27.6 C
Jakarta

INGHIMAS: Doktrin Kontroversial Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniINGHIMAS: Doktrin Kontroversial Ekstremisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Peristiwa bom bunuh diri di Medan baru-baru ini adalah tragedi ironis yang menimpa orang-orang tak bersalah. Yang pasti, anggapan kita sama, mereka teroris. Tapi jika melihat lebih detail, sepertinya tidak ada dendam di balik teror itu. Lebih pada inghimas. Sedangkan bom Bali I-II dan peristiwa Poso menurut Sumiati Anastasia (Jawa Pos, 17/4/2013), masih berhubungan dengan serangan AS ke Irak akibat peristiwa 9/11 dan bom Boston. Bahkan beberapa umat Islam pun di Indonesia terseret dendam.

Lalu apa yang melatarbelakanginya? Sejauh penelusuran penulis, tidak berhubungan dengan dendam. Apalagi Indonesia sendiri mayoritas warganya adalah Muslim. Islamofobia pun di berbagai negara mulai hilang. Yang pasti, konteks bom teror masa lalu dan sekarang agak berbeda. Jika peristiwa lalu masih berhubungan dengan dendam, sekarang lebih pada keinginan mati syahid. Lihat misalnya pengakuan pelaku teror yang gagal dan tertangkap tahun ini atau tahun sebelumnya.

Suicide bombing dari orang-orang yang ingin mati syahid, tidak lepas dari argumen-argumen inghimas yang dulu pernah diperdebatkan oleh ulama-ulama klasik.  Inghimas sendiri adalah berperang di tengah barisan musuh dan memberikan penderitaan besar kepada musuh.

Argumen teologis mujtahid kontemporer yang membolehkan inghimas, jika kita telusuri lebih dalam, sangat bertentangan dengan keputusan ulama klasik. Lagi pula, sejauh penelusuran belum ditemukan pendapat ulama klasik yang menganjurkan bom bunuh diri atau mati dengan senjata sendiri.

Tentang Inghimas

Wacana Inghimas di kalangan ulama klasik, walaupun menjadi perdebatan, tapi tak ada tanda-tanda harus menyerang musuh dengan cara bunuh diri. Menurut catatan Muhammad Haniff Hassan (2019), ada beberapa perbedaan antara inghimas di kalangan ulama klasik dan kontemporer.

Pertama, menurut ulama klasik, “mati di tangan pedang musuh”, sedangkan menurut ulama kontemporer (ekstremisme) “mati dengan senjata sendiri”. Kedua, “untuk memperoleh kesyahidan karena rida Allah” dan “mengakhiri penderitaan seseorang (agar mati syahid)”. Ketiga, “niat memberi penderitaan kepada musuh” dan “niat membunuh diri sendiri”.

Dari sini mulai tampak kontroversi mujtahid sekarang dengan ulama dulu dalam memandang inghimas. Perbedaannya tidak lagi menampilkan kesan dendam, melainkan untuk mati syahid. Seperti mengakhiri penderitaan orang kafir agar mati syahid. Jelas tujuan mereka tidak jelas.

Padahal perang Uhud dan Badar ditandai pertentangan musuh atas umat Islam, sehingga orang yang gugur mati secara syahid.  Negara ini telah menjamin keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada musuh dan perang. Semuanya hidup secara harmonis.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Versi teror sekarang di negara harmonis ini adalah teror akibat keputusasaan. Pelaku teror yang tertangkap semuanya berkata ingin mati syahid. Secara tidak langsung, mereka mungkin mengalami guncangan jiwa dan sebabnya bisa beragam. Apakah keputusasaan itu sebab kurangnya keadilan dan kesejahteraan? Belum jelas. Tapi kita harus tetap berbaik hati dengan mantan-mantan teroris. Mereka tetap butuh kasih-sayang yang sama.

Ekstremisme Keputusasaan

Dengan demikian, kita harus berhenti mengatakan teroris sebagai orang jahat. Tidak ada yang tahu siapa yang putus asa dan siapa yang jahat. Bisa saja kita yang jahat. Keadilan, kesejahteraan, dan keharmonisan satu sama lain harus kita tingkatkan lagi. Karena hati yang tidak karuan, kadang kala membuat mata hati tertutup. Saat itu, kekerasan bisa terjadi.

Yang tak kalah penting, pemerintah ketika memutuskan sesuatu, selain karena alasan kepentingan orang banyak, juga tidak menyinggung perasaan orang. Walaupun masalah kecil, bisa saja mereka putus asa dan melakukan tindakan ekstrem seperti suicide bombing. Bukankah ini sangat mungkin?

Akhir-akhir ini cadar menjadi isu yang cukup fenomenal. Walaupun keputusan “cadar tidak mencerminkan keimanan”, tapi mereka yang bercadar bisa sakit hati. Saat itu, kebencian pada pemerintah bisa terjadi. Artinya, selain keadilan harus merata, juga harus tidak menyinggung yang lain.

Yang pasti, bom bunuh diri tidak sama dengan latar belakang peristiwa yang sama di masa lalu. Suicide bombing tidak sama dengan inghimas. Ia lebih pada keinginan mati syahid.

Beberapa ulama seperti al-Tabari dan al-Syaukani sangat keberatan dengan inghimas. Karena Islam seharusnya agama yang membawa kedamaian, bukan peperangan. Tapi dengan keadaan dunia sekarang yang harmonis, sepertinya inghimas tidak berlaku lagi. Tidak ada peperangan. Negara masa kini fokus pada kesejahteraan bangsanya.

Mendiang Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan, “perang selalu merupakan kekalahan bagi kemanusiaan sekaligus tragedi bagi agama-agama” (The Jakarta Post, 21/2/2003).

Jika memang masa Nabi Muhammad menjadi rujukan utama untuk menjalani hidup, maka penting untuk mengingat kembali, bagaimana Nabi membuat Piagam Madinah saat itu. Piagam yang mengindahkan perbedaan. Meskipun Nabi pernah terlibat peperangan, beliau juga terlibat dalam perdamaian. Islam semestinya memang rahmat al ‘alamin.

 

*M. Hariri, Pegiat Filsafat, Pemerhati Pendidikan, Politik, dan Demokrasi.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru