28.1 C
Jakarta

Benang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBenang Kusut Konflik Israel-Palestina di Mata Orang Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Yerusalem, Kota Suci, Kota Api, Penulis: Arif Maftuhin, Penerbit: Gading Publishing, Cetakan: I, Des 2022, Tebal: xii + 209 halaman, ISBN: 978-623-88200-2-3, Peresensi: Ina’amul Hasan.

Harakatuna.com“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Begitu bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menjadikan pandangan politik luar negeri Indonesia atas (nasib) Palestina. Indonesia selalu mendukung (kemerdekaan) Palestina serta mengecam aksi (kekerasan) yang dilancarkan Israel terhadap Palestina.

Dalam pengantar buku ini, Arif Maftuhin mengutip suatu pendapat seseorang bahwa konflik antara Israel-Palestina bukan terkait politik, melainkan pertarungan narasi saja. Semua pihak berusaha menyampaikan narasi terkait konflik ini hingga kita yang hidup saat ini tersesat dan tidak mengetahui ujung pangkalnya. Di buku ini juga Arif Maftuhin mencoba membangun narasi sebagai pihak ketiga tanpa ada rasa kebencian.

Arif Maftuhin mengamati Yerusalem, Israel dan Palestina selama kurang lebih satu tahun lamanya. Ia menuliskan pengalaman hidupnya tersebut dalam buku ini. Cerita-cerita yang disajikan terkadang membuat kita tertawa, terharu, dan mencengangkan. Buku ini berhasil membuka cakrawala kita sebagai orang Indonesia dalam melihat konflik Israel-Palestina secara manusiawi.

Arif Maftuhin benar-benar menyadari alasan Indonesia membangun narasi kebencian atas Israel. Setidaknya alasan tersebut benar-benar mengacu kepada paragraf pertama tulisan ini. Narasi tersebut juga tersebar luas seantero Indonesia, baik di atas mimbar masjid maupun di jalanan. Namun, apakah benar demikian adanya?

Di balik alasan yang disebutkan di atas, Indonesia terlihat tidak konsisten. Indonesia seharusnya memutuskan hubungan dengan Rusia akibat invansinya atas wilayah Ukraina. Belum lagi hubungan Indonesia-Israel dalam bidang ekonomi sudah terjalin secara tidak langsung. Hal ini seolah-olah terlihat bahwa Indonesia menampakkan perbedaan sikap di depan dan belakang layar (hlm. 5).

Konflik Israel-Palestina murni masalah politik, tidak bisa ditarik ke dalam ranah agama sebagaimana yang acapkali digaungkan oleh pendakwah di Indonesia dengan sesekali mengutip beberapa ayat dari Al-Qur’an. Israel adalah Yahudi, dan Yahudi dinarasikan di dalam Al-Qur’an sebagai ancaman yang jelas di depan mata. Narasi bahwa Israel menodai situs umat Islam yang menjadikan agama terlihat sebagai korban konflik ini (hlm. 66).

Masjid Al-Aqsa adalah hak (politik) Israel untuk saat ini. Ia berhak melarang siapa pun yang masuk ke dalamnya. Arab Saudi saat ini juga melakukan hal yang sama. Arab Saudi berhak melarang non-muslim untuk memasuki Madinah, sementara Nabi saw menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan. Artinya, siapa pun seharusnya bisa memasuki Madinah termasuk non-muslim.

Indonesia di mata orang-orang Palestina dikenal sangat baik, pemberi dan pemurah. Bantuan-bantuan kemanusiaan terus dikirimkan tanpa henti. Alasannya, kita adalah saudara. Baik itu saudara sesama manusia apalagi sesama iman. Intinya, orang Palestina menyukai Indonesia dibandingkan negara di Timur Tengah lainnya yang sepertinya tidak peduli (lagi) akan nasib mereka.

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Sebelum membaca buku ini, saya sebagai peresensi sudah terlebih dahulu membaca buku karya Elie Podeh dengan judul The Arab-Israeli Conflict in Israeli History Textbooks, 1948-2000 (Bergin & Garvey, 2002). Di dalam buku tersebut dijelaskan narasi-narasi yang dibangun dalam buku pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah Israel tentang konflik Arab-Israel dalam kurun waktu yang disebutkan.

Elie Podeh menyatakan bahwa banyak bias dan distorsi dari sejarah Yahudi sebelum Islam muncul, hingga saat ini. Di dalam penelitiannya terhadap buku pembelajaran tersebut, narasi yang dibangun adalah dengan menyudutkan bangsa Arab sekaligus memuji bangsa Yahudi.

Yang menarik adalah tentang tanah kosong (Palestina) yang diperebutkan hingga saat ini. Siapakah yang berhak atas tanah itu? Sekali lagi, pertanyaan itu tidak akan bisa dijawab karena sudah sangat sulit untuk diurai.

Arif Maftuhin juga menyadari akan hal itu. Teks-teks Islam juga melakukan hal yang sama dengan membangun narasi yang kontra. Ada saatnya ayat Al-Qur’an atau teks hadis yang membangun sikap anti-Yahudi, dan itu seharusnya bersifat kontekstual.

Di sisi lain, ada saatnya juga Nabi menunjukkan kebersamaan dan keakraban dengan orang Yahudi. Namun, seringkali sikap anti-Yahudi itu tampak ke permukaan di kalangan umat Islam saat ini.

Pembahasan tentang kedekatan Islam dan Yahudi menjadi menarik untuk dikaji. Islam meyakini Nabi dari kalangan Yahudi (Bani Israil), seperti: Ibrahim dan Daud. Yahudi itu saudara tua.

Untuk menyederhanakannya, anggaplah Yahudi itu seperti iPhone yang lebih dahulu diproduksi, sedangkan Islam iPhone yang lebih update. Ingat, dari pabrik yang sama, bukan tiruan ya. Atau dalam kajian studi agama masuk ke dalam pembahasan Abrahamic Religion.

Banyak hal yang menarik yang disampaikan Arif Maftuhin dalam buku ini. Misalnya, tidak semua orang Yahudi itu sesuai dengan ideologi Zionisme. Sebagian kelompok dalam agama Yahudi juga menolak ideologi tersebut. Bahkan ada juga perkampungan Yahudi yang pro terhadap (kemerdekaan) Palestina.

Yerusalem, yang menjadi judul buku ini diartikan sebagai Kota Damai oleh sebagian orang. Akan tetapi, bukit-bukti sejarah mengatakan hal lain. Kota Damai yang sedang merindukan perdamaian itu sebenarnya sedang mencari kedamaian. Namun, selama masa lalu dan agama dijadikan sebagai dasar untuk mencari kedamaian, jangan harap ada jalan keluar.

Pada intinya, dalam buku ini, Arif Maftuhin menekankan kepada kita sebagai orang Indonesia untuk mendengar dan memahami konflik Israel-Palestina, bukan beradu argumen dengan sentimen agama. Semakin banyak argumen atau narasi kebencian bermunculan, semakin kusut benang hingga masalah tak akan pernah terselesaikan.

In'amul Hasan
In'amul Hasan
Mahasiswa Pascasarjana Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia. Saat ini menetap di Depok, Jawa Barat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru