26.1 C
Jakarta

Cacat Nalar Poligami dalam Video “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”

Artikel Trending

KhazanahPerempuanCacat Nalar Poligami dalam Video “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Isu poligami belum selesai sampai sekarang. Ultimatum poligami yang disampaikan oleh ustaz Hafidin, ahli mentoring poligami, cukup mengagetkan masyarakat muslim Indonesia, terutama perempuan. Perempuan memang makhluk yang paling sensitif dengan poligami. Bagaimana tidak? Dalam poligami, perempuan lebih banyak menerima kerugian dibandingkan laki-laki karena posisi perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku.

Seperti video yang beberapa waktu lalu sempat viral, dalam “Buka Mata; Narasi Newsroom, Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”. Sejauh ini viewers mencapai hampir 2,5 juta dan pernah menempati trending 2 YouTube. Sejak kemunculannya, perempuan bahkan masyarakat muslim Indonesia menjadi geleng-geleng kepala. Hal ini terlihat pada kolom komentar YouTube mencapai 37 ribu dan banyak perempuan.

Video “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar” menunjukkan eksistensi poligami bukan lagi menjadi ranah privasi tetapi sudah merambah pada mentoring yang sifatnya terbuka, bahkan iklannya banyak ditemukan pada sosial media seperti Instagram. Sang mentor sendirilah yang menyatakan membayar iklan di Instagram dalam waktu satu bulan sebanyak dua juta rupiah.

Hanya saja apa yang diungkapkan oleh Hafidin tentang poligami banyak menimbulkan kontra. Beberapa pernyataan beliau memang jauh dari nalar-nalar otentik ajaran Islam.

Pertama, doktrin yang berulang-ulang yang diungkapkan Hafidin tentang ketaatan istri kepada suami. Ketaatan istri kepada suami salah satunya termanifestasi dan diukur dengan mau tidaknya seorang istri dipoligami. Apabila istri mau dipoligami, maka ia termasuk istri taat pada suami. Bahkan ia menuntut anak perempuannya kelak juga harus mau dipoligami.

Ia jelas menegaskan, “Apapun yang diperbuat oleh suami, tetap kita happy. Kenapa? Terserah kau lakukan apa yang kau mau. Hai suamiku. Fokusku hanya satu yaitu memberi yang terbaik kepadamu. Apapun yang terjadi aku tidak peduli yang penting apa yang bisa aku perbuat untuk suamiku, yang terbaik. Berarti kalau suami tidak reaksi baik kepada kita, marah gak kita? Tidak perlu marah. Karena saya berbakti kepadamu karena ingin mendapat pahala dari Allah, bukan dari suami”.

Tentu saja ini bertentangan dengan makna taat terhadap suami. Taat terhadap suami bukan berarti membenarkan semua perbuatan suami tanpa melihat sisi lain. Taat pada suami adalah kewajiban. Tapi apabila perintah suami bertentangan dengan syara’, seorang istri dapat mengajukan keberatan dengan tetap mengedepankan kesopanan dan cara yang baik dalam menolaknya. Atau, istri dapat mengajukan alternatif lain dari perintah suami.

Kedua, pernyataannya tentang perceraian. “Kalau saya pernah menikahi   perempuan. Yang dua sudah lepas. Yang kedua itu karena sudah monopouse. Kemudian tiba-tiba sudah monopouse, terus saya bilang masih pengen punya anak banyak. Padahal kan saya masih pengen punya anak”.

Dari pernyataannya tentang alasan perceraiannya dengan istrinya, tentu saja menyalahi etika suami kepada istri. Adapun salah satu dari dua belas etika suami kepada istri, salah satunya adalah menunjukkan cinta kasih. Seorang suami hendaknya selalu menunjukkan cinta dan kasih sayangnya kepada istri.

Dalam suasana marah sekalipun, suami tetap dituntut untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada istri. Lalu bagaimana jika seorang suami tiba-tiba menceraikan istrinya hanya karena monopouse? Tentu saja itu menyakiti hati istri. Apalagi istri yang sudah mendampinginya hingga usia menua.

Dalam kasus Hafidin, istri hanya dianggap sebatas ladang bereproduksi. Ketika ladang tersebut sudah tandus, maka berhak untuk ditinggalkan tanpa melihat sejauh mana ladang itu sudah bermanfaat baginya selama ini. Sama halnya dengan istri, jika istri sudah tidak mampu menjadi pabrik untuk reproduksi maka ia harus ditinggalkan demi keegoisan sang suami. Istri tidak dianggap sebagai pasangan yang harus dicintai sehidup semati.

BACA JUGA  Perempuan dan Anak di Medan Teror: Urgensi Kontra-Terorisme

Ketiga, “waktu nikah pertama saya diantar istri. Dan nikah selanjutnya saya tidak mau diantar oleh istri. Mereka taunya istri saya bawa pulang……………..seperti istri yang ini, waktu saya mau menikah. Istri saya tidak tau bahwa saya mau menikah. Saya nikah aja. Pas saya mau walimah di rumahnya, ia baru tau………… ngapain izin? Memangnya istri saya kepala dinas? Kan di sini dia mau manut saja”.

Pernyataan ketiga Hafidin menyangkut ketidakpentingan izin kepada istri sebelumnya untuk menikah lagi, dan menganggap bahwa istri sebelumnya seharusnya nurut dengannya tentu telah menyalahi aturan nalar beragama Islam dan aturan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

UU Perkawinan memberikan pengecualian bahwa laki-laki boleh memiliki istri lebih dari 1 dengan alasan tertentu. Hal ini termaktub di dalam pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 5 ayat (1). Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk berpoligami jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, terutama istri.

Pernyataan Hafidin menurut penulis jauh dari asas ini. Ia sama sekali tidak meminta izin dari istri sebelumnya untuk berpoligami. Syarat lain juga menyebutkan bahwa suami boleh berpoligami asal istri sebelumnya tidak bisa menjalankan kewajibannya, istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau istrinya tidak bisa memberikan keturunan.

Keempat, istri Hafidin menganggap bahwa poligami merupakan Syariah Islam. “Mungkin kalau boleh memilih, tidak ada yang mau dipoligami, tapi saya yakin karena poligami itu syariat ya bismillah aja dan yakin”. Nalar selanjutnya adalah nalar syariat. Semua istri Hafidin menganggap bahwa poligami merupakan syariat.

Padahal jika ditelisik lebih lanjut tentang konsep pernikahan dalam Islam, maka akan kita temui bahwa Islam pada dasarnya mengajarkan konsep atau asas pernikahan monogami. Menurut ijma’ ulama, Islam tidak mewajibkan dan tidak menganjurkan poligami.

Seperti juga ungkapan dari Syekh Wahab az-Zuhayli yang berpendapat jika poligami bukanlah bangunan ideal rumah tangga Muslim. Menurutnya, poligami sebatas pengecualian dalam rumah tangga. Hanya kondisi darurat saja laki-laki diperbolehkan poligami. “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami itu lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’.

Model poligami tidak dapat dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab umum dan sebab khusus.”. (Lihat syekh Wahbah az-Zuhayli, Al- Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/105 H, Juz 7, halaman 169)

Tidak hanya ada pada tuntunan agama. Sebagai warga negara Indonesia yang taat akan hukum negara, asas monogami juga sudah tercantum di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Thun 197 tentang perkawinan, bahwa seorang laki-laki hanya boleh mmempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

Hal tersebut jelas, syariat Islam tidak pernah mengajarkan poligami. Dan syariat Islam menyuruh pemeluk agama Islam untuk patuh atas aturan yang berlaku di negara tempatnya tinggal. Jika konteks negaranya Indonesia dengan asas perkawinan monogami, berarti hukum inilah yang didahulukan.

Dari beberapa pernyataan Hafidin, tidak ada satu pun pernyataannya yang dapat dijadikan pedoman dihalalkannya poligami. Fenomena mentoring poligami ini perlu mendapat perhatian khusus kalangan pemerintah bahkan masyarakat, baik yang dilakukan Hafidin atau Hafidin-Hafidin yang baru agar tidak meracuni nalar masyarakat.

Rosi Islamiyati
Rosi Islamiyati
Alumni Pascasarjana Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru