28.8 C
Jakarta

Blunder Ceramah Islamisasi Yahya Waloni

Artikel Trending

KhazanahTelaahBlunder Ceramah Islamisasi Yahya Waloni
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi lakum dinukum waliyadiin artinya “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Ayat ini menjadi sebuah term yang harus digarisbawahi dalam menyikapi kondisi sosial suatu wilayah agar bisa menempatkan diri untuk berperilaku. Termasuk juga blunder ceramah Yahya Waloni menjadi niscaya karena tidak paham makna dan esensi ayat ini secara benar.

Melalui ayat ini kita juga belajar untuk tidak memaksa orang lain memeluk agama seperti yang kita anut. Sebab di Indonesia Islam adalah agama mayoritas. Penting untuk kita sadari agar tidak memaksa orang lain menganut agama Islam.

Kebebasan beragama ini nyatanya tidak hanya tercantum dalam Al-Qur’an. Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur rakyatnya dengan memberi kebebasan dalam menganut agama dan kepercayaan yang diyakininya.  Term tersebut tertuang dalam UUD pasal 29 ayat 2 bahwa negara  “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”

Indonesia itu negara majemuk!

Ustad Yahya Waloni dalam salah satu ceramahnya, yang dilansir melalui sebuah akun youtube An-Najah TV, memiliki semangat menggebu-gebu untuk menyeru umat manusia beragama Islam, termasuk seruan bahwa umat kafir wajib memeluk agama Islam. Tanpa ampun, ceramahnya menyerukan untuk kembali ke Alquran dan hadis, wajib patuh! Tidak boleh melanggar! (kurang lebih demikian).

Ini yang tidak dipahami oleh sang ustadz ketika memaknai keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia. Tren ustad kekinian dengan ceramahnya yang begitu mudah mengkafirkan, hingga memaksa semua orang untuk memeluk agama Islam menjadi idola baru di tengah masyarakat kita dengan kemampuan ilmu agama yang masih harus dipertanyakan.

Jika melihat sepak terjangnya, Ustad Yahya Waloni memeluk Agama Islam sejak 2006 silam. Sebelumnya ia dan keluarganya adalah seorang Kristen. Bahkan salam sejarah perjalanannya, ia adalah mantan seorang pendeta ketika masih memeluk agama Kristen. Ia terdaftar sebagai pendeta pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di Tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana.

Ceramahnya terkenal frontal dan blak-blakan. Kerap kontroversial dengan topik utamanya misionaris dan kristenisasi (suarajakarta.id). tidak heran, ketika sudah belajar Agama Islam, kebiasaan berdakwah secara frontal, dibawa oleh dirinya.

Ini sebenarnya bukan trend baru dari kalangan muslim muallaf yang menjelma menjadi seorang ustad. Ustad Felix misalnya. Menjadi representasi kalangan muslim muallaf dengan followers media sosial yang banyak dan menjelma menjadi juru dakwah. Tidak heran jika keduanya (ustad Felix & ustad Yahya Waloni) disandingkan, mereka memiliki privilege sebagai seorang muallaf. Selanjutnya ketika keduanya mejadi juru dakwah, ceramahnya tidak lepas dari bagaimana menjadi muslim, menyeru untuk memeluk agama Islam dengan dalil-dalil agama yang diketahuinya.

BACA JUGA  Melihat Gerakan Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Pencegahan Radikalisme

Alih-alih ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan pemahamannya saat belajar agama Islam, sikap responsif yang ditunjukkan justru menciderai sikap kemanusiaan yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang muslim.

Blunder Ceramah Yahya Waloni

Hal yang begitu lucu juga ditampilkan oleh Ustad Yahya Waloni. Baru-baru ini yang menjadi hangat diperbicangkan oleh sebagian orang tentang cerita pengalaman dirinya dalam sebuah ceramah yang menabrak anjing. Seolah menjadi sebuah prestasi, dia dengan bangganya telah menabrak seekor anjing hingga pincang. Dengan alasan bahwa Anjing itu najis, ia berlagak sudah melakukan sebuah pahala ketika sudah menabrak seekor anjing.

Padahal sikap semacam ini seharusnya sangat dihindari oleh seorang yang mengaku dirinya muslim. Islam mengajarkan untuk saling menyayangi sesama makhluk Allah, tanpa terkecuali, termasuk anjing yang tidak membahayakan kepada orang lain. seharusnya prinsip saling menyayangi antar sesama menjadi salah satu bagian dari esensi Ajaran Islam yang ramah, damai dan rahmatal lil ‘alamin.

Menyikapi fenomena ini, kita sebagai muslim seharusnya bisa menela’ah secara kontekstual untuk mencari guru agama yang tidak hanya mengajarkan agama secara tekstual, bergurulah kepada guru ngaji yang mengajarkan bagaimana esensi ajaran Islam dengan melihat berbagai perilaku yang ditampilkan. Guru ngaji yang tidak hanya menyikapi kehidupan dari kacamata haram dan halal, hitam dan putih.

Ada banyak aspek kehidupan yang perlu ditelaah secara mendalam dan dipelajari tanpa menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Ini penting untuk kita pelajari dalam menjelajah ilmu pengetahuan agama yang perlu diaplikasikan dalam kehidupan di sebuah negara yang menjemuk, khususnya Indonesia.

Barangkali dari fenomena ini kita juga diingatkan oleh sosok Gusdur sebagai tokoh kemanusiaan kepunyaan Indonesia yang luar biasa untuk belajar bahwa derajat tertinggi seseorang adalah ketika ia mampu memanusiakan manusia tanpa melihat latar belakang suku, agama, atau golongan apapun. Hal ini juga berlaku ketika seseorang memperlakukan sesama makhluk Allah, wallahu a’lam.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru