27.2 C
Jakarta

Edukasi Seksual Inklusif Guna Mitigasi Sexual Violence dan Harassment pada Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanEdukasi Seksual Inklusif Guna Mitigasi Sexual Violence dan Harassment pada Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comSexual violence atau kekerasan seksual bisa terjadi tidak hanya di dalam area sekolah namun juga bisa di luar sekolah. Berdasarkan Sexual Offences Act 2003, terdapat beberapa jenis sexual violence seperti: Rape (pemerkosaan), Assault by Penetration (Pelanggaran hubungan seksual dengan penetrasi atau hubungan seksual disengaja dan tanpa persetujuan, Sexual Assault (Pelecehan Seksual meliputi sentuhan seksual tanpa persetujuan), dan Causing someone to engage in sexual activity without consent (Menyebabkan seseorang terpaksa melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan) atau consent (hak dan kapasitas untuk memilih terjadinya hubungan seksual).

Dan Sexual Harassment sendiri merujuk pada ‘unwanted conduct of a sexual nature’ atau perilaku seksual yang tidak diinginkan baik secara offline maupun online contohnya seperti sexual comment: mendegradasi atau mengintimidasi, merendahkan, menghina bahkan menceritakan kisah seksual dan membuat lelucon atau lewd comments terkait pakaian, penampilan dan menyebut hal merujuk pada sexual things. Kedua hal ini perlu segera menjadi perhatian inti pemerintah di samping kasus covid 19 yang masih ada.

International technical guidance on sexuality education: An evidence-informed approach terbitan UNESCO Tahun 2018 adalah salah satu upaya dunia internasional melalui World Health Organisation (WHO) untuk memberikan Bimbingan teknis terkait pendidikan seksualitas yang bertujuan untuk pendampingan pendidikan, kesehatan dan otoritas lain yang terkait dalam pengembangan dan pelaksanaan program dan materi pendidikan seksualitas komprehensif baik di sekolah dan di luar sekolah.

Bisa dikatakan bahwa lembar panduan Comprehensive Sexuality Education (CSE) WHO ini sebagai propaganda tools dunia guna menyadarkan pentingnya pendidikan seksual inklusif yang diharapkan dapat diimplementasikan menyeluruh khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah. Namun panduan ini, rasanya belum termanfaatkan dengan cukup baik sebagai pendamping kurikulum edukasi seksual di Indonesia.

Padahal, Dunia menyarankan pemerintah dan institusi akademik untuk mengikuti pedoman pendidikan seks dari World Health Organisation (WHO) ini untuk dapat membantu peserta didik memahami berbagai aspek seksualitas dan kesehatan reproduksi. Mengingat, Modul pedoman WHO menjabarkan dengan detail mengenai poin-poin pembelajaran penting mulai dari etika hubungan remaja, menghormati batasan dari orang lain, dan penggunaan etis dari media sosial.

Dikutip dari theconversation.com, beberapa akademisi berpendapat tentang bagaimana cara yang tepat mengajarkan pendidikan seksual di Indonesia, yang hingga hari ini belum memiliki kurikulum formal di sekolah. Bahkan jauh sebelum sekarang, Sawyer et al pun, pada tahun 1998 telah mewawancarai 51 orang dewasa muda, dan hasilnya cukup mencengangkan, 95% dari mereka, menyatakan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang pendidikan seksual dan reproduksi.

Vis a vis dengan yang terjadi saat ini di beberapa sekolah di Indonesia, fenomenanya tampak sexual education di Indonesia baru mengajarkan aspek-aspek yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, namun limitation-nya masih pada ancaman untuk tidak melakukan seks dan penyakit menular seksual (PMS). Nyaris tidak ter-highlight pendalaman materi yang fokus pada seksualitas, persetujuan hubungan maupun sentuhan dengan orang lain (consent), dan serta isu lain terkait dengan gender matters.

Adanya Permendikbud No. 30 tahun 2020 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus mungkin baru dapat mengakomodir kasus yang berada pada level perempuan muda, dan belum dapat mengakomodir penegakan hukum pada level sekolah dasar dan menengah.

Pertanyaanya sekarang adalah, apakah Pemerintah sudah melakukan upaya terbaiknya untuk menangani kedaruratan isu ini? bertolak dari upaya keras pemerintah, nampaknya terlihat suatu pertentangan yang masih belum usai, di kalangan “ATAS” terkait dengan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang rencananya akan dijadikan UU. Padahal, status isu dan kasus ini sudah di level darurat dan perlu segera mitigasi serta penanganan dengan payung hukum yang sah untuk melindungi hak para perempuan di level bawah hingga atas.

RUU TPKS yang seyogianya segera disahkan untuk mematikan gerak para predator seks, seharusnya sudah tidak perlu terus diperdebatkan. Hiatus ini akan menjadi boomerang, bahkan hingga hari ini, sexual violence dan sexual harassment pada perempuan tragisnya, terus terjadi.

Sepanjang tahun 2020, tercatat dalam komnasperempuan.go.id adanya jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sebesar 299.911 kasus, dengan bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) yang menempati peringkat pertama, disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).

Selain beberapa kebijakan yang telah diupayakan oleh Pemerintah mulai dari RUU TPKS yang akan menjadi UU dan adanya Permendikbud 30/2020, sebetulnya ada pula beberapa inisiatif yang serupa, yaitu penyediaan ruang aman bagi orang tua guna membicarakan perkembangan anak, seperti Program Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dari pemerintah. Meski sekali lagi, reach level-nya masih terbatas dan kontennya tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi juga masih terbatas.

Namun pertanyaannya selanjutnya yaitu, mengapa masih marak sexual violence dan harassment terjadi di Indonesia baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah? Kita lihat lagi beberapa isu aktual dari pemberitaan saat ini;

Pertama, adanya kasus belasan santriwati dibawah umur yang disetubuhi paksa hingga melahirkan 9 bayi tanpa pernikahan oleh seorang oknum yang mengaku dirinya adalah seorang guru ngaji bernama Herry Wirawan di Pesantren Manarul Huda di Cibiru, Bandung, Jawa Barat. Kasus ini termonitor sudah masuk sidang dakwaan sejak 11 November 2021.

Kedua, sexual violence berupa pencabulan terhadap anak dibawah umur yang masih berusia 7 dan 5 tahun dilakukan oleh sejumlah anggota keluarga di Padang.  Kedua bocah malang tersebut dicabuli oleh kakek, paman, kakak, serta tetangganya. Para pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur itu kini 4 diantaranya telah diringkus Tim Klewang Stareskrim Polresta Padang, Rabu, 17 November 2021. Mereka diamankan di kawasan Mata Air, Padang Selatan, Kota Padang, Sumatra Barat.

BACA JUGA  Membantah Stereotipe: Perempuan, Gender, dan Terorisme di Indonesia dan Pakistan

Ketiga, kasus kematian tragis mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Novia Widyasari Rahayu (23 Tahun) menjadi pelajaran mendalam bagi upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini diungkapkan langsung oleh Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani. Novi Widyasari Rahayu (23) diketahui telah menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh kekasihnya, seorang oknum anggota polisi bernama Bripda Randy Bagus. Kekerasan seksual yang dialami oleh Novia berupa pemerkosaan, ancaman aborsi, hingga tindakan aborsi itu sendiri yang berulang hingga 2 (dua) kali.

Dari ketiga contoh kasus terbaru diatas, membuktikan bahwa benar adanya, Indonesia saat ini darurat edukasi seksual inklusif. Pendidikan ini perlu diimplementasikan tidak hanya untuk perempuan namun juga untuk laki-laki. Sehingga perempuan dapat menjaga dirinya sendiri dan laki-laki dapat memberikan perlindungan kepada perempuan yang ada disekitar mereka.

Tidak sedikit, diantara korban sexual violence dan sexual harassment kemudian melakukan tindakan yang tragis seperti Novia yang kemudian depresi hingga mengakhiri hidupnya dengan meminum racun sianida. Hal ini adalah salah satu representasi dari dampak psikologis yang dialami oleh korban.

Hal ini sudah dikemukakan oleh National Sexual Violence Resource Center 2018 dalam laporannya yang dikemukakan bahwa “Young people who experience sexual violence may experience: Poor academic performance,Sexual risk taking behavior, Pregnancy, and Self-harm” yang secara tidak langsung mengungkapkan adanya potensi para remaja yang mengalami kekerasan seksual mengalami kegagalan dalam proses pendidikannya seperti nilai akademik yang buruk, Sexual risk taking behavior atau perilaku pengambilan risiko seksual seperti tindakan aborsi, kehamilan, hingga mampu menyakiti diri sendiri dengan berbagai dampak frustrasi diri.

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah CSE sudah benar-benar diterapkan di Indonesia? Kita llihat beberapa fakta berikut:

  1. Indonesia telah memiliki Pendidikan kesehatan reproduksi yang dituangkan dalam di setiap jenjang pendidikan sesuai kurikulum pembelajaran tahun 2013, namun masih terbatas pada ancaman untuk tidak melakukan seks sebelum menikah. Materi yang fokus pada seksualitas, persetujuan hubungan badan dan sentuhan (consent), dan isu lain mengenai gender masih sangat minim.
  2. Pada level Sekolah Dasar yang belum memiliki mata pelajaran yang bersifat eksak terkait reproduksi atau seksual, tidak dapat diberikan secara eksplisit namun hanya sebatas pengetahuan verbal dari guru yang ada pada level sekolah tersebut.
  3. Dikutip dari id, Sri Wiyanti, Ketua Law and Gender Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengemukakan adanya fakta bahwa “pada level penentu kebijakan masih belum berani (menerapkan kurikulum formal pendidikan seks), karena masih terbawa wacana dari kelompok tertentu yang hanya melihat pendidikan seks sebagai isu moral dan bukan sebagai kebutuhan, Panduan lengkap Comprehensive Sexuality Education (CSE) dari WHO dan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya, didesain utamanya untuk pendidikan primer dan sekunder, serta menawarkan suatu pendekatan pendidikan seksualitas berbasis hak asasi manusia.”
  4. Pendidikan seksual di Indonesia seringkali dipukul rata atau disamakan dengan pendidikan kesehatan reproduksi, padahal kenyataannya tidak demikian. Pendidikan seksual merupakan bagian dari pendidikan reproduksi. Dalam penyampaian tentang pendidikan kesehatan reproduksi, konten mengenai seksualitas juga dapat disampaikan.

Berangkat dari temuan diatas, penulis memberikan beberapa rekomendasi guna terwujudnya sexual education yang comprehensive (CSE implementation) atau edukasi seksual inklusif sebagai upaya untuk mencegah adanya sexual violence dan sexual harassment pada perempuan di Indonesia;

  1. Memasukkan pendidikan seksualitas dalam kurikulum di pendidikan sekolah. Ruang-ruang kelas harus dipenuhi dengan diskusi tentang seksualitas yang menyenangkan, para guru perlu dibekali informasi yang benar tentang seksualitas sehingga mereka mampu mendidik para siswanya agar tidak malu mendiskusikan tentang seksualitas.
  2. Implementasi Comprehensive Sexuality Education berdasar panduan dari WHO yang menekankan pentingnya menempatkan consent dan etika berhubungan dengan orang lain sebagai fondasi kurikulumnya.
  3. Implementasi pendidikan kesehatan reproduksi harus disesuaikan secara multilevel (di seluruh jenjang Pendidikan dan disesuaikan dengan kemampuan
  4. Intervensi tenaga medis dalam menjelaskan materi terkait sex education, pregnancy, dan hal yang berkaitan serta tahap pengembangan anak diserahkan kepada para ahli psikologi yang lebih mengerti mengenai development stage dari setiap generasi.
  5. Penyesuaian dan Modifikasi Pendidikan Seksual guna terwujudnya edukasi seksual di multilevel yang inklusif. (mempertimbangkan deliverables materi pendidikan seks yang inklusif terhadap usia, umur, kultur, dan kemampuan).
  6. Masyarakat Indonesia tidak lagi mengkonotasikan edukasi seksual sebagai ajakan untuk melakukan seks atau semacamnya dan tidak lagi memperdebatkan consent.
  7. Meminta masyarakat turut mengawasi implementasi kurikulum yang dilakukan oleh Disdik dan sekolah.
  8. Memperkuat peran orang tua pada pendidikan seksual serta menyarankan sekolah dasar mengikutsertakan dan membekali orang tua dengan panduan dan materi pendidikan seksual pada anak baik perempuan maupun laki-laki.
  9. Pembentukan kelompok-kelompok yang berisi guru dan murid yang bertemu secara rutin agar upaya pengajaran di sekolah dan di rumah bisa berjalan secara sinkron.

Oleh karena itu, memberikan pendidikan seksualitas pada anak-anak sedini mungkin menjadi sangat dibutuhkan. Adanya keterlibatan dari seluruh elemen masyarakat mulai dari orang tua, masyarakat, para tenaga medis, serta pemerintah akan mampu mewujudkan Indonesia cerdas dan bebas dari sexual violence dan harassment.

Kehadiran orang tua sebagai teman baik bagi anak-anak untuk berkomunikasi terkait dengan persoalan pada ranah privat perlu terus diperkuat serta menciptakan lingkungan masyarakat yang ramah bagi anak dan perempuan khususnya agar terhindar dari sexual harassment. Variabel-variabel inilah yang menentukan kualitas pertumbuhan anak, baik secara sosial maupun psikologisnya.

Mari kita selamatkan generasi muda Indonesia menuju Indonesia gold generation 2045!

Siska A., M.Han
Siska A., M.Han
Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru