31.9 C
Jakarta

Bahar bin Smith dan Nalar Keangkuhan yang Harus Kita Buang

Artikel Trending

Milenial IslamBahar bin Smith dan Nalar Keangkuhan yang Harus Kita Buang
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ramadan 1444 H sudah separuh perjalanan. Artinya, dua pekan lagi, kita akan mengakhiri ibadah puasa. Tulisan saya sebelumnya, Pentingnya Reaktualisasi Iman dan Moral di Zaman Kacau, sedikit menyinggung soal realitas masyarakat kita yang masih berkutat pada kesombongan dan kedengkian diri. Tampaknya Ramadan tidak mampu membunuh kedua penyakit hati tersebut. Saya menyebut kasus Habib Bahar Smith yang melabrak bandara dan cuitan Guntur Romli sebelumnya.

Jadi, agar tidak salah paham, saya akan mengulasnya lebih jauh. Polemik yang saya sitir ialah cuitan Guntur Romli berupa video Bahar Smith sedang dikawal tiga petugas bandara Soetta. Dalam caption, Guntur mengatakan miris atas video tersebut. Tidak lama, pro-kontra pun datang. Bagi yang kontra, mereka menghujat balik Guntur sebagai orang yang iri melihat penghormatan masyarakat pada Bahar Smith. Sikap takzim di video tersebut pun berbuntut panjang.

Tiga petugas bandara dipecat. Bahar kemudian datang ke bandara, menyerukan pihak bandara sebagai orang semena-mena; zalim karena sedang berkuasa. Menurut Bahar, jika pun salah, harusnya pihak bandara bukan langsung memecat, tetapi memberikan SP1 terlebih dahulu. Tanggapan netizen pun muncul lagi. Banyak yang setuju dengan argumen Bahar ihwal kesewenang-wenangan tersebut. Namun kemudian, Denny Siregar ikut turun ke ring perdebatan.

Antara Guntur dan Denny, keduanya sepakat bahwa tindakan Bahar sama sekali tidak dibenarkan. Dicapnya ia sebagai “kesombongan”. Namun, yang menarik, sikap keduanya yang berakibat pada pemecatan tiga petugas juga dapat julukan dari netizen, yaitu “kedengkian”. Bahar dianggap sombong karena statusnya yang habib jadi congkak, sementara Guntur—juga Denny—dianggap dengki atas status Bahar. Jadi, mana yang harus dibela, terutama dalam konteks Ramadan ini?

Memandang Bahar Smith

Habib Bahar bin Smith memang kerap bersitegang dengan siapa pun. Pendukungnya berhujah, Bahar adalah sosok pemberani—bahkan dijuluki secara berlebihan sebagai ‘singa Allah’. Pada saat yang sama, Guntur kerap bikin kontroversi melalui statement-nya yang pedas. Kedua sosok tersebut berada di dua predikat yang berbeda. Yang satu dipanggil habib, satu lagi dipanggil buzzer. Menariknya, fokus publik sering tertuju pada Bahar. Bagaimana seharusnya ia kita pandang?

Ada dua cara. Pertama, ia sebagai zuriah Nabi. Dalam status demikian, kita harus memandang Bahar dengan takzim. Penghormatan padanya boleh kita berikan, sebagai wujud kecintaan kita pada Rasulullah dan keturunannya. Jika akhlaknya baik dan santun, kita harus menjadikannya teladan. Namun jika akhlaknya kurang baik, paling tidak kita menahan diri dari mengumpat mereka. Tujuannya sederhana, karena menghormati status kezuriahannya. Tidak lebih.

Kedua, ia sebagai manusia biasa, warga negara Indonesia. Dalam status demikian, Bahar jelas tidak punya hak lebih dalam pelayanan publik. Tidak boleh ada pengistimewaan tertentu, apalagi harga tiket pesawatnya sama: akan melahirkan kecemburuan publik. Jika pada perspektif yang pertama tadi tindakan tiga petugas bandara kemarin dibenarkan, maka pada perspektif yang kedua ini tindakan ketiganya tidak dibenarkan. Bahar adalah warga biasa.

BACA JUGA  International Women’s Day dan Peran Perempuan dalam Terorisme

Kendati demikian, memandang Bahar berdasarkan dua perspektif tersebut harus disertai satu spirit: menyudahi kebencian antarsesama. Bahar sendiri harus sadar posisi, tidak perlu membesarkan diri karena karena dirinya habib. Ia tidak boleh sombong, harus malu dengan statusnya sebagai zuriah. Kita semua, yang mungkin sama dengan Guntur cs sebagai warga non-zuriah, juga tidak boleh dengki. Apalagi pada bulan Ramadan. Harusnya, kita semua rukun dan damai antarsesama.

Menyudahi Kebencian

Jadi harus sama-sama berbenah. Bahar harus memperbaiki diri, sama juga dengan Guntur, Denny, dan kita semua. Nalar keangkuhan hanya melahirkan cekcok yang tidak pernah selesai, maka ia harus dilawan bersama-sama. Bayangkan saja, di antara Bahar dan Guntur ada provokator yang ingin negara ini tidak rukun dan justru dipenuhi kebencian. Lagi pula, sampai polarisasi umat ini selesai? Mengapa perseteruan kita rawat dan kebencian kita pelihara, sementara persatuan kita buang?

Bahar adalah saudara sebangsa. Guntur dan Denny juga saudara sebangsa. Mestinya, spirit persatuan mengalahkan keangkuhan masing-masing. Tidak ada manfaatnya bertikai dan membenci sesama, apalagi jika kebencian tersebut berlangsung di bulan Ramadan. Kita jadi seperti tidak mendapat apa-apa dari keberkahan Ramadan jika percekcokan masih berlangsung terus-menerus. Padahal, sudah waktunya kita kembali ke fithr: suci dari kebencian, kesombongan, dan kedengkian.

Jadi, adakah alasan lagi untuk melanjutkan perseteruan? Menjalang 2024, semangat persatuan harus dipupuk sejak kini karena tantangan ke depan akan semakin besar. Jika hari ini saja sudah merawat kebencian antarsesama, dan netizen juga ikut mencaci-maki partisan yang dianggapnya musuh, maka kapan persatuan akan terjadi? Nonsens. Ramadan tinggal separuh, artinya masih ada kesempatan untuk berbenah di bulan yang suci, dan keangkuhan tidak boleh dikasih ruang sama sekali.

Bahar bin Smith dan Guntur Romli hanyalah satu contoh. Dalam kehidupan kita sehari-hari, hal serupa juga sering kali terjadi. Kebiasaan itulah yang harus dihentikan. Nalar angkuh harus dibabat habis, diganti dengan nalar persatuan-perdamaian. Jangan sampai, kita melakukan ibadah puasa namun masuk pada apa yang Nabi sabdakan: sha’im yang puasanya hangus pahala karena suka memprovokasi. Jika nalar keangkuhan tidak dapat kita buang, paling tidak kita jangan membikin kegaduhan di negara ini.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru