Harakatuna.com- Pasca adanya konvoi yang dilakukan oleh organisasi khilafatul muslimin, disusul dengan penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, narasi pendukung oleh kelompok khilafah yang berhaluan sama, yakni mendirikan negara khilafah di Indonesia, terus bergulir.
Beberapa waktu lalu, muncul sebuah tulisan yang berjudul, “Waspadai Propaganda Hitam Soal Khilafah, Generasi Harus Speak out!”. Tulisan tersebut mengkritik kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang menangkap Abdul Hasan Qadir Baraja, sang pemimpin khilafah.
Melalui tulisan itu pula, konvoi yang sudah dilakukan oleh khilafatul muslimin seharusnya tidak perlu dipermasalahan oleh publik, khususnya pemerintah. Hal ini karena, dibalik penangkapan tersebut, ada misi pemerintah yang ingin dicapai yakni propaganda yang digemborkan adalah persoalan radikalisme.
Setidaknya melalui tulisan itu, pembaca akan memahami tentang posisi penulis sebagai kampanye khilafah, ada ketimpangan narasi yang tidak dijelaskan tentang posisi Abdul Qadir Hasan Baraja, adalah mantan narapidana yang dekat sekali dengan terorisme. Dari itupula, perlunya kekhawatiran yang harus muncul pada diri sendiri menyikapi gerakan yang dilakukan oleh khilafatul muslimin. Di sisi lain, sebenarnya masa bodoh keterlibatan itu. Sebab misi khilafatul muslimin tidak jauh berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibubarkan, tapi pengikut dan ideologinya masih terus menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Tidak hanya tulisan itu, sebuah video bisa kita akses di akun Youtube @MuslimahMediaCenter yang menyoroti konvoi khilafah. Alih-alih bukannya video itu menjelaskan tentang konvoi khilafah, justru mengkritik kapitalisme yang menjadi nilai gerakan pemerintah Indonesia.
Video itu mengkritik pemerintah kapitalis dan menyebutkan bahwa radikalisme adalah narasi yang dijual oleh pemeritah untuk menutupi kebobrokannya. Video itu pula mengajak para umat Islam untuk tetap tegak berjuang mendirikan negara khilafah dan menolak segala bentuk kapitalisme. Hal ini karena, dengan kapitalisme, negara Indonesia sangat jauh dari Islam. Terbukti dengan adanya LGBT, Korupsi, dll.
Melalui video dan tulisan di atas, kita memahami bahwa persoalan khilafatul muslimin, kelompok serupa, seperti HTI, berperan penting terhadap viralisasi. Mereka menjadi salah satu promotor untuk menjual narasi khilafah ke masyarakat dan menegaskan betapa pentingnya khilafah untuk negara Indonesia.
Isu khilafah bukan propaganda, radikalisme adalah persoalan kebangsaan yang wajib dilawan
Jika ada yang mempermasalahkan tentang pembahasan radikalisme dan terorisme, kita bisa mempertanyakan ulang, bagaimana sikap kebangsaan yang ditonjolkan oleh orang itu. Sebab jauh sebelum kontra narasi radikalisme dan terorisme diproduksi, Gus Dur sebagai salah satu tokoh yang sampai hari ini disebut bapak pluralisme, sudah sejak lama menolak kehadiran negara Islam yang dicita-citakan untuk Indonesia.
Penolakan negara Islam di Indonesia bagi Gus Dur bukanlah tanpa alasan. Sebab dalam konteks keberagaman, negara Islam bukanlah solusi dari setiap permasalahan yang ada, termasuk bukanlah solusi dari kebobrokan pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pelayan masyarakat.
Tidak hanya Gus Dur, Buya Syafii Maarif melalui pikiran, langkah, gerakan dan tulisannya, menolak keras tentang terorisme, fanatik buta terhadap budaya Arab, serta ideologi yang sangat bertentangan Pancasila dengan tujuan mendirikan negara khilafah itu.
Jika beberapa waktu lalu kita melihat kesigapan Singapura dalam mengatasi konflik keagamaan yang berkenaan dengan radikalisme dengan begitu tanggap, bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia yang beragama untuk mempertahankan kerukunan, persatuan dan kesatuan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Maka tidak ada upaya yang lebih baik dibandingkan upaya preventif untuk menyikapi persoalam radikalisme dan terorisme dengan gerak dan langkah cepat.
Kesigapan pemerintah dalam menanggapi khilafatul muslimin bukanlah bentuk propaganda hitam. Akan tetapi, upaya tersebut justru menjadi salah satu bentuk gerak cepat dalam menindak lanjuti pengkhianat bangsa Indonesia yang berusaha untuk membubarkan negara Indonesia dan menyebabkan kehancuran. Radikalisme dan terorisme adalah musuh yang nyata. Mereka bercita-cita menjadi muslim kaffah dengan menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam.
Padahal, menjadi muslim kaffah tidak terbatas pada perjuangan negara Islam. Lebih dari itu, menjadi muslim kaffah seharusnya bisa menerima segala perbedaan agama yang ada di Indonesia dan butuh aturan yang bisa menjadi solusi bersama bagi semua umat beragama, bukan hanya satu umat agama yang mayoritas. Wallahu a’lam