28.5 C
Jakarta

Filicide dan Media Sosial: Support Sistem atau Toxic People?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanFilicide dan Media Sosial: Support Sistem atau Toxic People?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Masih belum kering ingatan saya tentang Kunti Utami yang menggorok 3 anaknya pada tahun 2022 silam. Satu meninggal dunia sedangkan yang lain berhasil selamat. Kini, kasus serupa kembali terjadi. Kali ini berasal dari wilayah kelahiran saya. Baru-baru ini, seorang ibu muda di Jember membunuh dua anaknya yang masih balita, lantas ia sendiri gantung diri. Ironisnya, fenomena filicide atau orang tua membunuh anaknya sendiri, bukan kali ini terjadi.

Ada banyak kasus serupa di mana perempuan menjelma menjadi sosok yang paling rentan mengalami depresi, namun lingkungan dan keluarga tidak peduli. Bila kasus ini mencuat ke permukaan lalu tersebar di media sosial, maka perempuan tersebut ibarat jatuh ke atas tanah, dan masih tertimpa tangga pula. Benar era digital adalah sebuah keniscayaan. Namun, kolom komentar di media sosial tak ubahnya tempat sampah yang menampung segala bentuk ucapan.

Sialnya, laporan Digital 2021: The Latest Insight Into The State of Digital menyebutkan bahwasannya 170 juta dari total 274,9 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial. Artinya, tak hanya generasi Y saja yang menjadi konsumen media sosial, melainkan generasi digital natives—terdiri dari dua golongan, yakni generasi milenial atau mereka yang lahir pada 1981-1995 dan generasi Z atau mereka yang lahir pada tahun 1996-2010—juga memiliki peran.

Dengan begitu masifnya pengguna media sosial di negara ini, maka wajar jika penelitian Homewood Health United Kingdom menyebutkan bahwasannya 47% perempuan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan mental daripada pria yang sebanyak 36%. Salah satu faktor utama penyebab perempuan depresi adalah komentar buruk terhadap mereka.

Ya, kultur masyarakat yang membebankan pengasuhan anak hanya pada seorang ibu, seringkali membuat sang ibu merasa bersalah. Ibu selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang terkadang disebabkan karena komentar buruk orang lain. Belum lagi faktor yang lain, misalnya hidup dalam kemiskinan struktural sehingga melahirkan fenomena orang tua membunuh anaknya.

Dalam banyak studi disebutkan bahwa kemiskinan dapat menimbulkan konsekuensi gangguan kesehatan mental (Knifton dan Inglis, 2020). Dengan banyaknya kerentanan itulah, maka tak heran kasus filicide masih sering terjadi.

Mendapati fenomena mengerikan ini, saya teringat akan kisah Drupadi dalam cerita wayang, di mana ia tidak bisa memilih takdir saat menjadi istri bagi kelima Pandawa. Cerita bermula saat Yudhistira memenangkan sayembara, dan ia menemui Dewi Kunti—ibu Pandawa—untuk mengabarkan kemenangan tersebut.

Sebagaimana kebiasaan sebelum-sebelumnya, ketika Yudhistira memenangkan sayembara, maka hadiah lomba harus dibagikan ke saudara yang lain. Tak heran, ketika itu Dewi Kunti menyuruh anaknya membagikan hasil lomba kepada Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, tanpa melihat apa yang dibawa Yudhistira.

Setelah keluar kamar, Dewi Kunti benar-benar tercekat saat mengetahui hadiah lomba ternyata Drupadi. Nasi telah menjadi bubur. Drupadi terpaksa menuruti takdir buruk dengan menjadi istri bagi kelima punggawa.

Sialnya lagi, ia kembali mengalami nasib pincang kala Yudhistira kalah dalam meja judi melawan Kurawa, di mana Drupadi menjadi taruhan tanpa ia ditanya persetujuannya terlebih dahulu menjadi barang taruhan.

Di sinilah letak ketidakberdayaan Drupadi. Ia terpaksa menurut saat tubuhnya dipermalukan di depan Kurawa. Ia hanya bisa mengutuk keadaan tanpa bisa melawan. Kondisi yang dialami Drupadi seakan-akan simbolik perempuan yang tidak memiliki dukungan dari keluarga dekat.

BACA JUGA  Haruskah Mencintai Pasangan Apa Adanya?

Dari uraian singkat tentang Drupadi, kita bisa menarik kesimpulan betapa support system memiliki peran fundamental. Bila tidak, maka kesehatan mental taruhannya, dan fenomena filicide akan terus terulang di masa depan.

Sialnya, tak banyak orang memahami tentang apa support system yang baik. Entah ia laki-laki atau perempuan bahkan yang mengenyam pendidikan bangku perkuliahan pun tak mampu menciptakan suasana yang saling mendukung.

Sulit memang mengingat tipikal masyarakat kita yang gemar menjatuhkan. Bahkan ketika ada seseorang yang datang bercerita akan keresahan hidupnya, masyarakat kita cenderung tidak menghargai, menghakimi, membandingkan dengan masalahnya sendiri atau meremehkan masalah orang tersebut. Padahal mental tiap orang tidak bisa disamakan.

Dalam kasus Kunti saja, misalnya, masyarakat Indonesia berbondong-bondong mencela, alih-alih bersimpati. Memang perbuatan Kunti menggorok anaknya tidak dapat dibenarkan secara agama sekaligus dalam ranah pidana.

Tetapi, menyalahkan Kunti seorang adalah perbuatan tak adil. Saya sangat yakin, umpama Kunti memiliki support system yang kuat, niscaya akan beda cerita. Tapi, Kunti tidak begitu. Bertahun-tahun ia memendam seorang diri serupa lava dalam perut gunung.

Bahkan dari video interogasi Kunti yang tersebar, kita akan mudah menemukan caci maki di luar nalar. Ada yang menyebut Kunti sebagai perempuan matre; kurang iman; ada yang menggunakan bahasa satir nan menyindir dengan memberi ucapan selamat kepada Kunti sebab anaknya langsung masuk surga.

Bahkan ada yang menyalahkan Kunti sebab mau berhubungan seksual dan memiliki anak padahal hidup dalam kemiskinan. Sialnya lagi, cacian semacam ini tidak mengenal gender. Tak laki-laki, tak perempuan, sama-sama menghakimi Kunti.

Tidak mengherankan jika penelitian Microsoft yang dirilis Februari 2021 menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia menduduki peringkat terbawah se-Asia Tenggara sebagai netizen paling tidak bertata-krama. Hal ini dilatarbelakangi banyaknya komentar-komentar tak beradab yang berseliweran di mana-mana.

Segala bentuk cacian tersaji tanpa tedeng aling-aling tersedia di kolom komentar. Bahkan unggahan misoginis dapat kita temui dalam hitungan detik, dan postingan tersebut mendapat dukungan dari mereka yang berpikiran senada. Sungguh ironis sebab Indonesia dikenal sebagai negara religius, namun perilakunya tak mencerminkan ajaran agama.

Keadaan ini tentu tak bisa didiamkan begitu saja. Narasi-narasi maskulinitas beracun di media sosial sudah semestinya mendapatkan perhatian. Misalnya, dengan membuat meme lucu sebagai bentuk perlawanan.

Soal efektivitas gerakan menggunakan meme lucu, barangkali tidak semudah menyebarkan berita hoaks yang langsung terserap benak masyarakat. Hal ini terjadi sebab diktum bad news is a good news (kabar buruk adalah berita bagus) adalah adagium yang masih bertahan sampai sekarang. Namun, diam tanpa melakukan apa-apa justru akan memperparah keadaan.

Oleh karenanya, mari kita akhiri kebiasaan menghakimi satu sama lain. Telah telah cukup selama ini kita menciptakan pepatah tandingan dari yang semula mulutmu harimaumu menjadi jemarimu harimaumu. Bila kita tidak mengakhiri, bukan tidak mungkin para perempuan akan megap-megap di dunia nyata maupun di dunia maya. Bukan hanya kesehatan mental. Bahkan nyawanya pun menjadi barang taruhan.

Nurillah Achmad
Nurillah Achmad
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru