31.9 C
Jakarta

Iqra’: Membaca Buku untuk Membaca yang Lain

Artikel Trending

KhazanahLiterasiIqra': Membaca Buku untuk Membaca yang Lain
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ketika kata iqra’ yang ada di dalam Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ada satu kata yang sejauh ini sering digunakan untuk mengartikannya, yaitu membaca. Akan tetapi, jika ditelaah lebih jauh lagi, kata iqra’ akan menyajikan satu hal yang lebih luas daripada hanya sekadar membaca.

Salah satu makna yang bisa dipahami dari kata Iqra, yaitu bahwa iqra’ bisa dimaknai sebagai “menghimpun”, dari hal yang disebut menghimpun inilah, maka kegiatan membaca bisa terjadi. Atau, jika ingin menempatkan kedua kegiatan ini berada di posisi sejajarpun, maka akan ditemukan satu pemahaman bahwa menghimpun artinya adalah membaca, begitu pula dengan sebaliknya.

Contoh kecil, ketika kita sedang membaca suatu kata, semisal kata “Tuhan”. Sebenarnya kita sedang menghimpun beberapa huruf, yaitu “T-u-h-a-n” untuk kemudian menjadikannya satu kata utuh bermakna “Tuhan”. Begitupun ketika kita mencoba membaca satu kalimat, artinya kita sedang menghimpun beberapa kata untuk kemudian mendapatkan satu kalimat utuh yang memiliki makna.

Menariknya, ketika Tuhan dalam Al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad dan kemudian umatnya untuk membaca. Kendati membaca itu identik dengan satu kegiatan yang berhubungan dengan penggalian makna dari sebuah teks. Tetapi pada saat perintah membaca diperintahkan kepada Nabi Muhammad, Tuhan tidak menyebutkan secara eksplisit akan objek yang harus dibacanya.

Oleh sebab itu, dalam berbagai keterangan, ketika diperintahkan membaca, Nabi Muhammad sempat bertanya “Apa yang harus saya baca?”. Dalam perintahnya, Tuhan hanya memerintahkan untuk membaca dengan nama diri-Nya. Karena hal itu lah perintah membaca kemudian bisa dipahami untuk membaca berbagai macam hal, dengan catatan harus selalu membubuhkan nama Tuhan dalam proses pembacaannya.

Untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut dari pendapat di atas, mari kita melakukan suatu penalaran logis, dengan menghubungkan satu premis dengan premis lain, dan tentunya, agar penalaran ini memiliki dasar yang kuat, kita akan membentuk premisnya dari satu hal yang sejauh ini dianggap sebagai fakta sejarah.

Pertama, terlepas bahwa sejauh ini firman Tuhan dalam Al-Qur’an tampil sebagai kitab (teks). Dalam proses perjalanannya, Malaikat Jibril yang bertugas sebagai penyampai wahyu Tuhan, diterangkan menggunakan empat metode untuk mentransfer ayat suci kepada Nabi Muhammad.

Di satu waktu Jibril langsung menyusupkan firman itu kedalam qalbu Nabi, kadang Jibril menampakan diri dengan rupa laki-laki kemudian berucap dan ucapan itu Nabi hafalkan, di saat yang lain Jibril berucap kepada Nabi dengan rupa aslinya, dan terakhir wahyu datang seperti gemericik lonceng.

Dari metode yang disebutkan itu, tidak ada satu keteranganpun yang menyebutkan bahwa Jibril datang dengan memberikan teks secara harfiah kepada Nabi. Dan saat di Gua Hira, Jibril menyampaikan wahyu pertama dengan membisikannya pada Nabi Muhammad.

Kedua, jikapun kita tidak mengetahui peristiwa di Gua Hira secara detail. Tentang apakah Nabi ketika itu membawa sebuah bahan bacaan, dalam hal ini teks secara harfiah, ataukah tidak. Tetapi jika kembali lagi merujuk pada ketarangan akan peristiwa itu, tidak ada satu sumberpun yang  menyebutkan Nabi Muhammad membawa bahan bacaan.

Ketiga, seperti yang kita ketahui dalam literatur-literatur sejarah tentang kebudayaan Arab ketika peristiwa di Gua Hira itu terjadi. Arab bisa dikatakan masih belum mengembangkan kebudayaan membaca dan menulis di dalam perkembangan peradabannya. Untuk itu, sesuatu yang disebut sebagai bahan bacaan, masih sulit untuk ditemukan.

Dari beberapa tesis yang menjadi premis di atas, maka wajar jika kemudian Nabi bertanya “Maa aqra?”. Dengan kebingungan merespon perintah membaca dalam Al-Qur’an itu, maka dengan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Nabi, apa yang sebenarnya harus dibaca? Serta makna apa yang tersirat dari perintah membaca?

Untuk menjawab pertanyaan itu, sepertinya kita perlu melihat ayat lain di dalam Al-Qur’an dan kemudian merelasikannya dengan firman Tuhan yang pertama. Ayat lain yang dimaksud ialah ayat 3-4 dalam Surat Al-Jatsiyah:

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman  (QS. Al-Jatsiyah ayat 3).

Dalam ayat di atas, disebutkan bahwa pada langit dan bumi, ada tanda-tanda. Pada bahasan Semiotika, setiap tanda (signifier) selalu menandai dari apa yang ditandainya (signified).

Sebagai contoh, ketika kita berada di jalan raya, kita akan banyak menemukan rambu-rambu lalu lintas. Seperti saat berada di persimpangan jalan, biasanya akan ada lampu lalu lintas berwarna merah, kuning, dan hijau. Warna-warna itu tentu ketika menjadi tanda, ia tidak bermakna sebagaimana umumnya warna yang diketahui, akan tetapi, warna-warna itu adalah tanda.

Merah sebagai berhenti, kuning sebagai bersiap, dan hijau sebagai melaju. Tuhan, dalam Al-Jatsiyah ayat 3, menerangkan bahwa pada langit dan bumi itu ada tanda atas kekuasaannya.

Kemudian Tuhan juga menerangkan bahwa ada juga tanda yang menerangkan tentang kebesaran-Nya, penjelasan itu terdapat dalam lanjutan ayat di atas, yaitu dalam surat Al-Jatsiyah ayat 4:

Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini”. (QS. Al-Jatsiyah ayat 4).

Jika pada ayat sebelumnya Tuhan menjadikan penciptaan langit dan bumi sebagai tanda dari kekuasaa-Nya. Maka pada ayat selanjutnya, Tuhan menambah penegasan bahwa Dia bukan saja Dzat Yang Maha Kuasa, tetapi ia juga Dzat yang Maha Besar dengan menjadikan ciptaan-Nya yang lain, yaitu manusia dan binatang melata sebagai tanda. Dari dua ayat di atas, Kita bisa mengetahui bahwa langit, bumi, manusia, dan binatang. Atau term-term itu bisa kita rangkum dalam satu term yaitu alam semesta, adalah tanda.

Oleh karenanya, seperti yang diterangkan dalam semiotika. Bahwa tanda haruslah ditafsirkan agar makna sebenarnya bisa diketahui. Sampai titik ini kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa, yang harus dibaca itu adalah realitas alam semesta, karena pada alam semesta itu terdapat tanda, dan tanda itulah yang harus disingkap maknanya.

Atau, jikapun kemudian kita ingin tetap menjadikan “Iqra” sebagai perintah untuk membaca teks. Dalam hermeneutika, alam semesta yang merupakan kalam Tuhan, itu dipahami sebagai teks. Untuk itu, pembahasan iqra dalam hal ini juga akan bermuara pada pemahaman bahwa alam semesta sebagai sesuatu hal yang harus dibaca.

BACA JUGA  Mengenal Karakteristik Kejahatan Siber dengan Memahami Literasi Digital

Pertanyaannya kemudian, ketika “iqra” dimaknai sebagai perintah membaca realitas alam semesta, masih perlukah seseorang untuk membaca teks dalam arti literal? Jawabannya jelas, “sangat perlu!”. Jawaban ini tentu berkaitan dengan pembahasan lalu mengenai kenapa sesorang harus membaca buku. Tetapi selain itu, lebih jauhnya bahwa membaca buku adalah jalan, atau latihan untuk membaca realitas semesta itu sendiri.

Seperti halnya keahlian lain yang harus diasah dan dilatih, membaca realitas semestapun harus melalui latihan intens, dan latihannya itu sendiri adalah membaca buku. Seorang atlet profesional yang mendapatkan berbagai macam pencapaian serta penghargaan, tentu dalam prosesnya ia menapaki satu proses yang disebut sebagai latihan.

Kita bisa bayangkan ketika kita membaca realitas alam semesta yang tingkat kesulitannya lebih tinggi tanpa latihan, bisa-bisa ketika langsung membaca realitas alam semesta, kita justru mengalami penafsiran dan pembacaan makna yang keliru.

Tentang latihan untuk mencapai suatu kemampuan yang mempuni, saya ingat satu kisah dari kitab Syarah Maraqi al-‘Ubudiyah mengenai Imam Al-Ghazali dan adiknya, yaitu Imam Ahmad.

Suatu ketika, Imam Al-Ghazali mengimami shalat, di dalam barisan mak’mum ada Imam Ahmad yang bermakmum pada Al-Ghazali, akan tetapi di tengah shalat yang sedang berjalan, Imam Ahmad memutuskan untuk mufaraqah.

Setelah selesai shalat, Imam Al-Ghazali yang keheranan dengan sikap adiknya itu, mencoba menanyakan ikhwal kenapa ia memutuskan untuk berhenti menjadi makmumnya dan meneruskan shalat sendiri. Imam Ahmad kemudian menjawab pertanyaan itu serta menjelaskan alasan dari apa yang ia lakukan. “Aku tidak bisa bermakmum pada orang yang di dalam pikirannya dipenuhi oleh darah” atau dalam satu keterangan lagi, jawaban Imam Ahmad karena ia melihat lumuran darah di perut Al-Ghazali.

Dengan segala keluhuran dan kerendahan hati Imam Al-Ghazali, ia menyadari kekeliruannya. Dan memang, ketika shalat, Imam Al-Ghazali dipenuhi oleh pikiran untuk menyelesaikan kitab yang sedang dikarangnya (Ihya Ulumuddin), saat itu, ia sedang memikirkan bab nifas.

Imam Al-Ghazali keheranan, dalam benaknya ia bertanya “Mengapa adiknya bisa mengetahui apa yang ia pikirkan?”. Ia kemudian menyadari bahwa adiknya memiliki kemampuan khasyaf, dan setelahnya Imam Al-Ghazali meminta agar ia diajarkan ilmu yang seperti dimiliki adiknya itu.

Imam Ahmad sempat beberapa kali menolak kemauan Imam Al-Ghazali, karena ilmu yang dimaksudkan, tidak mudah untuk dipelajari. Akan tetapi karena Imam Al-Ghazali terus meminta untuk diajarkan. Imam Ahmad menyetujui, tetapi dengan syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya adalah, Imam Al-Ghazali harus mampu membersihkan ruangan yang kotor.

Syarat itu tentu langsung disanggupi oleh Imam Al-Ghazali, datanglah ia pada satu ruangan yang memang kotor. Konon di tempat itu tidak ada alat untuk membersihkan ruangan, sehingga Imam Al-Ghazali menanggalkan pakaian yang ia pakai untuk kemudian digunakan membersihkan ruangan itu sampai bersih.

Sampai pada kisah itu tersebar, kita mengetahui bahwa pada akhirnya Imam Al-Ghazali memiliki kemampuan khasyaf seperti apa yang dimiliki oleh Imam Ahmad. Akan tetapi dari kisah itu, kita bisa mempertanyakan satu hal. Apa hubungannya membersihkan ruangan dengan mendapatkan kemampuan khasyaf? Atau bagaimana bisa seseorang yang membersihkan ruangan bisa menguasai satu ilmu yang sukar didapatkan?

Umumnya, jika kita melihat suatu fenomena hanya sebatas pada apa yang dilihat oleh mata. Maka wajar jika kita tidak mampu melihat berbagai macam relasi antara satu fenomena dengan fenomena lain. Dan menjadi kewajaran jika pertanyaan di atas, kemudian melintas di dalam benak sebagai suatu tanda keheranan.

Akan tetapi, jika kita mencoba melihat detail yang tidak hanya sekedar terlihat oleh mata, maka kita akan menemukan relasi antara berbagai macam fenomena yang oleh mata kita dipandang sebagai satu hal yang tidak logis.

Yang tidak diketahui oleh umum dari fenomena Imam Al-Ghazali membersihkan sebuah ruangan, kemudian mendapatkan ilmu khasyaf. Adalah bahwa umumnya kita tidak melihat di dalam fenomena itu ada beberapa proses pengendalian diri.

Dan perlu ditegaskan, pengetahuan Imam Al-Ghazali mengenai khasyaf, sebenarnya bukan dari membersihkan ruangan dalam makna literal. Tetapi proses yang justru tidak terlihatlah yang menjadi sebab Imam Al-Ghazali mendapatkan pengetahuan khasyaf.

Lebih terangnya bahwa ketika membersihkan ruangan, Imam Al-Ghazali sedang melatih kesabaran dirinya. Kita bayangkan bahwa saat itu, atau kita coba memposisikan diri sebagaimana ada di posisi Imam Al-Ghazali waktu itu. Kita tahu bahwa Imam Al-Ghazali merupakan tokoh besar yang namanya sudah termasyhur, Ia juga merupakan seorang rektor di Nizamia.

Tapi seorang yang besar kemudia diperintah oleh seorang yang sejauh itu tidak memiliki nama sebesar Ghazali, terlebih bahwa Imam Ahmad adalah adik dari Imam Al-Ghazali itu sendiri. Jika seseorang tidak memiliki keluhuran budi, hal demikian akan terasa sebagai penghinaan. Dan Imam Al-Ghazali dalam proses pembersihan itu, melatih dirinya untuk bersabar, serta lebih jauhnya ikhlas dalam melakukan satu hal.

Maka jika dipetakan secara sederhana dengan mencoba melihat proses itu, bukan membersihkan ruanganlah yang menjadi syarat untuk mendapatkan pengetahuan khasyaf, tetapi syarat secara hakikatnya adalah sabar dan ikhlas. Itu lah yang menjadikan Imam Al-Ghazali sampai saat ini dikenal sebagai seorang sufi termasyhur.

Selain penjelasan di atas, kita juga bisa memaknai ruang kotor yang menjadi syarat untuk mendapatkan ilmu khasyaf bukanlah ruang berbentuk bangunan material. Tetapi itu bisa dimaknai sebagai ruang dalam diri manusia, yaitu hati. Artinya, dalam bagian ini, kita bisa memaknai bahwa syarat yang dimaksud oleh Imam Ahmad untuk mendapatkan pengetahuan kasyaf adalah dengan membersihkan hati kita yang kotor.

Terlepas dari makna mana kisah itu ditafsirkan, yang jelas poin intinya adalah bahwa Imam Al-Ghazali , untuk mendapatkan suatu kemampuan ilmu khasyaf, ia melalui suatu pelatihan engan sabar dan ikhlas dalam membersihkan ruang (hati) yang kotor.

Dengan logika yang sama seperti apa yang dilalui oleh Imam Al-Ghazali, membaca buku adalah metode latihan untuk membaca realitas alam semesta. Karena dalam membaca buku, ada hal yang tidak bisa kita lihat dengan hanya sekedar menggunakan mata zahir kita, tetapi lebih jauhnya, ada satu proses yang kemudian disadari atau tidak, akan melatih diri kita untuk memiliki kemampuan dalam membaca hal lain di luar membaca buku itu sendiri.

Rizki Mohammad Kalimi
Rizki Mohammad Kalimi
Mukim di Pandeglang. Santri Pondok Pesantren Al-Musyahadah “RCI”.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru