26.1 C
Jakarta
Array

Kampus dan Bahaya Laten Radikalisme

Artikel Trending

Kampus dan Bahaya Laten Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kampus dan Bahaya Laten Radikalisme

Oleh: Henny Mono*

Institut Pertanian Bogor, kebobolan. Dalam video yang beredar luas, terungkap adanya ikrar mahasiswa IPB yang mendukung khilafah islamiyah. Kenyataan itu mengungkapkan sinyalir Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) Se-Indonesia, mengenai semakin merebaknya perilaku yang mengarah pada sikap-sikap radikalisme, di masyarakat, termasuk di kampus.

Jika dirunut, sikap radikal yang kian merebak di kampus-kampus tumbuh dan berkembang tanpa kendali sejak pasca runtuhnya Orde Baru. Rezim Orde Reformasi kebablasan. Telah membuka kran lebar-lebar terhadap masuknya berbagai ajaran baik dari Barat maupun Timur, termasuk yang anti-Pancasila. Seolah, demi menjaga martabat sebagai negara demokratis terbesar, suatu penghargaan yang sempat disematkan oleh Barat, Indonesia pun menjadi negara bebas berbuat apa saja untuk dan atas nama hak asasi manusia (HAM).

Buah dari eforia kebebasan dan penghormatan atas HAM yang berlebihan, kini terasa mulai melahirkan melahirkan berbagai “kerusakan” sosial. Setiap individu semakin yakin memiliki hak untuk bertindak semau gue. Gilirannya, berbagai ajaran atau faham yang semula dilarang atau dianggap melanggar nilai-nilai perilaku sosial, sekarang diabaikan. Tuntunan menjadi tontonan, sedangkan tontonan sudah menjadi tuntunan.

Di sudut lain, sistem kekuasaan yang diharapkan mampu membuktikan, bahwa NKRI dengan ideologi Pancasila merupakan bentuk final, masih sering dikotori perilaku korup, baik oleh pihak eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Uang triliunan yang bersumber dari dana rakyat, diselewengkan dan jadi bancakan kalangan pejabat tinggi hingga pejabat daerah, sama sekali tanpa rasa malu.

Padahal, menurut kajian Oxfam, lembaga antikemiskinan yang merilis laporannya mengungkapkan, jurang antara warga terkaya dunia dan warga miskin tahun ini, meluas jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tak terkecuali di Indonesia. Jurang antara mereka yang superkaya dan warga dunia yang miskin ternyata lebih lebar daripada perkiraan awal.

“Sangat tidak pantas bahwa kekayaan yang begitu besar ada di tangan sedikit orang. Apalagi saat ini banyak orang di dunia yang hanya memperoleh penghasilan kurang dari US$2 (sekitar Rp26.700) per hari,” ujar Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam International di Davos, kemarin.

Lembaga antikemiskinan tersebut juga mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil langkah kongkret dalam upaya mengatasi masalah tersebut. Jika tidak, kemarahan publik atas kesenjangan itu akan terus tumbuh dan akan menyebabkan lebih banyak kekisruhan politik.

Sementara dalam tulisannya, Franz Magnis Suseso, pengajar pada Sekolah Filsafat Driyarkarya, Yogyakarta mengatakan, bahwa 17 tahun sebelum lahir Indonesia merdeka, kebangsaan Indonesia sudah menjadi kenyataan. Indonesia beruntung karena kebangkitan agama menjadi bagian dari kebangkitan bangsa. Karena itu, antara keindonesiaan dan agama masing-masing tak ada pertentangan. Karena bersatu dalam memperjuangkan Indonesia merdeka, orang dari agama-agama berbeda bisa bersatu, dan juga bisa saling menerima, bahkan saling menghargai.

Namun, agar suatu kemajemukan dapat kukuh bersatu, satu syarat mutlak harus dipenuhi: semua  harus bersedia untuk saling menerima dan saling menghormati dalam kekhasannya. Itulah yang terjadi dalam Pancasila. Dalam Pancasila bangsa Indonesia menyatakan diri bangsa dan negara yang berketuhanan, yang religius, ketika tak ada komunitas yang karena orientasi keagamaanya akan dikucilkan. Karena itu, orang Jawa yang masuk Indonesia tetap orang Jawa dan orang Bugis tetap orang Bugis, orang Islam utuh keislamannya dengan masuk Indonesia seperti orang Katolik utuh kekatolikannya.

Namun, kalau kuman politik identitas meluas, komitmen yang mendasari persatuan Indonesia akan terancam. Begitu identitasku menjadi satu-satunya perhatianku, semua yang berbeda dipandang sebagai ancaman. Politik identitas cenderung terus memecahbelahkan persatuan bangsa. Mereka yang berbeda akan dianggap tidak boleh ada di Indonesia. Semakin politik identitas meluas, intoleransi akan bertambah.

Jelas semakin eksklusivitas, identitas sendiri meluas, semakin tidak lagi akan diterima bahwa Indonesia adalah milik kita semua. Dengan demikian, konsensus dasar yang diletakkan dalam Pancasila, konsensus bahwa Indonesia adalah milik semua warga Indonesia dari aliran agama mana pun, yang mendasari kesediaan untuk bersatu dalam satu negara, sudah terkhianati.

Kalau kita tidak lagi bersedia untuk saling menerima dalam identitas masing-masing, kalau kita mau memaksakan identitas kita kepada semua yang berbeda, kita akan berakhir dalam anarkisme, kebencian, dan perang saudara berdarah, sebagaimana kita melihatnya dalam sekian banyak negara.

*Penulis adalah pengurus PERADI Malang

 

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru