Dunia penelitian merupakan agenda literasi dalam negeri, berdasarkan penelitian Alvara Research Center-Mata Air Production pada Oktober 2017 silam tentang penyebaran paham radikalisme di kampus, dengan responden 1.800 mahasiswa di 25 universitas se-Indonesia (4 swasta) menyebutkan, sebanyak 23,5 persen mahasiswa mendukung gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sedangkan ideologi yang cocok bagi Indonesia, sejumlah 16,8 persen menyatakan agama Islam, bentuk pemerintahan yang ideal menyatakan khilafah (17,8 persen), dan kesiapan untuk berjihad mendirikan khilafah sebanyak 23,4 persen.
Penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak khususnya mahasiswa itu sendiri. Pasalnya, dunia pendidikan merupakan ujung tombak perlawanan radikalisme. Pendidikan inilah yang dapat mencetak kader-kader yang toleran dan berpikir dengan asas perdamaian. Lantas, jika dunia pendidikan saja sudah dimasuki paham radikal, dari mana lagi kita memerangi gerakan radikalisme yang mengemuka?.
Menghadapi situasi ini, sebaiknya semua pihak terutama para pengajar harus bijak dan cermat membaca konflik yang terjadi dengan mengedepankan toleransi. Sikap ini tidak akan mungkin terjadi bila pemahaman dan wawasan mahasiswa masih dangkal. Karena itu, hanya dengan pemahaman toleransilah yang mendorong sikap bijak itu bisa dihasilkan.
Agen Literasi
Salah satu upaya membuka cakrawala mahasiswa adalah melalui dunia literasi. Literasi bisa diartikan sebagai gerakan menyadarkan mahasiswa melalui kegiatan membaca dan menulis. Gerakan literasi bisa menjadi tongkat penuntun penunjuk jalan keislaman yang penuh perdamaian. Mereka akan sadar dari pemahaman sendiri bukan dari doktrin pengajar atau pihak lainnya.
Sayangnya, tingkat literasi bangsa Indonesia masih rendah. Misalnya, literasi kemampuan sains dan membaca di negara-negara OECD menempatkan Indonesia diurutan 60-an secara konstan dari 65 negara dalam beberapa tahun terakhir. Begitupula, jumlah publikasi riset yang terindex tahun 1996-2013 oleh jurnal Internasional misalnya, Scopus urutan Indonesia sekitar 62 dari 239 negara.
Lemahnya budaya literasi berkaitan langsung dengan rendahnya minat membaca berbagai literatur. Sebenarnya isu-isu mengenai Islam radikal sudah tertera dalam literatur keislaman, namun minimnya budaya baca membuat permasalahan ini menjadi hal yang baru.
Kegiatan literasi tidak hanya menitikberatkan pada buku saja. Lebih dari itu, membaca juga dapat dimaknai secara luas, karena banyaknya informasi yang berbentuk nonteks. Memverifikasi, menganalisis, dan menguji coba tentunya terkait dengan berpikir kritis (critical thinking) dan rasional didapatkan dari kepekaan yang diikuti dengan rasa empati. Sehingga literasi mengatur pola pikir dan perilaku yang toleran sekaligus menguatkan solidaritas antar sesama.
Implementasi literasi dapat diawali dari lingkungan yang paling kecil, yaitu individu. Kemudian dilakukan dalam keluarga yang menjadi lingkup terdekat dengan individu tersebut. Untuk pengaplikasiannya di dunia pendidikan, bisa dilakukan dengan pembuatan mading. Karya mahasiswa dapat dibaca semua orang dan memberikan semangat lebih dari dalam dirinya.
Memupuk Generasi Toleran
Untuk menumbuhkan pemikiran toleran dari mahasiswa dibutuhkan waktu yang panjang dan konstan. Tanggung jawab tidak hanya diletakkan di pihak sekolah, namun keluarga, masyarakat, maupun negara memegang peranan besar. Walaupun begitu, sekolah menjadi sektor krusial pembentukan moral anak. Dimulai dengan menanamkan peraturan sekolah yang bersumber dari Pancasila, pengamalan nilai agama, nilai luhur budaya lokal, serta rasa tanggung jawab sebagai masyarakat multikultural.
Pengajar hendaknya membantu siswa menemukan dirinya sendiri dan membentuk potensi mereka secara utuh. Menanamkan sikap menghormati terhadap perbedaan hingga menjamin kesetaraan belajar diantara mereka. Memberikan ruang bagi perbedaan dan menjadi suri tauladan yang terefleksi melalui ucapan dan tindakannya.
Kalau perlu generasi mengupayakan giat agenda literasi baca yang tinggi guna meningkatkan daya kreativitas dan pemikiran generasi Indonesia yang bertumbuh toleran. Hal ini perlu jadi acuan semua dalam rangka mewujudkan literasi yang mengentaskan intoleransi dan radikalisasi.
Namun, semua rencana ini tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya campur tangan dari pemangku kepentingan. Negara harus menyediakan ruang dan sarana seluas-luasnya untuk mengkapanyekan gerakan literasi di semua kebijakannya. Meningkatkan kualitas pendidik adalah salah satu upaya untuk membangun budaya literasi yang kuat. Karena dari pengajarlah akan muncul generasi baru dan toleran.