin blunder sebuah permasalahan yang terjadi.

Bangun kepercayaan publik dengan narasi positif

Berdasarkan fenomena di atas, menjadi sebuah pertanyaan, mengapa orang-orang gampang menghukumi sesuatu hal? Padahal, belajar agama bukan kemudian untuk mengambil otoritas Tuhan. Di samping itu, perlunya ditelaah lebih jauh bagaimana sebenarnya kalimat yang disampaikan oleh Gus Yaqut dalam menyampaikan penjelasan, sehingga tidak disalahpahami.

Namun, karena sudah banyak narasi yang mewakili atas dugaan penistaan agama dari beberapa pihak, sehingga semuanya terkecoh dan ikut menyuarakan berkomentar negatif atas Gus Yaqut. Sehingga melalui pembelaan jenis apapun, belum bisa mewakili suara bahwa apa yang disampaikan oleh Gus Yaqut bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memperbanyak narasi positif yang bisa dikonsumsi oleh publik tentang pentingnya surat edaran tersebut untuk diterapkan di tengah-tengah keberagaman masyarakat kita. Dengan demikian, upaya tersebut menjadi salah satu kontribusi yang bisa dilakukan untuk melanjutkan gerakan di media, membangun kepercayaan publik.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru