Masa kecil saya penuh kenangan dengan almarhum sang guru. Di antara kenangan tersebut adalah terkait dengan tradisi para petani di desa.
Sebagai pengantar, sang guru adalah sesepuh di kampung itu. Beliau terlibat membina dan menyantrikan masyarakat setelah sebelumnya beliau menolak untuk menjadi PNS supaya dapat fokus membina masyarakat.
Saat pertama masuk di kampung itu, ada tokoh masyarakat yang mengujinya. Sang guru diajak pencak oleh pendekar di situ. Mampu mengalahkan sang pendekar, sang guru semakin dipercaya sebagai kiai kampung untuk memimpin sholat lima waktu dan tarawih di masjid yang dibangun berdampingan dengan rumahnya, menjadi imam tahlilan dan kondangan, juga mengaji kitab kuning, serta mengajarkan al-Quran bagi penduduk yang masih abangan.
Tidak hanya melakukan rutinitas di atas, beliau juga diminta membuat rajah-rajah untuk beberapa keperluan penduduk (maaf ya jangan tergesa mensyirikkan rajah kayak Mahrus Ali dengan buku yang berjudul “Mantan Kiai Membongkar Praktek Syirik, Kiai, Habib, dan Gus Ahli Bid’ah. Buku setebal 448 ini tidak mempunyai basis epistemologi hukum Islam yang kuat, dan logikanya rapuh). Di antara yang saya ingat biasanya pada Rabu Wekasan (tidak perlu menggubris buku Mahrus Ali “Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual Ritual Kiai Ahli Bid’ah yang Dianggap Sunnah”. Buku setebal 732 ini tidak punya landasan kuat dari sisi epistemologi hukum Islam dan logika), sang guru membuat rajah yang kemudian dimasukkan ke dalam sumur. Pada paginya masyarakat datang untuk mengambil air dari sumur tersebut untuk berbagai keperluan secara gratis.
Selain masalah rajah, yang saya ingat, beliau juga sering diminta berdoa di sawah oleh para petani yang hendak memanen padinya. Biasanya petani itu akan menyediakan wadah kecil dari daun pisang yang disebut takir sebanyak empat buah, beserta satu ikat daun padi kering yang di dalamnya berisi menyan.
Empat takir itu diisi dengan berbagai bunga dan satu di antara empat takir tersebut diberi telur kampung. Ubo rampe di atas disebut cok bakal. Setelah itu saya diajak sang guru ke sawah yang dituju, dan saya disuruh meletakkan empat takir itu di tiap pojok sawah.
Kemudian sang guru membakar daun padi kering yang ada menyannya, lalu berdoa. Selesai berdoa, saya mengambil telur dengan penuh rasa senang (maklum telur cukup berharga saat itu) sambil mengucapkan kata-kata ajaran sang guru yang saya tidak tahu artinya yakni, “gaok, gaok, gaok”. Mungkin karena tradisi itu disebut gaokan, maka secara simpel saat saya (usiaku 10-an tahun) bertanya doa apa yang diucapkan? Sang guru bilang, “Ucap bismillah gaok gaok gaok.” Selesai gaokan, biasanya bagi petani yang sawahnya luas akan membawa nasi plus ingkung ayam dan dimakan bersama-sama di tengah sawah.
Namun lama-lama tradisi gaokan dan kondangan di sawah ini tidak ada lagi. Entah sengaja ditinggalkan masyarakat, atau sangat mungkin sang guru memberi penjelasan ke masyarakat secara halus untuk menggeser kondangan ke masjid, yang pasti adalah kegiatan kondangan menjadi sering dilakukan di masjid saat hari besar Islam.
Mungkin ada yang berkata bahwa perbuatan sang guru adalah syirik karena memberi makan kepada jin. Tidak hanya itu, hal tersebut juga mubazir karena membuang bunga.
Tentu itu tuduhan berat. Sang guru yang usianya 80 tahun lebih (wafat Desember 2010), beliau mengabdikan diri ke masyarakat sampai akhir hayatnya, serta wafat dalam kondisi tidak didahului sakit, yakni waktu subuh saat mau dibangunkan sang isteri, ternyata beliau sudah wafat; selanjutnya beliau dituduh berbuat syirik, yang si penuduh tidak tahu niat sang guru saat melakukan tradisi gaokan di atas. Apakah ukuran syirik bisa dilihat dari perilaku seperti itu? Apa dalilnya? Lalu apa pula konsep syirik? Saya yakin penuduh tidak akan bisa menjawab secara sistematis dan jami’-mani’ (excluded-included).
Selanjutnya masalah memberi makan jin. Apakah si penuduh tahu kalau sang guru berniat memberi makan jin? Oke semisal kalau betul berniat memberi makan jin, apakah dilarang alias haram? Lha memberi makan kepada semua makhluk baik tumbuhan, hewan, hingga manusia, bahkan manusia yang kafir saja boleh saja kok, kenapa kepada jin tidak boleh? Apalagi kalau mengkaji literatur hadis (bukan kitab mujarrobat), sependek pengetahuan saya, bunga dan menyan tidak termasuk makanan jin (untuk menyan justeru dalam riwayat dijelaskan bau asapnya disukai Nabi). Nampaknya di nusantara ini yang mempercayai bunga dan menyan sebagai makanan jin. Dan sangat mungkin jin di nusantara hobi makanannya kembang dan menyan. Kok beda makanannya? Makanan pokok manusia juga berbeda antara negara satu dengan lainnya.
Masalah mubadzir; bisa jadi perilaku keseharian kita yang justeru banyak terindikasi mubazir? Entah makan minum tidak habis lalu terbuang, barang-barang bekas yang dibiarkan di gudang hingga rusak berkarat tanpa disedekahkan ke pemulung, baju yang bertumpuk di lemari tak bermanfaat, dan lain lain. Tentu sangat banyak. Terlebih lagi, takir dan bunga akan berproses menjadi pupuk kompos yang nantinya turut berkontribusi menyuburkan tanah. Terlebih si penuduh belum tahu niat sang guru terkait dengan bunga tersebut. Dengan demikian, menilai mubazir adalah ketergesaan dan tidak diucapkan kecuali para wahabi yang fanatik.
Tuduhan yang macam macam tadi kemungkinan si penuduh tidak paham dimensi lain yang itu dipahami dan dilakukan oleh sang guru. Suatu tradisi tidak hanya bernilai simbolik, tapi juga mempunyai makna materialisasi doa, atau juga mengandung dimensi lain terkait dengan Tuhan dan keseimbangan alam yang saat ini terekploitasi sedemikian rupa. Alam bukan dianggap sebagai makhluk yang “hidup”.
Pesan moral dari kisah di atas:
- Saya tidak bermaksud mempromosikan tradisi di atas untuk dihidupkan, urusan promosi di pihak berwenang. Tapi jangan juga memusuhinya, apalagi gampang memberi stempel syirik.
- Cara kiai kampung untuk menjadikan masjid ramai dikunjungi salah satunya adalah dengan iming-iming kondangan yang dulunya dilakukan di sawah. Pergeseran kondangan dari sawah ke masjid ini tidak dilakukan secara frontal, tapi bertahap dan tidak melukai tradisi masyarakat.
- Marilah bersikap arif dengan tidak gampang membenci dan menuduh kiai kampung. Kita ini dulu belajar agamanya kalau diurut ke atas, jatuhnya ya ke kiai kampung. Maka janganlah bersikap sok dengan merasa alim dan merasa berjuang untuk Islam dengan menyalah-nyalahkan pihak lain. Para ustadz yang usia dakwahnya baru seumur jagung berusahalah untuk bijak. Bandingkan dengan kiai kampung yang usia dakwahnya ratusan kali usia jagung ditanam dan dipetik, mereka istiqomah menjadi guru masyarakat dan tidak mencela masyarakat abangan, tapi mendekati mereka.
- Jangan punya pikiran bahwa dekat dengan jin adalah bisa terjerumus. Itu adalah pikiran kerdil, dekat dengan manusia juga bisa terjerumus dalam keburukan, keradikalan, dan bahkan kekufuran.
*Ainur Rofiq Al Amin, Pengasuh Padepokan Al Hadi 2 Bahrul Ulum Tambakberas