27.5 C
Jakarta

Belajar dari Konflik Aceh: Pentingnya Menceritakan Konflik pada Anak Muda

Artikel Trending

KhazanahTelaahBelajar dari Konflik Aceh: Pentingnya Menceritakan Konflik pada Anak Muda
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dengan julukan sebagai ‘Serambi Makkah’, Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah lain untuk menerapkan syariat Islam, yang jelas-jelas tidak diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan sila pertama dalam Pancasila.

Kondisi Indonesia yang beragam, dengan banyaknya agama, penerapan syariat Islam justru menjadi kenyataan bahwa negara Indonesia milik masyarakat Muslim. Padahal, banyak masyarakat Indonesia yang menganut agama selain Islam.

Namun, Aceh yang saat ini menerapkan syariat Islam, menjadi daerah istimewa di Indonesia karena berdiri di tengah daerah yang beragam, namun mampu mengaplikasikan syariat Islam dengan begitu ciamik. Keberadaan Aceh saat ini, tidak bisa dilepaskan dari konflik masa lalu yang menyisakan banyak luka bagi para korban.

Selain kondisi pasca tsunami yang menewaskan ribuan korban serta kerusakan sarana prasarana, konflik yang terjadi di Aceh, menyisakan kenangan yang tidak nyaman bagi masyarakat yang sampai hari masih hidup.

“Mantan suami saya adalah GAM, bapakmu adalah tentara. Apakah kamu membenciku karena itu?”

Pertanyaan sarkas semacam itu, masih terngiang dalam benak ketika mengobrol dengan teman-teman Aceh pada sebuah forum. Perlu diketahui bahwa, GAM adalah Gerakan Aceh Merdeka yang merupakan gerakan separatis bersenjata dan bertujuan untuk melepaskan Aceh dari Indonesia. Tujuan tersebut dikarenakan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Salah satu faktor pemicu konflik adalah adanya ketidaksepahaman antara Aceh dan pemerintah pusat. Dalam sejarah hubungan pemerintah pusat dengan Aceh, pemerintah pusat pernah mengeluarkan kebijakan peleburan provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara sehingga menimbulkan kekecewaan masyarakat Aceh.

Kondisi tersebut mendorong tokoh masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan pemerintah pusat, sehingga timbullah pemberontakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konflik ini dapat diredakan dengan diberikannya status istimewa bagi Aceh dengan otonomi luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan tahun 1959.

Dalam melakukan pemberontakan, secara singkat GAM melakukan tiga tahapan, yaitu tahun 1977, 1989, dan 1998. Sebelumnya, pada 4 Desember 1976, pemimpin GAM, Hasan di Tiro bersama beberapa pengikutnya melayangkan perlawanan terhadap pemerintah RI. Perlawanan tersebut mereka lakukan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.  Sejak saat itu, konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung.

BACA JUGA  Menyikapi Hasil Keputusan MK: Mari Belajar Bernegara dengan Bijak

Gejolak sosial yang terjadi, semakin menguatkan kebencian masyarakat Aceh kepada pemerintah dengan gencatan senjata yang digencarkan oleh pemerintah pusat. Di samping itu, informasi yang beredar ke masyarakat luas, tentu tidak secara utuh sama dengan kondisi di lapangan. Artinya, tidak semua informasi secara utuh hadir ke publik.

Adanya konflik tersebut, membuat masyarakat di luar Aceh, berpikir bahwa GAM adalah kelompok pemberontak yang tidak patuh terhadap aturan negara dan image yang cukup buruk sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Selain itu, aksi pemberontakan yang dilakukan oleh GAM dengan banyaknya korban serta perlawanan yang dilakukan oleh pemerintah, semakin menguatkan posisi GAM sebagai kelompok pemberontak dan pengkhianat negara.

Pentingnya Pengetahuan tentang Konflik

Sebagai masyarakat di luar Aceh, pengetahuan dari berbagai literatur tentang masalah Aceh, membantu untuk memahami konflik Aceh dan kondisi sosial yang ada. Namun, ketika berinteraksi langsung dengan masyarakat Aceh, khususnya orang yang terlibat langsung dalam pemberontakan, menjadi bagian dari GAM ataupun unsur terkait dalam konflik tersebut, akan mengubah perspektif kita tentang masalah sosial.

Jika pada mulanya kita akan berpikir buruk tentang keberadaan GAM, bahkan menutup ruang untuk berpikir baik melalui berbagai pemberontakan yang dilakukan.

Maka setelah berinteraksi secara langsung, berbagi pendapat dan pengalaman, kita akan terus berpikir ulang tentang konflik Aceh dan keberadaan GAM dan memosisikan dengan bijak terkait konflik yang cukup kelam ini. Meskipun konflik Aceh ini merupakan kenangan kelam, bukan berarti menguburkan sejarah yang terjadi.

Bagi kita sebagai anak muda, khususnya anak muda Aceh, harus mengetahui konflik kelam yang pernah terjadi di Aceh. Upaya ini bukan berarti mengorek luka lama. Namun, sebagai cara untuk belajar agar kondisi masa silam, tidak terjadi lagi hari ini ataupun di masa yang akan datang.

Memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, perlu kesadaran penuh. Salah satunya dengan mengetahui sejarah bangsa itu sendiri. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru