27.6 C
Jakarta
Array

Bagaimana Berdalil dengan al-Qur’an dan as-Sunnah?

Artikel Trending

Bagaimana Berdalil dengan al-Qur'an dan as-Sunnah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tulisan ini bertujuan memberi warning kepada setiap orang yang terlalu mudah berfatwa dan memvonis amal ibadah umat islam, hanya berdasarkan pada bacaan al-Quran dan Hadits tanpa Ilmu istinbath dalil yang memadai, sehingga melahirkan fitnah di tengah umat.

Tidak semua orang boleh berdalil menggunakan Al-Qur’an dan As-sunnah dalam menguatkan argumentasinya ketika menghukumi sebuah amal ibadah dan hukum-hukum syari’at.

Hanya para Ulama yang memiliki kompetensi syar’i dan memahami Islam dan bahasa wahyu secara mendalam, yang mampu menginterpretasikan sebuah dalil sesuai konteks dan kasus hukum (al-qadhaya) yang ada dalam masyarakat.

Ada 7 rambu-rambu istibath (interpretasi) dalil Al-Qur’an dan As-sunnah yang harus dipahami dan dikuasai oleh seorang Ulama:

  1. Memastikan kejelasan ayat dan keshohiihan hadits.

Langkah ini adalah kemampuan menilai dan menyeleksi kualitas hadits terkait sanad dan matan hadits sesuai dengan disiplin ilmu hadits oleh para ulama yang kompeten dalam bidang ini.

Berdalil dengan Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan sekedar mampu menghapal dan mengetahui terjemahan keduanya, tapi harus mampu menilai hadits, mengenai derajat hadits itu apakah shohih, hasan, dhoif, maudhu dan mungkar. Baik dengan cara melihat dan menleksi rentetan silsilah para perawi dan ketersambungan sanad serta kejelasan matan.

  1. Memahami bahasa lafadz Al-Qur’an dan As-sunnah terhadap hukum sebuah kasus.

Rambu ini mewajibkan seorang ulama mampu memahami bahasa Arab yang dipakai oleh sebuah dalil secara detail dan pasti, sebelum memutuskan sebuah hukum. Imam Syafi’i berkata: “Dalil-dalil lafdzi Al-Qur’an dan As-sunnah turun dalam bahasa Arab, maka tidak bisa memahaminya kecuali yang berbahasa dan bergelut dengannya, mengetahui makna zahir dan kaidah-kaidahnya serta awal dan akhirnya”.(As-Suafi’i, Ar-risalah, hal 51-52

Imam Syatibi berkata: “Hendaknya makna-makna yang diinterpretasikan atau hasil istinbath dalil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang baku, sesuai dengan logika dan makna bahasa Arab yang dipahami pada waktu dalil atau nash itu diturunkan, bahkan Syatibi menjelaskan bahwa rahasia bahsa arab adalah selamatnya makna dari lafadz yang ada, tidak boleh keliru memastikan makna dari lafadz”. (As-Syatibi, Al-Muwafaqat, 2/65-66). Jadi jangan gegabah menafsirkan sebuah ayat dan hadits Nabi sekedar mengandalkan terjemahan dan kutipan, tanpa mendalami bahasa Arab, nahwu sharaf, balaghah dan ilmu-ilmu linguistik Arab lainnya.

  1. Tidak menta’wil dalil kecuali terpenuhi syarat-syaratnya.

Hakikat awal sebuah dalil adalah makna yang tersirat (dzahir), pegangan awal seorang ulama dalam memahami sebuah dalil adalah memahami dzahir nash saat ia membaca, mendengar dan memahami dengan akalnya nash tersebut, tanpa terpengaruh dengan makna dalil yang lain. Tidak dibolehkan beralih dari makna dzahir kemakna lain, kecuali makna lain itu membantu memberi makna dalil itu” (Al-Amidi, Al-Ihkam, 3/75 dan Al-Ghazali, Al-Mushtasfa, 1/389).

Adapun dzahir dalil atau nash boleh ditakwil bila memenuhi syarat berikut, pertama: dalil yang zahirnya memang membutuhkan takwil, kedua: Dalil itu secara bahasa harus ditakwil dan sesuai dengan budaya bahasa Arab. Ketiga: Dasar takwil memiliki dalil yang shahih yang menunjukan bahwa dalil itu harus ditakwil kepada makna lain. Keempat: Takwil tidak bertentangan dengan nash-nash yang penunjukan hukumnya pasti (Qath’i dilalah), kelima: Takwil harus dibatasi pada hukum syari’at bukan pada masalah akidah.(Lihat Al-Amidi, Al-Ghazali, Asyatibi, Abu Zahrah dll).

  1. Mengkoneksikan dalil yang satu dgn dalil lainnya.

Maksudnya adalah mengkoneksikan hadits yang satu dgn hadits yang lain dan ayat satu dengan ayat lain atau ayat dengan hadits dan sebaliknya dalam memutuskan hukum sebuah masalah.

Olehnya,  tidak boleh mendikotomi atau membeda-bedakan antara dalil dari Al-Qur’an dan dalil dari Hadits Nabi saw, sebagaimana tidak boleh mendikotomikan antara sunnah Rasul dan sunnah Sahabat. Menurut Al-Amidi siapa yang membedakan dalil Al-Quran dan hadits ini, maka ia telah menghukumi sesuatu tanpa dalil (Al-Amidi, Al-Ihkam, 3/371).

Jadi tidak dikenal dalam keilmuan syariat Islam sikap kaku dan bertahan dengan satu dalil tentang masalah tertentu tanpa melihat dalil lainnya yang terkait dengan masalah tersebut, seperti masalah kunut, doa berjama’ah, bacaan basmalah dalam sholat dsb.

  1. Menjaga Korelasi dalil dengan Konteks.

Maksudnya adalah kemampuan seorang ulama  mengkorelasikan dalil dengan konteks pembahasan hukum, sehingga tidak terpisah awal dan akhirnya serta antara dalil dan pembahasannya. Imam Syatibi berkata: “Bila korelasi dalil dan konteks masalah terlalaikan, maka telah gagal memahami dalil secara keseluruhan (As-syatibi, Al-Muwafaqat, 3/283)

  1. Memperhatikan sebab-sebab turun ayat dan hadits.

Para ulama sepakat bahwa mengetahui asbabun nuzul ayat dan asbabul wurud hadits adalah faktor penting memahami tujuan dan maksud dalil serta menjelaskan maknanya. Khususnya bila nash berkenaan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.

Namun ada perbedaan mendasar antara korelasi konteks dan sebab turun nash, korelasi konteks lebih fokus pada pemahaman nash dan penunjukkan dalil terhadap suatu perkara. Adapun sebab turun, walaupun berfungsi untuk memahami hakikat nash namun tidak mengkhususkan dalil-dalil umum, tapi menyingkap dan memperjelas maksud sebuah dalil(Ibnu Daqiq Al-Iid, Umdatul Ahkam, 3/371).

  1. Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah (Maqashid Syariah)

Ibnu Qayim berkata: “Syariat pasti memiliki tujuan yaitu mewujudkan maslahat hamba sekarang atau nanti, dunia dan akhirat. Karenanya syariat adalah keadilan, rahmat dan masalahat semuanya, maka setiap hukum yang mengakibatkan kezaliman, permusuhan, taasub dan mudharat bukan, maka ia bukanlah syari’at” (Ibnu Qayim, I’lam Muwaqiin, 3/1).

Jadi setiap fatwa dalam Islam yang melahirkan permusuhan, kezaliman dan perpecahan, maka fatwa itu bertentangan dengan syariat.(Abu Zahwah Mumtazah)

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru