31.9 C
Jakarta

Kemerdekaan: Berkat Rahmat Allah yang Wajib Disyukuri

Artikel Trending

KhazanahOpiniKemerdekaan: Berkat Rahmat Allah yang Wajib Disyukuri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu kalimat yang terkenal, bahkan dihafal hampir semua orang Indonesia adalah kalimat: “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Kalimat itu menjadi paragraf ketiga Pembukaan UUD 1945 yang dibaca di hampir setiap upacara, dari upacara hari Senin di sekolah, SD-SMA, hingga upacara kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Artinya, Indonesia baru saja menggelarnya untuk HUT ke-78, dua pekan lalu.

Namun, kalimat itu agaknya tidak menjadi kesadaran sosial yang dipahami olah akal dan dihayati oleh hati dengan baik. Hal ini karena yang mengemuka dan ada dalam alam kesadaran masyarakat Indonesia, kemerdekaan sebagai hasil usaha manusia. Apalagi, buku-buku sejarah mainstream tak memasukkan juga unsur Tuhan di dalamnya, karena epistemologinya yang berbasis rasionalisme dan empirisisme yang sekular semata.

Berkat Rahmat Allah       

Boleh jadi, kalimat terkenal dalam Pembukaan UUD 1945 di atas hanya karena tuntutan etika kepada Tuhan, bahwa kemerdekaan RI riilnya adalah hasil usaha manusia dan kuasa manusia dengan usahanya itu terjadi karena adanya kuasa Tuhan. Jadi, secara tidak langsung sebagai kuasa atau rahmat Tuhan lewat makhluk ciptaan-Nya, yang tanpa itu, kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 tak bisa menjadi takdir bangsa Indonesia.

Namun, alasan etis itu agaknya bukan yang utama, mengingat banyak tokoh agama dan tokoh nasionalis berintegritas dan saleh seperti Hatta dalam tim perumusnya. Keterangan “Atas berkat Rahmat Allah” agaknya ditulis dengan penuh kesadaran akal dan hati para perumusnya, bahwa kemerdekaan Indonesia lebih sebagai Rahmat Allah, ketimbang usaha manusia.

Jika melihat kenyataan sejarah, pernyataan itu, hemat penulis,  bisa dipertanggungjawabkan. Proklamasi kemerdekaan tahun 1945 memang ada usaha manusia, yaitu antara lain para pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta agar segera memproklamirkan Indonesia, tanpa harus menunggu izin dari Jepang yang kalah perang.

Apalagi Soekarno kala itu berkolaborasi dengan Jepang, karena militerisme yang menakutkannya yang berbeda dengan Belanda demi kemaslahatan bangsanya.  Maka, proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 pun terjadi.

Namun, kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II tahun 1945 oleh Sekutu di bawah AS, kekuatan luar, bukan oleh kekuatan internal masyarakat dan elite Indonesia. Salah satunya karena AS berhasil membuat senjata bertenaga atom/uranium/nuklir pertama oleh tim yang dipimpin oleh Oppenheimer yang filmnya di sebagian bioskop masih diputar hingga kini.

Bom itu pun disesali oleh konsultan timnya, Einstein, karena telah membunuh 140.000 jiwa dari populasi 350.000 orang di Hiroshima, dan 74.000 orang di Nagasaki, Jepang. Katanya, jika ia tahu Jerman dengan NAZI-nya yang mengerikan gagal dalam upaya membuat bom atom, ia tak akan membantu membuatkannya. Ada campur tangan Tuhan dalam hal ini, yaitu ditakdirkannya bom atom berhasil diciptakan oleh AS. Jepang pun kalah oleh kekuatan luar, bukan oleh kekuatan bangsa Indonesia.

Demikian juga dengan upaya mempertahankan kemerdekaan pasca 1945 hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, 27 Desember 1949, hasil Konferensi Meja Bundar.

Betul, di dalamnya ada upaya Hatta yang memimpin di KMB. Juga Sjahrir yang dipercaya Belanda, karena tidak berkolaborasi dengan Jepang. Lewat perjuangan damainya melalui antara lain Perjanjian Linggarjati, Indonesia berhasil mendapat pengakuan keberadaannya secara de facto oleh Sekutu, meski hanya di wilayah Sumatra dan Jawa.

Tentu saja, juga karena ada Serangan Umum 1 Maret 1949 di bawah Soeharto yang membuat TNI menguasai banyak daerah di Yogyakarta, setelah sebelumnya dilakukan upaya mempertahankan kemerdekaan lewat serangan grilya yang sporadis di berbagai tempat. Serangan 1 Maret punya efek politis yang tinggi, karena membukakan mata Dunia atas kebohongan propaganda Belanda bahwa kekuatan RI sudah tidak ada lagi.

Namun, perjanjian KMB itu terjadi, terutama karena desakan Dewan Keamanan PBB, khususnya AS. AS yang liberal/humanis senang dengan Indonesia yang berhasil menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan juga karena motif humanisme dan liberalismenya, dimana Indonesia berhak menentukan nasib dirinya sendiri.

Kala itu, atas permintaan Kongresnya, AS menekan Belanda akan menghentikan bantuan ekonominya ke Belanda yang hancur akibat perang, jika tidak melakukan gencatan senjata dengan Indonesia dan membebaskan pimpinan RI yang ditahannya. Demikian juga dengan pembebasan Irian Barat 1963, dimana itu terjadi karena terutama desakan AS.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Jika Belanda terus berkonflik dengan Indonesia akan memicu pecahnya konflik yang lebih berat antara Blok Barat yang liberal dan Blok Timur yang komunis. Dalam hal ini jelas ada kekuatan luar yang menentukan, bukan kekuatan sendiri.

Yang paling tampak tentu saja adalah adanya konsepsi perang sabil, baik dalam merebut kemerdekaan sejak masa kesultanan, maupun saat revolusi pasca kemerdekaan 1945. Perang sabil pertama digaungkan dalam Perang di Banten awal abad ke-18 oleh Syeikh Yusuf al-Makassari dan digunakan kembali oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).

Perang sabil adalah perang suci yang diperintahkan agama, dimana mempertahankan tanah air adalah kewajiban agama, dan jika mati pahalanya surga. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, sebutan perang sabil memang dilarang oleh Pemerintah Pusat.

Namun, sebagaimana disebut Kevin W. Fogg, perang grilya di berbagai tempat disebut perang sabil oleh kalangan akar rumput. Bahkan, perang  itu menggunakan magis Islam. Para tentara masyarakat akar rumput Muslim diharuskan melakukan salat, berdoa, wirid, berpuasa dan menggunakan wafak (jimat) dalam berabagai peperangannya, meski Masyumi di pusat memandangnya itu bid’ah.

Resolusi Jihad NU dan slogan “Merdeka atau Mati” yang sebanding dengan slogan Perang Badar yang terkenal memperlihatkan hal itu. Wajar, jika perang itu dimenangkan umat Islam.

Padahal, secara kasat mata tak mungkin senjata bambu runcing bisa mengalahkan persenjataan modern Belanda yang membuat Islam Indonesia dijajah lama oleh Belanda. Tentu saja, bantuan Jepang yang menyerahkan persenjataan modernnya kepada umat Islam juga cukup membantu.

Harus Disyukuri    

Karenanya, kemerdekaan RI yang ke-78 saat ini harus disyukuri. Bukan saja harus diterima dengan hati yang senang, tetapi juga harus diisi dengan berbagai tindakan memakmurkan tanah air dengan bekerja keras dan pengusaan sains.

Bukan sebaliknya, dengan hanya beribadah murni sekalipun, sebagaimana kritik AA. Navis dalam cerpennya, Robohnya Surau Kami. Cerpen ini mengisahkan masuk nerakanya orang-orang Indonesia yang taat beribadah, bahkan ada yang sudah naik haji belasan kali dan ada yang bergelar syekh.

Sebagian mereka bahkan bukan saja pandai membaca Al-Qur’an melainkan juga hafal. Kemudian, mereka protes kepada Allah. Allah menjawabnya bahwa sebab mereka masuk Neraka adalah karena mereka tak mau tahu soal negeri dan kekayaan yang dianugerahkan-Nya kepada mereka.

Mereka lebih mementingkan menyembah dan memuji Allah dan lebih mementingkan anak cucunya pintar dan hafal mengaji, meski hidup melarat. Mereka dinilai Allah orang-orang malas yang tidak mau bersyukur dengan mengeluarkan keringat. Ibadah kepada Allah lebih disukai mereka, karena tidak mengeluarkan keringat. Akibatnya, kekayaan negeri mereka dirampok orang asing.

Umat Islam Indonesia harus mengisi kemerdekaan dengan fokus pada upaya membuat pendapatan per kapita rakyat Indonesia meningkat, kesenjangan ekonomi, misalnya. Hal ini karena kini pendapatan per kapita Indonesia hanya 4.580 dolar AS. Ini  kalah jauh oleh Thailand ($7.230), Malaysia ($11.780), Brunai ($31.410), apalagi Singapura ($67.200).

Agenda lain adalah korupsi, di mana 30-40% APBN pun dirampok. Dalam berbagai kritik pun sering disebut Indonesia sebagai bangsa kleptokrasi, alias elitenya suka maling yang memalukan.

Pada tahun 2003, ketika negara mengemis pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) 0,4 juta dolar AS, kayu-kayu hutan senilai 3-4 milyar dolar AS dijarah (Illegal Logging). Kalau tidak ada illegal logging saja, Indonesia tidak harus meminjam.

Ketika negara butuh dana untuk menutupi defisit RAPBN 2003 sebesar Rp 27 triliun, kekayaan perikanan laut hilang 4 milyar dolar AS (sekitar Rp 36 triliun) dicuri sindikat perampok ikan asing.

Negara juga bahkan kehilangan pendapatan dari pengurasan pasir laut di daratan Riau kepulauan sebesar kurang lebih 8 miliar dolar AS (Rp. 72 triliun). Tentu saja masih banyak yang dikorupsi seperti pertambangan. Tanpa korupsi, utang luar negeri Indonesia tak perlu mendekati angka Rp 8.000. Wallah a’lam bi al-shawab.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru