29.5 C
Jakarta

Etika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024

Artikel Trending

KhazanahOpiniEtika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Suhu politik semakin panas menuju Pemilu 2024 pada Febuari mendatang, yakni bulan depan. Persaingan, adu gagasan, dan saling kritik-sindir satu sama lain kian terlihat di media sosial. Secara tidak langsung, itu menimbulkan ketegangan sosial di tengah masyarakat, khususnya kalangan bawah alias akar rumput.

Jika ditelaah, memanasnya tensi politik akhir-akhir ini di antara pasangan calon presiden dan wakil presiden disebabkan berbagai faktor, salah satu faktornya ialah perbedaan sudut pandang dan visi-misi tentang membangun negara.

Ditambah faktor eksternal yakni para pendukung baik dari level atas, menengah, maupun bawah sehingga menambah suhu panas. Misalnya yang sudah diberitakan Jitu News, yang menjadi bukti faktual bahwa memanasnya tensi politik disebabkan karena perbedaan visi-misi, dan fanatisme dukungan.

Situasi dan kondisi semacam itu tidak bisa terus dibiarkan. Harus ada upaya-upaya konkret dari tokoh-tokoh bangsa sebagai pemersatu, ormas keagamaan-sosial, pemerintah yang ada, aparat, ditambah dengan strategi yang perlu dilakukan oleh masyarakat sipil.

Di antaranya memiliki dan menerapkan etika politik berbasis religi yang dapat membantu untuk berpolitik cerdas, damai, bijak dan tetap menjaga persatuan bahwa Indonesia negara demokrasi yang warga negaranya memiliki hak penuh untuk menentukan pilihannya.

Etika politik berbasis religi mengajarkan bahwa praktik politik harus diikat oleh etika-etika agama yang baik. Misalnya toleransi, kasih sayang, terbuka, moderat, saling menjaga, menjaga kebersamaan, menjaga kehormatan satu sama lain, empati, simpati, mencintai persatuan, saling membantu dan sejenisnya.

Etika politik berbasis religi ditawarkan sebagai dasar bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama, sesuai sila pertama dalam Pancasila. Juga secara sosial geografis masyarakat kita taat beragama dibuktikan dengan banyaknya agama yang tumbuh di Indonesia dengan konsep rukun damai.

Oleh sebab itu, etika politik berbasis religi relevan dengan ciri khas masyarakat Indonesia dan relevan dengan ideologi Pancasila. Etika politik berbasis religi diharapkan memberikan suasana baru; kedamaian di tengah memanasnya tensi politik menjelang pemilu 2024 mendatang.

Masyarakat dan pendukung paslon termasuk ketiga paslon harus menyuguhkan praktik politik yang etis sesuai titah agama yang mencakup kemanusiaan, saling menghargai, dan tidak saling menjatuhkan. Artinya mereka harus lebih fokus mendesain dan memaksimalkan program-program yang akan dilakukannya ke depan jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Adu gagasan, trobosan, ide, solusi, strategi di berbagai bidang untuk bagaimana Indonesia dan rakyatnya bisa maju, sejahtera dan kuat di kancah global.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

Adu gagasan dan optimalisasi program kerja menjadi kunci untuk menanggalkan suhu politik yang kian panas yang dapat menimbulkan perpecahan dan konflik sosial maupun golongan. Praktik etika politik berbasis agama menjadi pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan dari atas sampai bawah, tidak hanya dilaksanakan untuk masyarakat bawah saja.

Artinya, semua punya tanggung jawab dan kewajiban untuk melaksanakan etika politik berbasis agama. Sudah tidak zaman lagi berpolitik dengan hanya mengandalkan logika dan narasi, tetapi juga diimbangi dengan kejernihan hati, kekuatan agama sebagai fondasi.

Etika politik berbasis religi menjadi alternatif dalam mendinginkan suasa dan tensi politik nasional. Stabilitas dan persatuan adalah hal mutlak yang wajib dijaga serta diutamakan oleh semua elemen bangsa, di atas kepentingan pribadi, koalisi, partai maupun golongan.

Etika politik berbasis religi mengajarkan kepada kita semua bahwa nilai kemanusiaan, hak, persaudaraan, dan persatuan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Itu titah semua agama, sehingga praktik politik yang hanya mementingkan ego untuk menang tanpa mempertimbangkan dampak sosial atau lainnya maka tidak termasuk praktik politik cerdas.

Seharusnya selain mementingkan “ego” atau kepercayaan diri untuk menang juga memperhatikan kanan-kiri agar tetap menjaga marwah dan tali persaudaraan. Sehingga siapa pun yang menang, semua kalangan menerima dan bersatu padu untuk ikut membangun bangsa. Hal tersebut memang dibutuhkan jiwa yang besar, kerendahan hati dan pikiran yang jernih.

Dengan demikian, strategi etika politik berbasis religi sebagai upaya mengingatkan dan mengembalikan pemahaman masyarakat dan tokoh-tokoh bangsa serta ketiga paslon untuk menjaga persatuan, harmonisasi, dan kedamaian sebagaimana perintah semua agama.

Hal ini dapat memberikan edukasi sekaligus pesan kepada generasi penerus bangsa bahwa praktik politik di Indonesia tetap menjunjung tinggi persatuan dan kebersamaan dalam bingkai persaudaraan yang kokoh. Itulah kunci untuk terus menjaga keberlangsungan hidup dan eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan sedikit memberikan sumbangsih kejernihan pikiran masyarakat sehingga bisa sama-sama mengawal politik yang cerdas, jujur, adil dan damai di Pemilu 2024 mendatang. Polarisasi harus dilawan. Kontra-polarisasi menjadi niscaya. Agar perpecahan seperti pada Pemilu 2019 tidak terulang pada Pemilu bulan depan.

Dr. Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd
Dr. Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd
Dosen Agama Islam Universitas Dinamika Surabaya

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru