26.6 C
Jakarta
Array

Kembalian Kok Permen?

Artikel Trending

Kembalian Kok Permen?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sesuatu yang sepele bukan berarti harus diremehkan. Duri dijalan terkadang bisa membengkakkan kaki, dan tidak menutup kemungkinan penderitanya harus diamputasi. Demikian juga dalam transaksi jual beli, banyak hal sepele yang sering terabaikan. sejak dulu sering kali terjadi praktik pengembalian uang pembelian diganti snack (makanan ringan), seperti permen, roti dan sejenisnya. Bagaimana sorotan fikih? berikut penjelasanya.

“Harganya 1600 dik”, kata si penjaga kasir. Lalu Bagus membayarnya dengan uang 2000. “Maaf dik, kembaliannya ga’ ada, silakan ambil permen empat biji”, pungkas si kasir sambil menunjuk ke arah toples permen yang tersedia di meja kasir. “Yach… permen lagi, permen lagi”, seloroh si Bagus dengan dahi mengerut. Ia pun ngacir dengan wajah bermuram durja. Dalam hatinya ia bergumam, “Coba saja kalau ada kembaliannya, kan bisa aku tabung, ah. kalau permen ini aku belanjakan lagi, bisa ga’ ya?”, keluh Bagus.

Kasus yang dialami Bagus di atas bukan sekedar bualan tak berfakta. Bukanlah sebuah pemandangan asing, jika di samping meja kasir di sebuah pertokoan, supermarket, kios-kios dan di tempat-tempat transaksi jual beli lainnya tergeletak toples berisi permen. Yang entah disengaja atau tidak, disediakan khusus sebagai pengganti uang kembalian. Sepintas, pengembalian uang dengan permen tersebut terlihat sepele. Namun, kasus tersebut semakin berkembang. Yang awalnya permen menggantikan uang Rp 50-100, baru-baru ini sudah ngetrend uang kembalian senilai Rp 500 diganti dengan coklat dan sejenisnya. Dari sini, tidak menutup kemungkinan Suatu saat akan ada pengganti uang kembalian yang bernilai ribuan atau bahkan mendekati angka puluhan ribu.

Bagi penjual, hal ini no problem, dengan kata lain, justru ia mampu meraup keuntungan lebih. Mengapa tidak?! sebagian barang dagangannya laris manis. Namun bagaimana dengan konsumen? Tentunya, jika ia bermaksud menggunakan sisa uang tersebut untuk kepentingan lain, ia mesti merogoh koceknya lagi. Disadari atau tidak konsumen cenderung dirugikan.

Menelaah kasus di atas, setidaknya si pembeli akan dihadapkan pada tiga kondisi. Pertama, si pembeli dengan legowo (rela) menerima kembalian berupa snack. Kedua, si pembeli menerima kembalian tersebut walaupun hatinya tidak rela, karena memang ia tidak menemukan pilihan lain. Ketiga, si pembeli bersikukuh untuk mendapatkan uang kembalian, ia menolak diganti dengan snack.

Karenanya, kasus di atas menimbulkan beberapa pertanyaan, masuk akad apa uang kembalian yang diganti dengan barang? Bagaimana hukumnya? Selanjutnya, bagaimana seharusnya penjual dan pembeli menghadapi masalah ini?

Dalam lintasan sejarah, jauh sebelum abad ke-17, sebenarnya transaksi jual beli dengan kembalian uang belum pernah terjadi, Transaksi jual beli kala itu dilakukan dengan sistem barter (pertukaran barang dengan barang). Selain sistem barter ada pula yang menjadikan logam mulia (dirham/emas dan dinar/perak) sebagai alat tukar. Namun Keduanya berbentuk satu persatuan. Sehingga yang menjadi tolak ukur penilaian adalah banyak atau beratnya. Oleh karenanya, emas dan perak masih belum memiliki nilai nominal dan tidak mungkin berimplikasi terhadap adanya kembalian dalam jual beli. Dari sini dapat disimpulkan bahwa konsep kembalian uang belum ada dalam fikih.

Selanjutnya, untuk memberikan status akad pada pengembalian uang dengan barang yang notabenenya belum pernah dikenal dalam fikih, terlebih dahulu kita harus mengetahui status jual beli dalam islam. Pada dasarnya keabsahan jual beli bertumpu pada unsur taradhi (saling rela) dari pembeli dan penjual. Ketika unsur taradhi ini tidak tercipta, akan menyebabkan keharaman transaksinnya. Konsep ini bertitik sumbu pada sabda Nabi Saw.

“Bahwasanya jual beli itu berasaskan suka sama suka”. [HR. Ibnu Majah, 4192VI]

Hadis ini hendak menyimpulkan bahwa saling rela -antara pihak yang bertransaksi merupakan harga mati (sangat prinsip) dalam jual beli. Hanya saja, bagaimana cara mengetahui kerelaan itu sendiril Zakariya al-Anshari menjelaskan bahwa kerelaan itu samar, maka untuk mengetahuinya harus ditampakkan dengan indikasiaindikasi tertentu. Dalam hal ini, indikasi yang dapat mengungkap adanya kerelaan adalah melalui shighat (ijab dan qobul). [Fath alaWahhab, 157zl]

Namun begitu, sesungguhnya shighat tidak selamanya menjadi indikasi adanya ridha (kerelaan). Dr. Wahbah az-Zuhaily membedakan antara ridha dan shighat. Menurut beliau, ridha merupakan iradah bathinah (kehendak batin) sedangkan shighat adalah irddah dzahirah (kehendak yang nampak). Kadang kala terjadi kepincangan, karena Keduanya tidak selamanya menyatu padu dalam diri seseorang. Boleh jadi pada konteks tertentu hanya ada iradah bdthinah atau sebaliknya. Lebih lanjut, az-Zuhaily mengurai bahwa jika seseorang hanya rela secara dhahir (lisan) padahal hatinya tidak seia-sekata dengan lidahnya, maka transaksinya digolongkan jual beli ikrah. [Fiqh al-lslamy wa Adillatuhu, 188-189:|V]

Sampai di sini, sungguh amat penting terciptanya keseragaman kehendak hati dan lisan seseorang dalam memutuskan sebuah tindakan. Karena status hukum sangat bergantung pada penyatuan kehendak hati dan lidah. Atas dasar inilah, maka kasus pengembalian uang dengan barang yang mencuat akhir-akhir ini dapat dipetakan ke dalam tiga status hukum. Keputusan ini sesuai dengan pertimbangan kondisi si pembeli sebagaimana dijelaskan pada deskripsi sebelumnya.

Pertama, pembeli rela dhahir-bathin, maka status akadnya tergolong bai’u shahih (sah). Kerelaan ini tanpa harus memandang apakah penjual menawarkan snack terlebih atau tidak. Jika pemberian permen dilakukan tanpa penawaran disebut ba’i al-mu’athah (jual-beli yang tidak menggunakan ijab-qobul) di mana sebagian ulama membolehkan. [al-Majmu’,162:lX]

Kedua, pembeli hanya rela secara lisan saja, sedangkan hatinya menggerutu. Hal ini tergambar ketika pembeli hanya mengamini secara lisan untuk mengambil snack. la malu menolaknya, mengingat nominal sisa uang yang ada di penjual terlalu kecil. Maka, kalau mengikuti alur pikir az-Zuhaily, kondisi ini dikategorikan bai’u al-ikrah.

Ketiga, pembeli bersikukuh agar uang kembaliannya berupa uang Padahal kenyataannya, di meja kasir memang tidak ada uang recehan Di sinilah perlu membuat kesepakatan antara pembeli dan penjual. Dengan demikian, satu-satunya jalan adalah menitipkan uang kembalian tersebut pada penjual yang akan diambil di kemudian hari.

Pada tipe ketiga ini, transaksinya dapat digolongkan pada akad wadi’ah (penitipan barang). Walaupun barang yang dititipkan tidak ada, namun pada hakikatnya pembeli menitipkan sejumlah nilai yang ada pada uang. Sebagaimana telah disepakati ulama bahwa akad wadi’ah adalah murni amanat. Dengan demikian, penjual yang berposisi sebagai wadi’ (yang dititipi uang) seharusnya menjaga jumlah nominal kembalian pembeli yang ada pada dirinya. Dan ketika penjual terpaksa menggunakan uang tersebut sebelum dikembalikan pada pembeli, maka dia wajib menyediakan gantinya. Sebagaimana ketentuan umum dalam wadi’ah bahwa ketika wadi’ memanfaatkan barang titipan dia wajib mengganti. [al-Fiqh al-lslamy wa Adillatuh, 42&46:V]

Bagaimana jika sistem pemberian uang kembalian dengan snack sudah menjadi tradisi? Yang perlu dicamkan dalam konteks kehujjahan ‘adat/urf dalam penetapan hukum adalah keserasiannya dengan kehendak nash. Karena ketika ia berlawanan arah dengan nash, maka keberadaannya tidak dapat dijadikan pijakan hukum. [Qawé‘id al-Fiqhiyah, 175] Sebagaimana telah disinggung oleh hadis di atas, bahwa prinsip pokok dalam jual beli adalah adanya unsur taradhi dari Kedua belah pihak. Sedangkan konsep taradhi ini adalah manshusah (berdasarkan aI-Qur’an aI-Hadits). Oleh sebab itu, dengan mentradisinya pengembalian uang dengan barang di kalangan pedagang, sedikit pun tidak bisa dijadikan alasan untuk membolehkannya.

Lalu bagaimana cara menyikapinya agar tidak terjebak pada jual beli ikrah? Maka setidaknya pembeli dan penjual berusaha untuk saling pengertian agar sama-sama dimudahkan, Bukankah Nabi Saw. telah berdawuh:

Permudahlah! Jangan mempersulit! Allah menyenangi keringanan dan kemudahan bagi manusia. [Shahih aI-Bukhari, 85:XIX]

Dalam konteks ini, yang perlu dilakukan oleh penjual adalah: Pertama, hendaknya sebelum menggelar dagangannya mempersiapkan uang kembalian (recehan) secukupnya. Kedua, Jika memang tidak menemukan recehan, hendaknya terlebih dahulu menawarkan pada pembeli bagaimana enaknya, yaitu antara diganti dengan snack atau ditipkan untuk sementara waktu. Tetapi jangan sampai hal ini dijadikan kedok untuk meraup keuntungan lebih dengan berlindung dibalik snack. Ketiga, Hendaknya penjual memiliki buku catatan khusus atau nota tertulis untuk mengantisipasi pembeli yang bersikukuh ingin tetap mendapat kembalian berupa uang.

Begitu pun bagi pembeli, jangan mentang-mentang berprinsip “Pembeli adalah raja” yang harus dilayani dan dimanja. Oleh karena itu, diharapkan pembeli tidak begitu angkuh untuk mempertahankan haknya ketika kondisi memang tidak memungkinkan kembalian berupa uang, hendaknya ia minta petuah nuraninya. Sehingga yang harus dilakukan adalah menyediakan uang pas sesuai dengan daftar harga. Jika tidak, ia harus lebih tegas menentukan pilihannya antara menerima barang ganti dengan ikhlas atau mengambil uang kembalian di lain waktu. Ala Kulli Hal, sudah semestinya para penjual dan pembeli tidak hanya melihat rukun-rukun jual beli, namun mereka juga harus memperhatikan keikhlasan masing-masing Keduanya dalam rangka memperoleh harta yang halal. Rasulullah Saw. Bersabda:

Harta orang muslim tidak halal melainkan dengan keikhlasan jiwa darinya. [al-Sunan aI-Kubra li al-Baihaqiy, 100:Vl]

Hadis tersebut dengan tegas menyatakan bahwa dengan tercerabutnya “keikhlasan” dalam nurani akan berdampak pada haramnya harta. Na ‘adzubillah…

Sumber :Fiqih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru