30 C
Jakarta

Benarkah Agama Musuh Besar Pancasila?

Artikel Trending

EditorialBenarkah Agama Musuh Besar Pancasila?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Profesor Yudian Wahyudi menuai tanggapan lintas kalangan. Hal itu lantaran pernyataannya, dalam suatu wawancara dengan Detik, bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu dianggap telah membuat polemik baru, di samping polemik wacana pemulangan eks WNI ISIS ke Indonesia, yang digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Kritik lumayan keras disampaikan oleh Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi. Menurutnya, Prof Yudian tidak paham perbedaan antara agama dengan paham keagamaan. Apa yang diucapkan Prof Yudian, menurutnya, tidak mencerminkan dirinya sebagai intelektual. Ia bersikukuh, selama ini persoalannya bukan ada pada agama itu sendiri, melainkan paham keagamaan. Baginya, mengatakan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila kentara bias dan multitafsir.

“Padahal, sila pertama jelas menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang artinya mengakui bahwa di Indonesia masyarakatnya masyarakat agama. Hal ini kemudian di kalangan masyarakat awam akan timbul pertanyaan, sebenarnya siapa yang paham dan tidak paham Pancasila. Selaku Kepala BPIP, Prof Yudian sebaiknya menghindari polemik dan menjadi figur simbol pemersatu, bukan justru membuat front ketika baru menjabat,” ucap Baidowi pada Rabu (12/2) kemarin, dilansir Detik.

Belum lagi Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas yang mendesak Presiden Jokowi mencopot Prof Yudian. Katanya, pernyataan demikian dapat mengancam eksistensi negara. “Kalau benar beliau punya pandangan seperti itu maka tindakan presiden yang paling tepat untuk beliau adalah yang bersangkutan dipecat tidak dengan hormat,” ujar Abbas melalui keterangan tertulis, pada Rabu (12/2) kemarin, seperti dilansir CNN Indonesia.

Untuk menelisik topik ini, kita bisa menstimulasi dua pertanyaan. Benarkah agama dan Pancasila bertentangan, bahkan musuh berat? Itu pertama. Kedua, benarkah Prof Yudian hendak membenturkan agama dengan Pancasila? Kedua pertanyaan ini penting. Satu sisi, ia berusaha memahami Pancasila sebagai konsensus yang kita pakai menjadi ideologi bangsa. Sedangkan di sisi lainnya, ia berusaha memahami Prof Yudian itu sendiri. Memahami secara empatik, tentunya.

Mengempati Profesor Yudian

Barangkali tidak banyak yang mengenal Prof Yudian sebelumnya. Pendiri Tarekat Sunan Anbiya’ dan lulusan Harvard Law School itu memang,menurut beberapa orang, narsis akademik dan terkesan arogan. Pernyataan kontroversialnya bukan hanya yang sedang tren hari ini. Tetapi ada satu hal yang unik. Konon, sikapnya yang demikian merupakan ciri khas untuk membungkam para lawannya.

Untuk menemukan apa yang sebenarnya Prof Yudian maksud, kita harus mendengarkan pernyataan tersebut secara utuh. Rekaman Detik berdurasi 39 menit 33 detik itu sebenarnya membahas tentang ‘Jihad Mempertahankan NKRI’. Bagi Prof Yudian, Pancasila adalah kuncinya. Andaikata Pancasila hilang, maka kita telah kehilangan negara ini. Lalu muncullah pernyataan berikut: “Kalau kita jujur, musuh Pancasila terbesar itu ya agama.

Yang viral adalah judul pemberitaan dan yang menanggapi berita itu sendiri. Padahal, setiap media itu punya tujuan tertentu. Bahasa wartawan itu tidak bisa dicerna bulat-bulat. Yang menanggapi pun adalah kalangan politisi. Apakah kita yakin politisi benar-benar ingin bela agama? Atau justru berhasrat gantikan posisi Prof Yudian? Patut ditelusuri.

Apa yang dilakukan Detik dan apa yang dipahami netizen, adalah sekat antara wartawan dengan pembaca. Sementara apa yang dikatakan Prof Yudian dan apa yang dipahami Baidowi dari DPR RI, adalah sekat antara tokoh intelektual dengan politisi. Lalu bagaimana pemahaman utuh tentang pernyataan Prof Yudian? Mari kita pahami dengan seksama pernyataan Kepala BPIP tersebut di kalimat lanjutannya:

Kalau saya mengusulkan, bunyinya tuh gini, tapi pelan-pelan mencernanya. Pancasila itu religius dan sekuler sekaligus. Dari segi sumber dan tujuan Pancasila, itu religius. Kelima sila itu dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci keenam agama yang diakui oleh Republik Indonesia, secara konstitusional. Nah, tapi untuk mewujudkannya, kita butuh sekularitas, bukan sekularisme. Itu beda, ya.

Ada dua poin penting dalam pernyataan tersebut. Pertama, Pancasila. Kedua, agama. Benarkah Prof Yudian tengah mengkontraskan keduanya?

BACA JUGA  Idulfitri: Kembali ke Fitrah Keagamaan dan Kebangsaan

Pancasila dan Agama yang Dimaksud Prof Yudian

Pancasila dalam konteks wawancara Detik dengan Prof Yudian adalah Pancasila dalam pengertian yang ideal. Sedangkan agama, dalam konteks wawancara tersebut, adalah agama yang sudah terdistorsi kepentingan pragmatis para pemeluknya. Ini penting dicatat. Ketika Prof Yudian menyebut agama, maka di situ tidak dalam pengertian idealnya. Buktinya, ia mengambil contoh tentang Ijtima’ Ulama. Apakah kita yakin Ijtima’ Ulama’ adalah agenda keagamaan murni? Nonsens.

Di situ sudah sarat kepentingan politik. Agama adalah sarana paling memungkinkan untuk memuluskan kepentingan terselubung. Narasi keagamaan di Indonesia beberapa tahun terakhir memang relatif tinggi. Sayangnya, itu tak dalam artian positif, melainkan negatif. Menguatnya Islam di negeri ini justru adalah menguatnya ekstremisme. Sedangkan agenda para ekstremis adalah delegitimasi sistem kenegaraan dan pemerintahan.

Karenanya tidak salah jika Prof Yudian berkeyakinan, musuh terbesar Pancasila adalah agama. Dalam artian agama yang sudah dieksploitasi kepentingan pragmatis tersebut. Bukan agama dalam arti ideal. Term ‘agama’ itu sendiri juga tak berarti Islam saja, melainkan keenam agama yang diakui negeri ini. Faktanya, yang sering dijadikan alat merongrong Pancasila memang adalah narasi keagamaan, bukan?

Gagasan bahwa implementasi sila-sila membutuhkan sekularitas, tidak dalam maksud membenturkan agama dengan Pancasila. Justru merupakan kontinuitas konsep universal agama yang inheren dalam lima poin Pancasila itu sendiri. Sekularitas yang dimaksud ialah pemenuhan potensi kemanusiaan kita.

Misalnya kita ambil contoh sila ketiga: Persatuan Indonesia. Maka implementasinya, kita harus mengerahkan seluruh potensi eksistensial kita sebagai bagian dari Indonesia itu sendiri.  Segala sarana-prasarana yang membawa kita terhadap terlaksananya sila ketiga harus diterapkan. Itu yang dimaksud sekularitas. Pancasila mengandung norma religus, tetapi pada saat bersamaan, penerapannya menuntut sekularitas.

Jadi kalau mau dipahami seksama, Prof Yudian tidak sedang main-main dengan agama dan Pancasila. Tidak bermaksud mempertentangkan, karena memang tidak ada yang bertentangan. Selaku Kepala BPIP, sebagai gaya khas dirinya, ia sedang membungkam mereka yang selalu memanipulasi agama demi kepentingan pragmatisnya. Agama yang dieksploitasi itu yang merupakan musuh Pencasila.

Tidak ada yang Bertentangan

Apakah kita tengah berbicara perihal Pancasila dengan agama hari ini?  Rasa-rasanya bukan hal baru lagi. Pancasila merupakan produk konsensus agama-agama, dan masing-masing agama—minimalnya keenam agama yang diakui—tidak menjumpai pertentangan dalam sila-sila yang lima. Dan topik ini sudah sering sekali kita bicarakan. Kenapa hari ini dipersoalkan lagi?

Persoalan Prof Yudian, dengan demikian, murni adalah persoalan kesalahpahaman (misunderstanding). Kita mengenal dirinya sebagai intelektual kritis. Tetapi publik seringkali kontras dengan dunia akademis. Mestinya, sebagai Kepala BPIP, membuat pernyataan publik, bahasanya juga bahasa umum. Artinya, mudah dicerna masyarakat. Itu demi menghindari misunderstanding hingga pelintiran kebencian.

Mempertentangkan agama dengan Pancasila di depan publik pasti akan menuai konflik, seberapa segarpun gagasan yang ditawarkan tentang Pancasila dan agama. Lebih-lebih para wartawan jualan rating melalui pemberitaan. Berhati-hati menjadi keniscayaan. Sensitivitas sentimen keagamaan kita memang berada di taraf ekstra.

Agenda persatuan Indonesia dan agenda menjaga pertahanan NKRI bukan saja dilakukan dengan mempererat hubungan agama dan Pancasila, melainkan juga dengan menjaga diri dari narasi sensitif perihal keduanya. Jadi, harusnya, sekali lagi harusnya, kita tidak membenturkan agama dengan Pancasila. Wacana tersebut sudah final, kita tidak perlu mengungkitnya lagi.

Langkah selanjutnya ialah menguji gagasan Prof Yudian ke habitatnya sendiri, yakni ruang akademis, agar diskursus menjadi objektif. Tanggapan para politisi kita kembalikan ke habitatnya juga, sebagai komentar tukang politik. Ajaran-ajaran agama, secara haluan besarnya, include dalam Pancasila. Lalu untuk apa kita mempertentangkan keduanya?

Jadi, jika pertanyaannya: benarkah agama musuh besar Pancasila? Jawabannya jelas, tidak. Bangsa kita sudah mengulas hubungan keduanya dengan panjang lebar. Jadi itu bukan topik baru. Lalu pernyataan Prof Yudian? Mungkin ini yang disebut sekat antara wartawan dengan netizen, cendekiawan dengan politisi. Selebihnya, Pancasila dengan agama adalah topik yang sudah matang. Tidak perlu diperdebatkan. Tidak ada benturan antara keduanya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru