31.9 C
Jakarta

Dramaturgi dan Dosa Besar Menjelang Pemilu 2024

Artikel Trending

Milenial IslamDramaturgi dan Dosa Besar Menjelang Pemilu 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Entah gelombang apa yang menjangkiti hidup kita. Semua menderu dalam ucap dan merasa pantas bertindak dalam sikap. Tak butuh menepi, meresapi, menghayati. Kita justru pergi menunjukkan siapa, meski gampang tersulut amarah.

Kita gampang berulah dan kebijaksanaan norma sosial terlewat. Gelombang kebencian menyeruak dan kevitalan pertemanan serta kekeluargaan berjarak. Semua saling intip dengan mencari celah salah untuk diintai. Kapan mereka melakukan salah, kami siap akan mencerca. Begitu sebaliknya.

Dramaturgi dan Dosa Besar

Segala kesalahan ramai tanggapan. Kita makin antusias berkomentar tentang kehidupan liyan. Semua merasa punya otoritas meski defisit pengatahuan dan akhlak. Prilaku keculasan menebar dan kebencian diekspresikan dalam kerumunan. Dramaturgi ini, menyebabkan kebisingan, tanpa perenungan hingga tercipta kegaduhan.

Kita bersewenang memberi tafsiran dan bahkan menviralkan. Diam-diam menyetujui lantaran ada sensasi menyenangkan. Barangkali, kita sudah hidup di kehidupan seperti kata Ronggowarsito di zaman edan.

Keinginan dipandang tinggi membumbung tinggi dengan cara berkomentar tentang apa dan siapa, sehingga seperti kata Bre Renada semua merasa berhak menjadi wartawan meski jauh dari pengalaman atau itulah sikap dari otoritas keawaman.

Ketidakdalaman keilmuan menyababkan kedangkalan berkomentar hingga terjerumus ke sesat nalar. Akibatnya, kebencian makin tebal, hoaks bermunculan, meme-meme cacian bertebaran, dan kesalehan diambang kerapuhan. Situasi ini disebut oleh Tom Nichols dengan matinya kepakaran (2018).

Orang-orang sudah mengabaikan pandangan pakar, ilmuwan, ilmu pengetahuan. Era di mana defisit kepercayaan terhadap pakar dan menguatnya anti intelektualisme kepakaran. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh budaya komentar yang tak disertai data, fakta, kajian ilmiah yang kokoh serta valid. Situasi ini efek Dunning-Kruger, yakni “semakin bodoh orang, maka semakin yakin kalau orang itu tidak bodoh.

Artinya ia mengidap penyakit solipsisme: orang itu merasa pendapatnya selalu benar, pasti benar, dan tak akan perna salah, meskipun ia salah. Sehingga, ia mengangap keputusan tentang kehidupan yang sebetulnya salah dianggap bukan kesalahan. Dan pantas menyebut dirinya berada dalam kebenaran atau seperti kata Radhar Panca Dahana berada pada budaya di kebenaran keliru.

BACA JUGA  ISIS Indonesia dan Ancaman Terdekat Kita: Upaya Preventif

Hilang Sikap Keadaban

Memang kita menganut paham demokrasi. Kita bebas berpendapat dan setara dalam hidup. Tetapi, prinsip itu menjadi tidak bermakna ketika di dalamnya seperti kata Hebermas tidak menjunjung sikap-ikatan keadaban. Demokrasi mencapai kondisi ideal, jika warganya seperti kata Daoed Joesoef dalam Bukuku Kakiku (2004) gemar membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.

Fenomena ini tidaklah baru, sebagaimana sikap di atas, terjadi hampir di seluruh dunia dari masa ke masa. Persekusi terhadap yang berbeda pemahaman. Pengusiran diskusi, ceramah, seminar yang berbeda keyakinan. Bahkan teror terhadap hasil karya ilmiah, pencopotan terhadap billboard dan saudaranya.

Pemahaman tak mungkin sama. Pilihan tak selamanya sama. Ia akan terus ada sesuai perkembangan manusia. Begitu juga keimanan, karena Tuhanlah yang membuat perbedaan. Tetapi, kita dituntut saling menghargai, berbagi dialog, netral dan lapang nalar serta meninggikan sikap religiusitas dan wawasan luas.

Kita ingat catatan Ahmad Wahib dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam (1995). Wahib menulis: “aku belum tahu apakah Islam itu sebanarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lainnya. Dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatannya.”

Wahib tak puas, terus mencari, tetapi bisa merawat tanggung jawab etis dan setia pada norma yang berlaku. Karena baginya, ketika tanggung jawab dilangkahi, yang terjadi hanyalah sikap tirani, anarki, dan eksklusivisme atau bisa jadi sikap menghukum orang dengan wewenangnya sendiri. Dan dramaturgi ini terjadi pada hari ini menjelang Pilpres di negeri tercinta kita ini.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru