26.8 C
Jakarta

Hukum Memajang Pengantin Di Hadapan Undangan

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamHukum Memajang Pengantin Di Hadapan Undangan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. – Setiap daerah mempunyai ciri khas tersendiri dalam merayakan momentum indah pesta pernikahan. Namun, hampir merata di seluruh daerah, saat para tamu tumpah ruah, sang pengantin dipajang di hadapan undangan. Pengantin dirias indah, duduk di singgasana dengan latar dekorasi yang memukau. Lantas, bagaimanakah hukum memajang pengantin di hadapan undangan?

Dalam literatur kitab fikih, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar pesta yang dilaksanakan tidak kehilangan esensinya atau tidak melampaui batas-batas syari’at.

Pertama, pelaksanaan walimah tidak perlu berhari-hari. “Kalau bisa dilaksanakan secara singkat dan hemat, kenapa harus lama-lama dan boros”. Dalam sebuah hadits disebutkan:

الْوَلِيمَةُ أَوَّلُ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ

Artinya : ”Walimah hari pertama adalah benar, hari kedua ma’ruf, dan hari ketika riya’ dan sum’ah” (HR. Imam Turmudzi)

Hadits nabi ini ingin mengungkapkan kenyataan di masyarakat bahwa pelaksanaan walimah yang berhari-hari pasti didasarkan pada riya’ dan sum’ah, sehingga perlu dihindari. Kekayaan yang berlimpah ruah dan tingginya status sosial di masyarakat bukanlah alasan untuk melakukan pesta pernikahan secara mewah dan berhari-hari. Di samping itu, perayaan berhari-hari hanya akan menimbulkan israf karena makin banyak biaya yang akan dihabiskan. Padahal para ulama mewanti-wanti agar jangan terlalu berlebihan karena hanya akan menimbulkan bangga diri dan israf (berlebihan) yang secara jelas dilarang dalam Islam .

Kedua, Undangan harus merata pada semua keluarga, tetangga, masyarakat sekitar, teman dan kerabat kerja serta kaya maupun miskin. Makanya tidak boleh hanya mengundang orang kaya dalam resepsi pernikahan, sementara orang miskin tidak diundang. Rasulallah SAW bersabda :

بِئْسَ الطّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إلَيهِ الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ

Artinya : “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang di sana orang kaya diundang, dan orang miskin tidak ” (HR. Imam Muslim)

Berdasarkan hadits ini, para ulama menegaskan bahwa seseorang tidak wajib untuk menghadiri walimah, jika yang diundang hanya orang kaya saja.

BACA JUGA  Bolehkah Driver Ojol Pria Membonceng Perempuan Bukan Mahram?

Ketiga, walimah tidak boleh dijadikan sebagai ajang untuk pamer kacantikan, perhiasan, dan keindahan (tabarruj) di hadapan halayak umum. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّة

Artinya: “Dan janganlah kalian memamerkan diri sebagaimana yang dilakukan oleh orang perempuan-perempuan jahiliyah” (QS. al-Ahzab [33] :33)

Al-Maraghi  dalam kitab Tafsir al-Maraghi , juz 4, halaman  22-24 menafsirkan ayat ini dengan, ”janganlah kalian menampakkan perhiasan dan keindahan kalian kepada laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan-perempuan pada masa jahiliyah, sebelum Islam datang”

Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Artinya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya kecuali yang biasa nampak daripadanya” (QS. an-Nur [24] : 31)

Yang dimaksud dengan kalimat “yang biasa nampak daripadanya” adalah wajah dan kedua telapak tangan, dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan anggota tubuh yang tidak bisa dihindari oleh perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain keduanya tidak boleh untuk ditampakkan. Larangan ayat ini bersifat umum, mencakup siapapun orangnya, dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apapun tidak boleh untuk menampakkan aurat selain wajah dan kedua telapak tangan.

Hal ini sejalan dengan kaidah ushul yang berbunyi :

وَعُمُوْمُ الأَشْخَاصِ يَسْتَلْزِمُ عُمُوْمَ الأَحْوَالِ وَالأَزْمِنَةِ وَالْبِقَاعِ

Artinya : “Keumuman beberapa orang berkonsekwensi terhadap keumuman kondisi, waktu, dan tempat”

Berdasarkan kedua ayat  di atas, memajang pengantin pada saat pesta pernikahan tidak bisa dibenarkan. Sama halnya dengan mengarak pengantin mengelilingi desa seraya menampakkan aurat dan kecantikan yang disaksikan jutaan pasang mata.

Akan tetapi keharaman kasus di atas tidak berlaku secara mutlak, sebab keharamanya  dikarenakan adanya  tabarruj  dan mempertontonkan aurat serta bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bisa menimbulkan  fitnah. Kalau semuanya tidak ada, maka hukum memajang pengantin sah-sah saja.

Demikian penjelasan mengenai hukum memajang pengantin di hadapan undangan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru