Harakatuna.com. Beirut-Badan
Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengatakan sebanyak 235 ribu orang telah meninggalkan wilayah Idlib dalam dua pekan
terakhir. Mereka pergi di tengah serangan udara oleh pasukan pemerintah Rusia
dan Suriah yang menargetkan benteng oposisi utama terakhir Suriah.
Ribuan orang tersebut meninggalkan rumah mereka antara 12-25 Desember. Hal ini
menyebabkan wilayah Maaret al Numan, salah satu pusat kota terbesar Idlib,
hampir kosong. Mereka pergi dengan diliputi rasa takut terkena serangan udara
dan penembakan.
“Dengan eskalasi kekerasan terbaru di Suriah barat laut, warga sipil di
Idlib menderita akibat konsekuensi permusuhan,” ujar OCHA dalam
pernyataannya.
Menurut OCHA, pertempuran yang terus menerus telah meningkatkan arus pengungsi
dari Maaret al Numan dan Saraqeb. Mereka melarikan diri untuk menghindari
eskalasi pertempuran yang terus meningkat.
“Orang-orang dari Saraqab dan perdesaan timur sekarang melarikan diri
untuk mengantisipasi pertempuran yang secara langsung mempengaruhi komunitas
mereka,” ujar pernyataan OCHA.
Beberapa pengungsi berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya
mereka yang melarikan diri dari Saraqeb, bergerak lebih jauh ke utara. Selain
itu, ribuan orang telah melarikan diri ke kota Afrin dan al-Bab di provinsi
Aleppo utara. Puluhan keluarga dilaporkan melarikan diri ke daerah yang
dikuasai pemerintah di Aleppo.
Juru bicara regional PBB untuk krisis Suriah David Swanson mengatakan kepada
Aljazirah sebanyak 80 persen pengungsi merupakan wanita dan anak-anak.
Menurutnya, jumlah orang yang melarikan diri di Suriah telah meningkat.
“Dari akhir April hingga akhir Agustus di mana lebih dari 400 ribu orang
telah terlantar. Apa yang kita miliki adalah krisis pemindahan di atas krisis
pemindahan lain,” kata Swanson.
Salah satu pengungsi, Abu al-Majd Nasser, melarikan diri ke perbatasan bersama
keluarganya dari kota Telmanas. Dia mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin
ingin membunuh setiap warga Suriah yang menentang rezim.
Sejak pertengahan Desember, pasukan yang didukung Rusia terus melakukan
serangan terhadap para pejuang bersenjata di Idlib selatan, meskipun ada
kesepakatan gencatan senjata Agustus dan seruan untuk melucuti eskalasi dari
Turki, Prancis, dan PBB. Serangan udara meningkat ketika loyalis Damaskus
melancarkan serangan. Sejak 19 Desember, mereka telah merebut puluhan kota dan
desa dari para kelompok bersenjata.
Provinsi Idlib merupakan benteng terakhir kelompok perlawanan Hayat Tahir al
Sham. Aliansi kelompok ini didirikan oleh bekas cabang alqaeda di Suriah dan
merupakan musuh paling kuat.
Pemimpin kelompok tersebut telah memerintahkan kepada pasukannya untuk menuju
garis depan dan memerangi pasukan Rusia dan pasukan pemerintah Suriah.
Pemerintah Bashar al Assad yang sekarang mengendalikan 70 persen Suriah telah
berulang kali berjanji untuk mengambil kembali wilayah Idlib.
Idlib memiliki jumlah penduduk sekitar tiga juta jiwa. Banyak warga Idlib yang
terlantar akibat kekerasan perang selama bertahun-tahun. Didukung oleh Moskow,
Damaskus melancarkan serangan terhadap Idlib pada April. Serangan ini
menewaskan 1.000 warga sipil dan lebih dari 400 ribu orang lainnya menderita
akibat perang.
Moskow dan Damaskus membantah tuduhan telah melakukan pengeboman terhadap warga
sipil tanpa pandang bulu. Mereka mengklaim serangan tersebut bertujuan untuk
memerangi teroris.
Meskipun gencatan senjata diumumkan pada Agustus, pemboman terus berlanjut. Hal
ini mendorong Turki untuk mendesak kesepakatan gencatan senjata baru selama
pembicaraan di Moskow.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan negaranya tidak dapat menangani
gelombang baru migran dari Suriah. Dia memperingatkan bahwa Eropa akan
merasakan dampak dari gelombang masuk tersebut jika pengeboman tidak
dihentikan.